Siswa salah, itu wajar! Namanya juga
anak-anak. Mereka masih perlu banyak belajar. Tapi, kalau guru salah? Apalagi
guru yang tak mau sadar akan profesinya yang mulia itu. Ada lagi, guru yang suka
datangnya telat, dan maunya pulang lebih awal. Sementara muridnya disuruh
datang pagi-pagi, tepat waktu. Tapi, gurunya sendiri yang melanggar. Alhasil
guru tersebut seperti memakan ludahnya sendiri. Parahnya lagi, masih ada pula
guru-guru yang suka menghukum siswanya dengan hukuman fisik seperti memukul
dengan rotan, menampar pipi, mencubit hidung, menjewer telinga, memutar kepala
atau disuruh memukul tembok dengan sekuat-kuatnya. Sungguh kasihan
siswa-siswinya, jika berada dalam sekolah yang penuh dengan hukuman fisik
seperti itu. Semoga saja guru yang seperti itu segera bertaubat dan kembali ke
jalan yang benar menjadi guru yang berkarakter.
Hukuman
fisik, apakah memberikan efek jera bagi siswa yang bersalah? Anak yang tak
masuk sekolah, hukumannya adalah pukulan. Anak yang membolos, siap-siap
mendapat pukulan rotan. Anak-anak yang tidak menurut pada gurunya, siap-siap
mendapat cubitan atau tamparan. Anak-anak yang dikenal pahe (keras kepala) dan melanggar aturan juga siap-siap menerima
hadiah istimewa seperti itu. Apalagi anak-anak yang suka bikin ulah (baku dusuh), atau membuat temannya
menangis maka siap-siap terpaan rotan mengenai dirinya. Siapa yang salah
sebenarnya. Siswa? Atau guru yang tak pernah mau menyadari akan kesalahan
dirinya. Guru yang tak mau pernah introspeksi dan refleksi diri akan tindak
tanduknya itu. Sekali lagi ketika siswa salah, apakah meski harus dihukum
dengan hukuman fisik seperti itu? Bukankah rotan juga bisa menjadi emas jika
dipergunakan dengan baik? Rentetan analisa dan identifikasi masalah hukuman
fisik tersebut bukanlah karangan belaka, tapi kisah nyata yang saya alami dan
saya lihat saat saya bertugas menjadi guru di salah satu sekolah terpencil yang
ada di Maluku Utara.
Alasannya
sepele. Kata mereka (guru-guru) tersebut, anak-anak disini pahe (keras kepala) dan beda dengan anak-anak Jawa atau daerah
lain. Makanya mesti dikerasin dan dihukum dengan hukuman tersebut. Hampir semua
gurunya pernah melakukan hukuman fisik yang serupa tersebut. Miris memang…! Padahal
guru-guru tersebut tahu bahwa hukuman fisik itu dilarang dan tidak boleh lagi
diterapkan di sekolah. Tapi begitulah kondisinya. Mungkin karena sudah menjadi
budaya yang turun temurun, jadi susah dihilangkan. Kenapa meski dengan pukulan,
rotan dan hukuman-hukuman tersebut? Apakah tak ada hukuman lain yang lebih
mendidik dan berperasaan? Akhirnya anak-anak pun menjadi kebal dengan tempaan
pukulan yang sudah sering dialaminya itu.
Alhasil, saya selaku
guru baru dan hanya bertugas 1 tahun di sekolah tersebut, anak-anaknya meminta
saya untuk memukul mereka jika ada yang salah. “Pak guru, ngoni pukul torang
sudah”, “Pukul saja ke dia pak guru dengan rotan”, atau “pak guru, pukul saja
anak itu dengan rotan yang ada di kelas”. Begitulah pinta anak-anak kepada saya
tatkala mereka ada yang salah atau bikin ulah. Mungkin karena mereka sudah
terbiasa dengan pukulan bahkan sudah kebal dengan hukuman tersebut. “Kalau pak
guru tak akan memukul kalian, karena pak guru sayang sama kalian” kataku kepada
anak-anak. Kalau kalian ada salah, pak guru juga akan menghukum kalian tapi
tidak dengan rotan. Pernah waktu itu anak kelas 5 ada PR (Pekerjaan Rumah),
tapi sebagian besar tidak mengerjakan. Alasannya rata-rata lupa, dan tidak
belajar jika malamnya. Saya waktu itu memarahi mereka, karena beberapa kali
mereka kerap tidak mengerjakan PR. Saya merefleksikan mereka dengan menyadarkan
hati mereka menggunakan metode hipnoteaching.
Perlahan, saya memutar musik instrumen. Refleksi diri dimulai. Orangtua kalian
telah bekerja keras. Ayah kalian tiap hari ada yang mengail di laut dan ibu
berkebun mencari kayu bakar untuk keperluan kalian. Tapi, apa balasan kalian
bagi mereka. Jika kalian tak serius belajar, PR tidak dikerjakan, maka siapa
yang rugi? Tentu orangtua kalian pun ikut rugi. Kurang lebih seperti itu isi
refleksi yang saya berikan kepada anak-anak. Beberapa anak ada yang menangis.
Pendekatannya dari hati ke hati. Saya mencoba menyadarkan kesalahan mereka.
Anak-anak kelas 5 di
sekolah tempat saya mengajar memang terkenal rata-rata anaknya hiperaktif.
Seringkali ribut dan baku dusuh lantaran hal-hal sepele atau karena ucapan yang
menyinggung hati mereka. Tapi itulah uniknya anak-anak. Mungkin karena
modalitas gaya belajar mereka yang tipe kinestetik. Perlu pendekatan khusus
bagi mereka tatakala ada kesalahan. Dalam kasus lain. Tepatnya Rabu, 4 Maret
2015. Jam istirahat telah usai. Karena mau ada persiapan ruangan ujian try out,
siswa kelas lain akan dipulangkan lebih awal. Tiba-tiba ada salah seorang anak
melapor kepadaku. “Pak guru ada anak baku
dusuh (berkelahi) di kelas 5” lapor anak tersebut. Kebetulan waktu itu
jadwal mengajarku di kelas tersebut. “Ifon dan Rifka berkelahi pak di dalam
kelas” ujar salah seorang siswa yang lain. Saat saya masuk kelas tersebut,
beberapa murid kelas 6 sudah melerai keduanya. Rifka dan Ifon terlihat masih
menangis tersedu-sedu dengan menunjukkan muka marah membara di wajah
masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara bel, tanda pulang. Anak-anak kelas 1-4
tampak berlarian dengan riang karena dipulangkan lebih awal. Khusus kelas 6
sedang menata ruangan buat ujian try out esok hari dan sedikit ada pengarahan
dari kepala sekolah.
Saya harus selesaikan
dulu masalah kelas 5 ini, pikirku yang tak menghiraukan bunyi bel kepulangan
siswa. Mungkin jika guru lain yang menyelesaikan masalah ini, pasti sudah
dihukum dengan pukulan rotan bagi kedua belah pihak, batinku menganalisa lebih
jauh. Saya tidak akan menerapkan pukulan rotan tapi saya mencoba pendekatan
dari hati ke hati dalam menghukum kedua anak yang berkelahi tersebut. Saya
meminta kedua anak tersebut maju ke depan kelas, tapi keduanya enggan. Okelah,
kalau begitu silahkan lanjutkan berkelahi kalian biar Bapak yang jadi wasitnya,
candaku kepada mereka. Sejenak anak-anak yang lain bersorak mendukung ideku
ini. “Eits, stop….” tegasku menenangkan suasana kelas. Ifon dan Rifka masih
merengut dan air matanya terlihat masih membasahi pipi mereka.
Pak guru hanya ingin
mendengar kalian bercerita di depan kelas. Setelah dibujuk beberapa kali,
akhirnya luluh juga hati mereka dan mau maju ke depan kelas. Rifka berdiri di
sebelah kananku dan Ifon di sebelah kiri. “Coba ceritakan kronologinya, kenapa
kalian bertengkar?” pintaku. Keduanya diam dengan muka masih memerah dan
menangis tersedu. “Tadi Yusnia yang mulai duluan pak” celetuk salah seorang
siswa. Oke, kalau begitu Yusnia juga silahkan maju ke depan. Saat Yusnia
menceritakan kronologi masalahnya, Ifon dan Rifka saling ribut. Mereka saling
adu mulut, saling menyalahkan dan tidak mau disalahkan. Saya melerai keduanya.
Rupanya masalahnya sangat sepele, seperti biasa masalah ucapan yang menyinggung
perasaan masing-masing. “Kalau begitu sekarang semuanya berdiam dulu, Pak guru
yang akan bercerita dulu, mau?” pintaku. “Mau… mau….. mau….” jawab anak-anak
serempak.
Pak guru akan bercerita
tentang kisah Nabi Adam. Belum selesai bercerita, saya menghentikan cerita
kisah nabi tersebut dan membuka cerita lain. Anak-anak tampak penasaran. Rifka
dan Ifon masih berdiam berdiri disampingku. Yusnia berdiri di belakangku, hanya
dia tidak menangis dan merasa tak bersalah. “Ada segumpal daging, jika daging
itu baik maka anggota tubuh yang lainnya juga akan baik. Sebaliknya, jika
daging itu buruk, maka buruk pula yang lainnya” ceritaku dengan nada mendayu.
Kalian tahu, segumpal daging itu apa? tanyaku memancing penasaran mereka.
“Daging hewan Pak guru” ujar Julfit. Sontak anak-anak yang lain tertawa
mendengar jawaban Julfit. “Daging manusia pak” jawab Fikram. Iya betul, tapi
daging yang mana? tanyaku balik. Lama tak ada jawaban. Tiba-tiba ada yang berucap.
“Hati, pak guru” jawab Faisal. Iya betul, 100 buat Faisal. Saya kembali
melanjutkan cerita tersebut. “Hati itulah ibarat pilot bagi pesawat, ibarat
nahkoda bagi sebuah kapal atau sopir bagi sebuah mobil. Bagi manusia, hatilah
yang menjadi kendali utama” kisahku kepada anak-anak. Ifon dan Rfka mulai diam
dan merenung.
Saya lanjutkan dengan
cerita ketiga. Ngomong-ngomong soal pilot pesawat, kemarin Pak guru habis
jalan-jalan bertualang luar angkasa bersama kelas 6. Kalian juga mau kesana?
tanyaku dengan penuh ajakan. ”Mau….
mau…. mau…. pak guru” jawab anak-anak serempak. Ifon yang tadinya diam,
tiba-tiba mulai tersenyum dan mengacungkan tangan. “Saya juga ikut pak guru”
seru Ifon dengan penuh penasaran. Rifka juga sudah tampak tidak ada air mata
lagi di wajahnya. “Kapan kita berangkat kesana Pak guru?” tanya Fikram penuh
semangat.”Nanti ke luar angkasa naik apa kesananya Pak guru?” tanya siswa yang
lain. Rupanya ceritaku yang ketiga ini cukup menarik penasaran hati mereka.
Padahal cerita petualangan luar angkasa kemarin adalah skenario pembelajaran
tentang tata surya yang aku terapkan di kelas 6. Suasana kelas yang tadinya
ramai karena pertengkaran, kini berangsur-angsur penuh dengan canda tawa
anak-anak.
Sebuah pertengkaran
terjadi karena hatinya sedang tidak baik. Jika hati kita kurang baik,maka semua
ikut tidak baik, tangan mudah menampar, mulut asal bicara tanpa dikontrol, kaki
mudah menendang dan kita mudah marah (sambil bergaya marah), jelasku pada
anak-anak. Oleh karena itu, jagalah hati kalian agar saling menghormati dan
berbuat baik sesama teman, ujarku sembari bercerita. Kalau kalian mau keluar
angkasa, maka harus baik-baik dengan teman, rajin belajar, tekun mengaji dan
beribadah, itu syaratnya, tambahku. Semua anak tampak bahagia mendengarkan ceritaku.
Ending (akhir) dari penanganan masalah pertengkaran anak ini adalah tawa senyum
dan berjabat tangan. Ifon, Rifka dan Yusnia saling memaafkan satu sama lainnya,
diiringi dengan senyum persahabatan. “Rifka, Ifon minta maaf yah” pinta Ifon
sembari menjabat erat tangan Rifka. Begitu juga sebaliknya yang dilakukan oleh
Rifka kepada Ifon. Kini wajah ceria tampak dari mereka berdua. Begitulah salah
satu kisah menghukum anak yang saya lakukan di kelas.
Permasalahan siswa tak
selamanya harus diselesaikan dengan cara hukuman fisik. Berilah hukuman yang
mendidik bagi siswa-siswi kita tatkala mereka berbuat kesalahan. Kalau saat
kita mengajar dan mendidik mereka harus dengan hati, maka menghukum anak (saat
mereka salah) juga harus dengan hati. Saya jadi teringat dengan pendapatnya
Setiawan dalam bukunya yang berjudul Anak Juga Manusia, mengatakan bahwa “anak bukan barang yang dipesan dari katalog
yang disertai buku panduan. Dia adalah titipan Tuhan yang sudah sepatutnya
diperlakukan dengan baik. Anak juga bukan robot yang tinggal plug and play. Dia punya hati dan
perasaan, karena anak juga manusia”. Iya, karena anak juga punya hati dan
perasaan, maka masukilah dunia dan hati mereka supaya riang gembira. Jika
hukuman fisik terus dilakukan kepada siswa tentu akan berdampak pada kondisi
psikologis mereka. Oleh karenanya, ketika anak (siswa-siswi) kita bermasalah,
hukumlah dengan hati.