Hidup punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan.Menulis adalah salah satu cara untuk menebar kebaikan, berbagi inspirasi, dan menyebar motivasi kepada orang lain. So, menulislah!
Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan (Nasihat Kiai Rais, dalam Novel Rantau 1 Muara - karya Ahmad Fuadi)
#Karena mimpi itu energi. Teruslah bermimpi yang tinggi, raih yang terbaik.
Jangan lupa sediakan juga senjatanya: “berikhtiar, bersabar, dan bersyukur”. Dimanapun berada.
Kun 'aaliman takun 'aarifan. Ketahuilah lebih banyak, maka akan menjadi lebih bijak. Karena setiap masalah punya solusi. Dibalik satu kesulitan, ada dua kemudahan.
Pendidikan itu ibarat sebuah pepohonan (tanaman)
yang hijau. Ia mampu menampung oksigen, menyerap polusi, menghasilkan energi
dan menjadi produsen bagi organisme yang ada di sekitarnya. Begitu juga dengan
pendidikan yang merupakan oksigen bagi kemajuan karakter anak bangsa, menjadi
energi bagi generasi muda untuk meneruskan cita-cita bangsa, dan menjadi
produsen dalam mencetak para pemimpin
yang tangguh dan berwibawa. “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu” begitulah kata-kata hebat ini tertuang
dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas No. 23 Tahun 2003. Akan tetapi
pada kenyataannya masih banyak anak bangsa yang belum bisa merasakan bangku
pendidikan secara maksimal. Sebagaimana yang dialami oleh anak-anak jalanan di
Kampung Sri Rahayu, Purwokerto Selatan. Padahal mereka juga statusnya sama
yaitu warga negara Indonesia dan menjadi generasi penerus bangsa.
Kampung Sri Rahayu atau yang dikenal dengan istilah
“Kampung Dayak” merupakan sebuah kampung yang terletak di Kelurahan
Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Kampung ini
terletak di tengah-tengah perkotaan kota Purwokerto, tepatnya di belakang taman
kota “Andhang Pangrenan” (dulunya menjadi terminal lama Purwokerto). Mayoritas penduduk
kampung ini adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial yang sangat
kompleks, lingkungannya kumuh, ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan yang
rendah. Secara fisik lingkungan
kampung ini terlihat kumuh dan kurang teratur, kondisi MCK yang kurang layak,
serta kurangnya sarana dan prasarana yang memadai. Secara sosial dan ekonomi
masyarakatnya berada di garis perekonomian lemah dan tergolong masyarakat
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti pengamen, anak jalanan,
pengemis, PSK, waria, dan pengangguran. Sebagian besar masyarakat kampung ini
merupakan pendatang dari kota lain dan sangat jarang sekali orang asli
Purwokerto sendiri mengetahui tentang kondisi sosial dan permasalahan yang ada
di kampung ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui secara detail
tentang kondisi masyarakat kampung Sri Rahayu ini. Padahal kampung ini pernah
didatangi oleh tokoh-tokoh nasional dari Jakarta, bahkan tokoh dari PBB pun pernah
mengunjungi kampung ini, akan tetapi permasalahan yang ada belum terpecahkan (Data
observasi1 dan wawancara dengan Pak Musafa2).
[1]
Observasi dilakukan langsung di Kampung Sri Rahayu Purwokerto
2
Pak Musafa merupakan Pembina Yayasan Sri Rahayu Purwokerto
Anak jalanan di Kampung
Sri Rahayu (Kampung Dayak), Karangklesem, Purwokerto Selatan memiliki
permasalahan sosial yang sangat kompleks dan tingkat pendidikan mereka masih
rendah. Anak-anak ini sebagian besar berprofesi mengikuti
jejak orangtuanya secara turun temurun. Sejak kecil anak-anak ini sudah
diajarkan orangtuanya untuk mencari uang sebagai anak jalanan dengan cara
menjadi pengamen maupun pengemis. Padahal seharusnya usia anak-anak adalah
masa-masa untuk mendapatkan pendidikan dasar, bermain, bersenang-senang, dan
bersuka ria. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Musafa, anak jalanan di Kampung Sri Rahayu berjumlah
sekitar 200 anak yang berusia 2 tahun sampai 17 tahun. Jumlah ini berubah-ubah
dan cenderung mengalami peningkatan karena adanya anak jalanan yang merupakan
pendatang dari kota maupun daerah lain. Anak jalanan di kampung ini terbagi
atas dua macam, yaitu anak jalanan yang turun di jalan (pengamen) dan anak
jalan yang tidak turun ke jalan (masih bisa bersekolah). Anak jalanan yang
turun ke jalan (pengamen) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak
turun ke jalan. Dari jumlah 200 anak jalanan yang ada, hanya 20 persen saja yang
bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar sampai lulus SD, sebagian mengalami
putus sekolah atau drop out sehingga
tidak sampai lulus SD, dan sisanya lagi tidak bersekolah sama sekali. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan anak jalanan di kampung ini masih sangat
rendah. Faktor utama yang menjadi penyebab terhambatnya proses pendidikan anak
jalanan ini adalah kurangnya dukungan dan motivasi dari orang tua mereka.
Orangtua beranggapan pendidikan itu tidak penting dan yang terpenting adalah
mencari uang dengan jalan mengamen atau meminta-minta. Pak Musafa menambahkan
bahwa orangtua mereka hanya berperan sebagai orangtua biologis (yang melahirkan
anaknya) saja, akan tetapi orangtua tersebut secara psikis (kejiwaan) kurang
merasa memiliki dan membina anak mereka dengan baik.
Penanganan anak jalanan
di Kampung Sri Rahayu sudah beberapa kali dilakukan oleh beberapa pihak
terkait, seperti pemerintah setempat dan LSM, akan tetapi upaya tersebut masih
belum memecahkan permasalahan pendidikan di kampung ini. Menurut Anggrayni3
(2009) upaya yang pernah dilakukan untuk mengatasi perilaku menyimpang di
Kampung Sri Rahayu (Kampung Dayak) antara lain mengadakan perkumpulan remaja,
kerja sama dengan LSM Biyung Emban, melakukan himbauan kepada warga. Akan
tetapi upaya tersebut kurang optimal karena rendahnya kesadaran anak jalanan,
kurangnya partisipasi orang tua dan warga, kompleksnya permasalahan dan
dampaknya.
3Anggrayni, R. 2009. Perilaku
Menyimpang Anak Jalanan Kampung Sri Rahayu Purwokerto. Skripsi. Jurusan Sosiologi FISIP Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Sosok Pak Musafa
merupakan tokoh yang luar biasa berjasa dalam penanganan pendidikan di kampung
Sri Rahayu, beliau merupakan lulusan STAIN Purwokerto. Padahal beliau adalah
asli dari Cilacap, akan tetapi setelah menikah beliau memilih untuk mendirikan
tempat tinggalnya di Kampung Sri Rahayu dengan alasan ingin merubah kondisi
kampung Sri Rahayu menjadi lebih baik. Tekad dan semangat Pak Musafa tak pernah
menyerah, walau menghadapi berbagai macam kendala dan rintangan dari masyarakat
sekitar beliau tak pernah goyah hingga jiwa dan raganya pun menjadi taruhannya.
Terbukti beliau masih bertahan sampai sekarang dan telah berhasil mendirikan
Yayasan Sri Rahayu Purwokerto dan menjadi Pembina yayasan tersebut. Menurut Pak
Musafa, upaya yang pernah dilakukan pemerintah setempat (Dinas Sosial) untuk
mengatasi masalah anak jalanan belum bisa mengatasi masalah anak jalanan secara
tuntas, karena hanya dibekali dengan pelatihan saja tapi tidak ada pembinaan
secara intensif. Sehingga setelah selesai pelatihan itu anak jalanan kembali
pada profesi sebelumnya yaitu pengamen atau pengemis. Oleh karena itu, usaha yang dilakukan oleh Pak
Musafa melalui Yayasan Sri Rahayu adalah dengan membentuk sebuah Pesantren “Tombo
Ati” sebagai tempat untuk pembinaan agama dan spiritual anak jalanan. Akan
tetapi hal ini mengalami kendala, yaitu kurangnya tenaga pengajar dan tantangan
yang dihadapi semakin kompleks. Pak Musafa hanya dibantu oleh adiknya dalam
mengelola yayasan dan pesantren “Tombo Ati” ini.
Melihat kendala dan
perjuangan yang dihadapi oleh Pak Musafa, aktivis mahasiswa dari Unit Kegiatan
Kerohanian Islam (UKKI) Unsoed berinisiatif untuk ikut mengelola dan menjadi
bagian dalam mengajar dan membina anak-anak jalanan tersebut. Kegiatan ini
sudah berjalan sejak bulan Maret 2012 hingga sekarang. Di tengah-tengah
padatnya aktivitas perkuliahan, relawan pengajar dari UKKI Unsoed ini akhirnya
membentuk manajemen sendiri dalam mengelola, membagi, dan mengajar anak-anak
jalanan ini. Bahkan relawan pengajar tidak hanya dari Unsoed saja, akan tetapi
beberapa relawan dari masyarakat sekitar Banyumas pun ikut ambil bagian dalam
menjadi pengajar di pesantren ini. Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan
kepada anak-anak jalanan ini tidak hanya mengajarkan huruf-huruf hijaiyah saja
berupa Iqro4, akan tetapi
diberikan juga pembelajaran mengenai akhlak, akidah, dan sejarah tentang
keislaman. Metode yang diterapkan dalam pengajaran adalah berupa nyanyian,
tepuk tangan, cerita-cerita inspiratif, dan permainan karena melihat sisi
psikologis anak-anak tersebut. Kegiatan ini dilakukan setiap sore hingga
menjelang maghrib sesuai dengan jadwal masing-masing pengajar.
4Iqro’
adalah buku berjilid yang digunakan
untuk mengaji
Banyak kendala dan
rintangan yang dihadapi dalam proses pendidikan belajar mengajar bagi anak jalanan
di kampung ini, terutama masalah dana karena relawan pengajar ini tidak digaji
dan tidak mendapat sokongan dana dari pihak manapun. Hanya dibutuhkan kesabaran
dan keikhlasan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui anak jalanan ini. Kesabaran
yang ekstra dalam hal membina dan mengajar sangat diperlukan karena karakter
anak jalanan yang agresif berbeda dengan karakter anak-anak pada umumnya.
Terkadang ada kalanya mengajar harus penuh dengan kelembutan dan kasih sayang
yang tinggi agar anak jalanan tersebut simpatik dan mau ikut kegiatan ini, akan
tetapi perlu juga sikap yang tegas dan penuh pengertian manakala anak jalanan
tersebut susah diatur. Setidaknya usaha seperti inilah yang bisa dilakukan
untuk mengatasi pendidikan bagi anak jalanan, mengubah karakter mereka ke arah
yang lebih baik dan mengarahkan mereka menuju kehidupan yang lebih layak lagi
dibandingkan kehidupan sebelumnya. Kesabaran dan keikhlasan ini pun akhirnya
menghasilkan sebuah prestasi yang cukup membanggakan bagi anak-anak pesantren
“Tombo Ati”, yaitu tim TPQ Tombo Ati berhasil mendapat juara 2 dalam Lomba
Cerdas Cermat TPQ se-Purwokerto Utara pada bulan Agustus 2012 kemarin.
Setidaknya inilah hasil jerih payah yang telah diajarkan oleh para relawan
pangajar dalam mendidik anak-anak jalanan ini.
Model
pendidikan alternatif bagi anak jalanan berupa pesantren “Tombo Ati” ini semoga
terus berlanjut sampai benar-benar tuntas mengatasi masalah yang dihadapi anak
jalanan di kampung Sri Rahayu ini. Sehingga mampu mengubah kampung ini menjadi
kampung yang berwibawa, bermartabat, dan menuntaskan semua permasalahan yang
ada di kampung ini. Karena hanya dengan pendidikan yang baiklah karakter
seseorang bisa dirubah walau harus membutuhkan waktu yang lama. Model
pendidikan alternatif seperti ini juga bisa menjadi acuan dalam pengembangan
pendidikan alternatif bagi anak jalanan di daerah yang lain pada khusunya dan
diharapkan mampu menghijaukan pendidikan di Indonesia pada umumnya. Hijau,
seperti hijaunya pepohonan yang hijau lebat bak permadani yang terhampar luas.
Sampah itu masalah.
Sampah itu limbah. Sampah itu “habis
manis sepah dibuang”. Begitulah nasib yang dialami sampah hingga saat ini. Sampah
divonis sebagai terdakwa dalam setiap kasus pencemaran lingkungan. Padahal
sampah tidak muncul dengan sendirinya. Adanya sampah adalah akibat dari
aktivitas manusia. Manusialah yang menyebabkan sampah itu ada. Mencemari
lingkungan, menimbulkan polusi dan menyebabkan banjir itu juga semata-mata
bukan karena sampah, tapi karena ulah beberapa oknum manusia yang berbuat
semena-mena terhadap sampah, membuangnya secara sembarangan, dan kurangnya rasa
kepedulian dalam pengelolaan sampah.
Terkadang manusia tidak
menyadari bahwa setiap hari pasti manusia itu menghasilkan sampah, baik sampah
organik maupun anorganik. Sebagai contoh masalah sampah yang dihasilkan oleh
mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman, yang bertempat tinggal di daerah
Kelurahan Karangwangkal dan Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Dalam
satu hari seorang mahasiswa makan di warung sebanyak 3 kali dan dibungkus, artinya
dalam satu hari minimal menghasilkan 3 buah sampah plastik kresek dan 3 buah
kertas pembungkus nasi. Total ada 6 buah sampah yang dihasilkan. Jika total mahasiswa
yang berada di kedua kelurahan ini berjumlah 20.000 mahasiswa, maka jumlah
sampah minimal yang dihasilkan adalah 6 x 20.000 = 120.000 sampah/hari. Ini
hanya baru jumlah minimal dari sampah plastik kresek dan kertas pembungkus nasi.
Belum sampah-sampah yang lainnya seperti kertas, botol, plastik, pembungkus
detergen, pembungkus sabun, dan sampah-sampah lainnya yang dihasilkan oleh masyarakat
dan warga sekitar. Ternyata tempat-tempat penampungan sampah setiap hari penuh
dengan aneka macam jenis sampah. Ini baru di dua kelurahan yang ada di Purwokerto
Utara. Belum lagi di kelurahan lain, kecamatan lain, atau bahkan di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Tugel. TPA Gunung Tugel yang merupakan
satu-satunya TPA untuk menampung sampah yang ada di wilayah Purwokerto.
Ternyata Volume sampah yang dibuang ke TPA ini mencapai kurang lebih 325 m3
per hari. Jumlah itu belum termasuk sampah yang dibuang di sembarangan tempat
sekitar permukiman warga. Dari total volume sampah sekitar 325 m3
tersebut, baru 65 persennya yang tercover dan ditampung di TPA. Sedangkan
sisanya sekitar 125 m3 dibuang di sekitar tempat tinggal warga
(Suara Merdeka, 2010)1.
1Suara Merdeka. 2010. Volume Sampah
Warga Purwokerto Capai 325 m3.Diakses di http://suaramerdeka.com
Sampah yang menumpuk di
TPA Gunung Tugel pun belum menyelesaikan masalah secara tuntas karena
menimbulkan dampak lain bagi warga sekitar yaitu mencemari lingkungan,
menimbulkan bau tak sedap, dan menimbulkanpenyakit. Lagi-lagi sampah selalu menimbulkan masalah tanpa memandang
kompromi. Oleh karena itu diperlukan usaha lain untuk mengatasi masalah sampah
tersebut agar tidak menimbulkan masalah bagi yang lainnya. Tak selamanya sampah
itu berstatus sebagai masalah. Bukan pula limbah. Akan tetapi sampah itu bisa
menjadi “habis sepah dibuang, berkah pun
datang”. Sebagaimana yang dilakukan oleh Koperasi “Babe” yang berada di
Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Koperasi pada umumnya menjual
dan mengelola barang-barang yang masih baru, utuh, dan bersih, dan rapi. Akan
tetapi Koperasi “Babe” malah mengelola barang-barang bekas, sampah, rongsok, dan sisa-sisa barang yang sudah
rusak.Sistem yang digunakan dari
koperasi ini pun sama dengan koperasi-koperasi pada umumnya yaitu mensejahterakan
anggota-anggotanya, karena keuntungan yang didapatkan dibagi rata untuk semua
anggota-anggotanya.
Koperasi “Babe” merupakan sebuah koperasi yang
terletak di Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Koperasi ini
didirikan pada tahun 2009 atas bantuan dana salah seorang warga yang peduli
dengan lingkungan sekitarnya. Pada awalnya dana koperasi ini masih menggunakan
dana pinjaman dari orang tersebut, akan tetapi sekarang semua dana pinjaman
tersebut sudah terlunasi dan kini keuntungan dana koperasi bisa dirasakan oleh
semua anggotanya. Koperasi “Babe” ini sekarang sudah 3 tahun berjalan dengan
anggotanya berjumlah 235 orang yang terdiri atas anggota tetap dan para
pemulung. Istilah “Babe” disini merupakan singkatan dari “Barang Bekas”. Koperasi
ini menerima semua jenis sampah atau barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan
atau didaur ulang lagi seperti botol bekas, kaleng, besi, sandal bekas, kertas,
koran, plastik, dan barang bekas lainnya dengan harga yang bervariatif
tergantung jenis barang tersebut. Berdirinya koperasi ini tak lepas dari peran
sosok yang sangat berjasa yaitu Pak Arif Sriyanto (ketua koperasi “Babe”). Selain
sebagai ketua koperasi pak Arif juga bekerja sebagai tukang cukur rambut
sebagai usaha tambahannya. Berkat koperasi ini Pak Arif telah berhasil
mensejahterakan ratusan anggotanya yang sebagian besar merupakan pemulung
sampah yang ada di dua kelurahan, yaitu Kelurahan Karangwangkal dan Kelurahan
Grendeng (Berdasarkan data observasi2
dan wawancara dengan Pak Arif Sriyanto3).
2 Observasi
dilakukan langsung di Koperasi “Babe” Grendeng, Purwokerto Utara
3 Pak Arif
Sriyanto merupakan ketua Koperasi “Babe” Grendeng, Purwokerto Utara
Koperasi “Babe” ini pula merupakan
satu-satunya koperasi di kota Purwokerto yang mengelola sampah dan
barang-barang bekas. Keberhasilan dan kemajuan koperasi ini tak lepas dari
peran berbagai pihak yang bekerja di koperasi ini. Selain Pak Arif, sosok yang
berjasa lainnya dalam penanganan masalah sampah ini adalah petugas pengangkut
sampah dan para pemulung yang selama ini telah menyelesaikan masalah sampah-sampah
tersebut. Setiap pagi sejak pukul 5.30 WIB petugas pengangkut sampah ini
berkeliling dengan gerobaknya dari satu tempat penampung sampah ke tempat
penampung sampah yang lainnya secara rutin. Sungguh luar biasa jasa petugas
ini, walau bau sampah yang menyengat dan kotor, tapi tak pernah mengurangi rasa
semangatnya untuk mengais sampah-sampah tersebut. Satu lagi sosok yang berjasa
dalam mengatasi sampah-sampah tersebut adalah para pemulung sampah yang bekerja
mulai siang hari hingga sore hari. Para pemulung ini berkeliling mengambil
sampah-sampah yang sekiranya masih bisa dimanfaatkan. Para pemulung sampah ini
terdiri atas anak-anak usia remaja yang putus sekolah, bapak-bapak, dan ibu-ibu
dari kalangan keluarga yang tidak mampu. Mereka memulung serpihan-serpihan
sampah yang bernilai rupiah itu di sepanjang Kelurahan Karangwangkal, Kelurahan
Grendeng, hingga seputar kampus Universitas Jenderal Soedirman. Setelah
sampah-sampah dan barang bekas itu terkumpul di Koperasi “Babe”, sampah
tersebut dipilah-pilah dan akhirnya dijual ke pengepul yang lebih besar. Karena
sudah ada kepercayaan, para pengepul pun datang sendiri ke Koperasi “Babe”
untuk mengambil dan membeli barang-barang tersebut untuk didaur ulang. Para
pengepul ini ada yang berasal dari dalam kota dan ada pula yang dibawa keluar
kota Purwokerto.
Melalui Koperasi “Babe”
inilah pak Arif dan para pemulung sampah ini memenuhi kehidupannya. Berawal
dari sampah menjadi berkah bagi kehidupan dan masa depan mereka. Atas jasa
mereka pula sampah tak menjadi masalah. Mereka inilah sosok manusia yang telah
menjadikan kota Purwokerto menjadi lebih asri dan indah. Mereka pula yang telah
mengubah sampah menjadi berkah bagi kehidupan mereka. Koperasi “Babe” telah
membuktikan bahwa sampah atau barang bekas bukan lagi menjadi masalah, bukan
pula limbah yang mencemari lingkungan, akan tetapi menjadi berkah yang
menyinari kehidupan mereka dan menjadikan lingkungan mereka menjadi lebih hidup
tanpa masalah sampah yang berarti. Koperasi “Babe” merupakan langkah yang nyata
dari sebuah kelompok yang peduli untuk melestarikan lingkungan mereka dan
menyadarkan kita untuk ikut serta dalam rangka menghijaukan Indonesia yang
asri. Kita pun bisa mengikuti jejak seperti mereka.