Welcome Reader

Selamat Datang di blognya Kang Amroelz (Iin Amrullah Aldjaisya)

Menulis itu sehangat secangkir kopi

Hidup punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan.Menulis adalah salah satu cara untuk menebar kebaikan, berbagi inspirasi, dan menyebar motivasi kepada orang lain. So, menulislah!

Sepasang Kuntum Motivasi

Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan (Nasihat Kiai Rais, dalam Novel Rantau 1 Muara - karya Ahmad Fuadi)

Berawal dari selembar mimpi

#Karena mimpi itu energi. Teruslah bermimpi yang tinggi, raih yang terbaik. Jangan lupa sediakan juga senjatanya: “berikhtiar, bersabar, dan bersyukur”. Dimanapun berada.

Hadapi masalah dengan bijak

Kun 'aaliman takun 'aarifan. Ketahuilah lebih banyak, maka akan menjadi lebih bijak. Karena setiap masalah punya solusi. Dibalik satu kesulitan, ada dua kemudahan.

Tuesday, 20 November 2012

Menghijaukan Pendidikan di Kampung Anak Jalanan



Pendidikan itu ibarat sebuah pepohonan (tanaman) yang hijau. Ia mampu menampung oksigen, menyerap polusi, menghasilkan energi dan menjadi produsen bagi organisme yang ada di sekitarnya. Begitu juga dengan pendidikan yang merupakan oksigen bagi kemajuan karakter anak bangsa, menjadi energi bagi generasi muda untuk meneruskan cita-cita bangsa, dan menjadi produsen  dalam mencetak para pemimpin yang tangguh dan berwibawa. “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” begitulah kata-kata hebat ini tertuang dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas No. 23 Tahun 2003. Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak anak bangsa yang belum bisa merasakan bangku pendidikan secara maksimal. Sebagaimana yang dialami oleh anak-anak jalanan di Kampung Sri Rahayu, Purwokerto Selatan. Padahal mereka juga statusnya sama yaitu warga negara Indonesia dan menjadi generasi penerus bangsa.

Kampung Sri Rahayu atau yang dikenal dengan istilah “Kampung Dayak” merupakan sebuah kampung yang terletak di Kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Kampung ini terletak di tengah-tengah perkotaan kota Purwokerto, tepatnya di belakang taman kota “Andhang Pangrenan” (dulunya menjadi terminal lama Purwokerto). Mayoritas penduduk kampung ini adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial yang sangat kompleks, lingkungannya kumuh, ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan yang rendah. Secara fisik lingkungan kampung ini terlihat kumuh dan kurang teratur, kondisi MCK yang kurang layak, serta kurangnya sarana dan prasarana yang memadai. Secara sosial dan ekonomi masyarakatnya berada di garis perekonomian lemah dan tergolong masyarakat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti pengamen, anak jalanan, pengemis, PSK, waria, dan pengangguran. Sebagian besar masyarakat kampung ini merupakan pendatang dari kota lain dan sangat jarang sekali orang asli Purwokerto sendiri mengetahui tentang kondisi sosial dan permasalahan yang ada di kampung ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui secara detail tentang kondisi masyarakat kampung Sri Rahayu ini. Padahal kampung ini pernah didatangi oleh tokoh-tokoh nasional dari Jakarta, bahkan tokoh dari PBB pun pernah mengunjungi kampung ini, akan tetapi permasalahan yang ada belum terpecahkan (Data observasi1 dan wawancara dengan Pak Musafa2).

[1] Observasi dilakukan langsung di Kampung Sri Rahayu Purwokerto
2 Pak Musafa merupakan Pembina Yayasan Sri Rahayu Purwokerto

            Anak jalanan di Kampung Sri Rahayu (Kampung Dayak), Karangklesem, Purwokerto Selatan memiliki permasalahan sosial yang sangat kompleks dan tingkat pendidikan mereka masih rendah. Anak-anak ini sebagian besar berprofesi mengikuti jejak orangtuanya secara turun temurun. Sejak kecil anak-anak ini sudah diajarkan orangtuanya untuk mencari uang sebagai anak jalanan dengan cara menjadi pengamen maupun pengemis. Padahal seharusnya usia anak-anak adalah masa-masa untuk mendapatkan pendidikan dasar, bermain, bersenang-senang, dan bersuka ria. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Musafa, anak jalanan di Kampung Sri Rahayu berjumlah sekitar 200 anak yang berusia 2 tahun sampai 17 tahun. Jumlah ini berubah-ubah dan cenderung mengalami peningkatan karena adanya anak jalanan yang merupakan pendatang dari kota maupun daerah lain. Anak jalanan di kampung ini terbagi atas dua macam, yaitu anak jalanan yang turun di jalan (pengamen) dan anak jalan yang tidak turun ke jalan (masih bisa bersekolah). Anak jalanan yang turun ke jalan (pengamen) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak turun ke jalan. Dari jumlah 200 anak jalanan yang ada, hanya 20 persen saja yang bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar sampai lulus SD, sebagian mengalami putus sekolah atau drop out sehingga tidak sampai lulus SD, dan sisanya lagi tidak bersekolah sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan anak jalanan di kampung ini masih sangat rendah. Faktor utama yang menjadi penyebab terhambatnya proses pendidikan anak jalanan ini adalah kurangnya dukungan dan motivasi dari orang tua mereka. Orangtua beranggapan pendidikan itu tidak penting dan yang terpenting adalah mencari uang dengan jalan mengamen atau meminta-minta. Pak Musafa menambahkan bahwa orangtua mereka hanya berperan sebagai orangtua biologis (yang melahirkan anaknya) saja, akan tetapi orangtua tersebut secara psikis (kejiwaan) kurang merasa memiliki dan membina anak mereka dengan baik.

            Penanganan anak jalanan di Kampung Sri Rahayu sudah beberapa kali dilakukan oleh beberapa pihak terkait, seperti pemerintah setempat dan LSM, akan tetapi upaya tersebut masih belum memecahkan permasalahan pendidikan di kampung ini. Menurut Anggrayni3 (2009) upaya yang pernah dilakukan untuk mengatasi perilaku menyimpang di Kampung Sri Rahayu (Kampung Dayak) antara lain mengadakan perkumpulan remaja, kerja sama dengan LSM Biyung Emban, melakukan himbauan kepada warga. Akan tetapi upaya tersebut kurang optimal karena rendahnya kesadaran anak jalanan, kurangnya partisipasi orang tua dan warga, kompleksnya permasalahan dan dampaknya.

3Anggrayni, R. 2009. Perilaku Menyimpang Anak Jalanan Kampung Sri Rahayu Purwokerto. Skripsi. Jurusan    Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
            
 Sosok Pak Musafa merupakan tokoh yang luar biasa berjasa dalam penanganan pendidikan di kampung Sri Rahayu, beliau merupakan lulusan STAIN Purwokerto. Padahal beliau adalah asli dari Cilacap, akan tetapi setelah menikah beliau memilih untuk mendirikan tempat tinggalnya di Kampung Sri Rahayu dengan alasan ingin merubah kondisi kampung Sri Rahayu menjadi lebih baik. Tekad dan semangat Pak Musafa tak pernah menyerah, walau menghadapi berbagai macam kendala dan rintangan dari masyarakat sekitar beliau tak pernah goyah hingga jiwa dan raganya pun menjadi taruhannya. Terbukti beliau masih bertahan sampai sekarang dan telah berhasil mendirikan Yayasan Sri Rahayu Purwokerto dan menjadi Pembina yayasan tersebut. Menurut Pak Musafa, upaya yang pernah dilakukan pemerintah setempat (Dinas Sosial) untuk mengatasi masalah anak jalanan belum bisa mengatasi masalah anak jalanan secara tuntas, karena hanya dibekali dengan pelatihan saja tapi tidak ada pembinaan secara intensif. Sehingga setelah selesai pelatihan itu anak jalanan kembali pada profesi sebelumnya yaitu pengamen atau pengemis.  Oleh karena itu, usaha yang dilakukan oleh Pak Musafa melalui Yayasan Sri Rahayu adalah dengan membentuk sebuah Pesantren “Tombo Ati” sebagai tempat untuk pembinaan agama dan spiritual anak jalanan. Akan tetapi hal ini mengalami kendala, yaitu kurangnya tenaga pengajar dan tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Pak Musafa hanya dibantu oleh adiknya dalam mengelola yayasan dan pesantren “Tombo Ati” ini.

            Melihat kendala dan perjuangan yang dihadapi oleh Pak Musafa, aktivis mahasiswa dari Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) Unsoed berinisiatif untuk ikut mengelola dan menjadi bagian dalam mengajar dan membina anak-anak jalanan tersebut. Kegiatan ini sudah berjalan sejak bulan Maret 2012 hingga sekarang. Di tengah-tengah padatnya aktivitas perkuliahan, relawan pengajar dari UKKI Unsoed ini akhirnya membentuk manajemen sendiri dalam mengelola, membagi, dan mengajar anak-anak jalanan ini. Bahkan relawan pengajar tidak hanya dari Unsoed saja, akan tetapi beberapa relawan dari masyarakat sekitar Banyumas pun ikut ambil bagian dalam menjadi pengajar di pesantren ini. Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan kepada anak-anak jalanan ini tidak hanya mengajarkan huruf-huruf hijaiyah saja berupa Iqro4, akan tetapi diberikan juga pembelajaran mengenai akhlak, akidah, dan sejarah tentang keislaman. Metode yang diterapkan dalam pengajaran adalah berupa nyanyian, tepuk tangan, cerita-cerita inspiratif, dan permainan karena melihat sisi psikologis anak-anak tersebut. Kegiatan ini dilakukan setiap sore hingga menjelang maghrib sesuai dengan jadwal masing-masing pengajar.

 4Iqro’ adalah buku berjilid yang digunakan  untuk mengaji

Banyak kendala dan rintangan yang dihadapi dalam proses  pendidikan belajar mengajar bagi anak jalanan di kampung ini, terutama masalah dana karena relawan pengajar ini tidak digaji dan tidak mendapat sokongan dana dari pihak manapun. Hanya dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui anak jalanan ini. Kesabaran yang ekstra dalam hal membina dan mengajar sangat diperlukan karena karakter anak jalanan yang agresif berbeda dengan karakter anak-anak pada umumnya. Terkadang ada kalanya mengajar harus penuh dengan kelembutan dan kasih sayang yang tinggi agar anak jalanan tersebut simpatik dan mau ikut kegiatan ini, akan tetapi perlu juga sikap yang tegas dan penuh pengertian manakala anak jalanan tersebut susah diatur. Setidaknya usaha seperti inilah yang bisa dilakukan untuk mengatasi pendidikan bagi anak jalanan, mengubah karakter mereka ke arah yang lebih baik dan mengarahkan mereka menuju kehidupan yang lebih layak lagi dibandingkan kehidupan sebelumnya. Kesabaran dan keikhlasan ini pun akhirnya menghasilkan sebuah prestasi yang cukup membanggakan bagi anak-anak pesantren “Tombo Ati”, yaitu tim TPQ Tombo Ati berhasil mendapat juara 2 dalam Lomba Cerdas Cermat TPQ se-Purwokerto Utara pada bulan Agustus 2012 kemarin. Setidaknya inilah hasil jerih payah yang telah diajarkan oleh para relawan pangajar dalam mendidik anak-anak jalanan ini.

Model pendidikan alternatif bagi anak jalanan berupa pesantren “Tombo Ati” ini semoga terus berlanjut sampai benar-benar tuntas mengatasi masalah yang dihadapi anak jalanan di kampung Sri Rahayu ini. Sehingga mampu mengubah kampung ini menjadi kampung yang berwibawa, bermartabat, dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di kampung ini. Karena hanya dengan pendidikan yang baiklah karakter seseorang bisa dirubah walau harus membutuhkan waktu yang lama. Model pendidikan alternatif seperti ini juga bisa menjadi acuan dalam pengembangan pendidikan alternatif bagi anak jalanan di daerah yang lain pada khusunya dan diharapkan mampu menghijaukan pendidikan di Indonesia pada umumnya. Hijau, seperti hijaunya pepohonan yang hijau lebat bak permadani yang terhampar luas.

Koperasi “Babe”: Mengatasi Sampah Menjadi Berkah


Sampah itu masalah. Sampah itu limbah. Sampah itu “habis manis sepah dibuang”. Begitulah nasib yang dialami sampah hingga saat ini. Sampah divonis sebagai terdakwa dalam setiap kasus pencemaran lingkungan. Padahal sampah tidak muncul dengan sendirinya. Adanya sampah adalah akibat dari aktivitas manusia. Manusialah yang menyebabkan sampah itu ada. Mencemari lingkungan, menimbulkan polusi dan menyebabkan banjir itu juga semata-mata bukan karena sampah, tapi karena ulah beberapa oknum manusia yang berbuat semena-mena terhadap sampah, membuangnya secara sembarangan, dan kurangnya rasa kepedulian dalam pengelolaan sampah. 
Terkadang manusia tidak menyadari bahwa setiap hari pasti manusia itu menghasilkan sampah, baik sampah organik maupun anorganik. Sebagai contoh masalah sampah yang dihasilkan oleh mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman, yang bertempat tinggal di daerah Kelurahan Karangwangkal dan Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Dalam satu hari seorang mahasiswa makan di warung sebanyak 3 kali dan dibungkus, artinya dalam satu hari minimal menghasilkan 3 buah sampah plastik kresek dan 3 buah kertas pembungkus nasi. Total ada 6 buah sampah yang dihasilkan. Jika total mahasiswa yang berada di kedua kelurahan ini berjumlah 20.000 mahasiswa, maka jumlah sampah minimal yang dihasilkan adalah 6 x 20.000 = 120.000 sampah/hari. Ini hanya baru jumlah minimal dari sampah plastik kresek dan kertas pembungkus nasi. Belum sampah-sampah yang lainnya seperti kertas, botol, plastik, pembungkus detergen, pembungkus sabun, dan sampah-sampah lainnya yang dihasilkan oleh masyarakat dan warga sekitar. Ternyata tempat-tempat penampungan sampah setiap hari penuh dengan aneka macam jenis sampah. Ini baru di dua kelurahan yang ada di Purwokerto Utara. Belum lagi di kelurahan lain, kecamatan lain, atau bahkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Tugel. TPA Gunung Tugel yang merupakan satu-satunya TPA untuk menampung sampah yang ada di wilayah Purwokerto. Ternyata Volume sampah yang dibuang ke TPA ini mencapai kurang lebih 325 m3 per hari. Jumlah itu belum termasuk sampah yang dibuang di sembarangan tempat sekitar permukiman warga. Dari total volume sampah sekitar 325 m3 tersebut, baru 65 persennya yang tercover dan ditampung di TPA. Sedangkan sisanya sekitar 125 m3 dibuang di sekitar tempat tinggal warga (Suara Merdeka, 2010)1.
 

1Suara Merdeka. 2010. Volume Sampah Warga Purwokerto Capai 325 m3.  Diakses di  http://suaramerdeka.com

Sampah yang menumpuk di TPA Gunung Tugel pun belum menyelesaikan masalah secara tuntas karena menimbulkan dampak lain bagi warga sekitar yaitu mencemari lingkungan, menimbulkan bau tak sedap, dan menimbulkan  penyakit. Lagi-lagi sampah selalu menimbulkan masalah tanpa memandang kompromi. Oleh karena itu diperlukan usaha lain untuk mengatasi masalah sampah tersebut agar tidak menimbulkan masalah bagi yang lainnya. Tak selamanya sampah itu berstatus sebagai masalah. Bukan pula limbah. Akan tetapi sampah itu bisa menjadi “habis sepah dibuang, berkah pun datang”. Sebagaimana yang dilakukan oleh Koperasi “Babe” yang berada di Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Koperasi pada umumnya menjual dan mengelola barang-barang yang masih baru, utuh, dan bersih, dan rapi. Akan tetapi Koperasi “Babe” malah mengelola barang-barang bekas, sampah, rongsok, dan sisa-sisa barang yang sudah rusak.  Sistem yang digunakan dari koperasi ini pun sama dengan koperasi-koperasi pada umumnya yaitu mensejahterakan anggota-anggotanya, karena keuntungan yang didapatkan dibagi rata untuk semua anggota-anggotanya.
Koperasi “Babe” merupakan sebuah koperasi yang terletak di Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Koperasi ini didirikan pada tahun 2009 atas bantuan dana salah seorang warga yang peduli dengan lingkungan sekitarnya. Pada awalnya dana koperasi ini masih menggunakan dana pinjaman dari orang tersebut, akan tetapi sekarang semua dana pinjaman tersebut sudah terlunasi dan kini keuntungan dana koperasi bisa dirasakan oleh semua anggotanya. Koperasi “Babe” ini sekarang sudah 3 tahun berjalan dengan anggotanya berjumlah 235 orang yang terdiri atas anggota tetap dan para pemulung. Istilah “Babe” disini merupakan singkatan dari “Barang Bekas”. Koperasi ini menerima semua jenis sampah atau barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan atau didaur ulang lagi seperti botol bekas, kaleng, besi, sandal bekas, kertas, koran, plastik, dan barang bekas lainnya dengan harga yang bervariatif tergantung jenis barang tersebut. Berdirinya koperasi ini tak lepas dari peran sosok yang sangat berjasa yaitu Pak Arif Sriyanto (ketua koperasi “Babe”). Selain sebagai ketua koperasi pak Arif juga bekerja sebagai tukang cukur rambut sebagai usaha tambahannya. Berkat koperasi ini Pak Arif telah berhasil mensejahterakan ratusan anggotanya yang sebagian besar merupakan pemulung sampah yang ada di dua kelurahan, yaitu Kelurahan Karangwangkal dan Kelurahan Grendeng (Berdasarkan data observasi2 dan wawancara dengan Pak Arif Sriyanto3).
 

2 Observasi dilakukan langsung di Koperasi “Babe” Grendeng, Purwokerto Utara
3 Pak Arif Sriyanto merupakan ketua Koperasi “Babe” Grendeng, Purwokerto Utara
 Koperasi “Babe” ini pula merupakan satu-satunya koperasi di kota Purwokerto yang mengelola sampah dan barang-barang bekas. Keberhasilan dan kemajuan koperasi ini tak lepas dari peran berbagai pihak yang bekerja di koperasi ini. Selain Pak Arif, sosok yang berjasa lainnya dalam penanganan masalah sampah ini adalah petugas pengangkut sampah dan para pemulung yang selama ini telah menyelesaikan masalah sampah-sampah tersebut. Setiap pagi sejak pukul 5.30 WIB petugas pengangkut sampah ini berkeliling dengan gerobaknya dari satu tempat penampung sampah ke tempat penampung sampah yang lainnya secara rutin. Sungguh luar biasa jasa petugas ini, walau bau sampah yang menyengat dan kotor, tapi tak pernah mengurangi rasa semangatnya untuk mengais sampah-sampah tersebut. Satu lagi sosok yang berjasa dalam mengatasi sampah-sampah tersebut adalah para pemulung sampah yang bekerja mulai siang hari hingga sore hari. Para pemulung ini berkeliling mengambil sampah-sampah yang sekiranya masih bisa dimanfaatkan. Para pemulung sampah ini terdiri atas anak-anak usia remaja yang putus sekolah, bapak-bapak, dan ibu-ibu dari kalangan keluarga yang tidak mampu. Mereka memulung serpihan-serpihan sampah yang bernilai rupiah itu di sepanjang Kelurahan Karangwangkal, Kelurahan Grendeng, hingga seputar kampus Universitas Jenderal Soedirman. Setelah sampah-sampah dan barang bekas itu terkumpul di Koperasi “Babe”, sampah tersebut dipilah-pilah dan akhirnya dijual ke pengepul yang lebih besar. Karena sudah ada kepercayaan, para pengepul pun datang sendiri ke Koperasi “Babe” untuk mengambil dan membeli barang-barang tersebut untuk didaur ulang. Para pengepul ini ada yang berasal dari dalam kota dan ada pula yang dibawa keluar kota Purwokerto.
Melalui Koperasi “Babe” inilah pak Arif dan para pemulung sampah ini memenuhi kehidupannya. Berawal dari sampah menjadi berkah bagi kehidupan dan masa depan mereka. Atas jasa mereka pula sampah tak menjadi masalah. Mereka inilah sosok manusia yang telah menjadikan kota Purwokerto menjadi lebih asri dan indah. Mereka pula yang telah mengubah sampah menjadi berkah bagi kehidupan mereka. Koperasi “Babe” telah membuktikan bahwa sampah atau barang bekas bukan lagi menjadi masalah, bukan pula limbah yang mencemari lingkungan, akan tetapi menjadi berkah yang menyinari kehidupan mereka dan menjadikan lingkungan mereka menjadi lebih hidup tanpa masalah sampah yang berarti. Koperasi “Babe” merupakan langkah yang nyata dari sebuah kelompok yang peduli untuk melestarikan lingkungan mereka dan menyadarkan kita untuk ikut serta dalam rangka menghijaukan Indonesia yang asri. Kita pun bisa mengikuti jejak seperti mereka.