Wednesday, 11 December 2013

Resume Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1)


Setahun lebih yang lalu, tepatnya tanggal 13 Januari 2012 saya membeli bukunya lalu khatam membacanya. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Mei 2013 saya mengikuti bedah buku tersebut bersama dengan penulisnya langsung yaitu Hanum Salsabiela Rais dan 7 bulan kemudian tepatnya tanggal 7 Desember 2013 saya menonton filmnya, “99 Cahaya di Langit Eropa”. Kini, tinggal tentukan waktu untuk berkunjung menginjakkan kaki di Eropa sana: Wina, Paris, Cordoba dan sekitarnya. Bismillah, meloncatkan mimpi lebih tinggi lagi, pasti teyeng. Membaca  dan menonton, keduanya saling melengkapi dalam memvisualisasikan sebuah kisah. Oke, kali ini saya akan sedikit bercerita tentang film tersebut.

            Film “99 Cahaya di Langit Eropa” diangkat dari novel dengan judul yang sama, mengisahkan tentang catatan perjalanan atas sebuah pencarian sang penulis Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra tatkala menapaki hidup di Eropa. Sebuah perjalanan hidup yang menemukan hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eifel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colossesum Roma atau gondola-gondola di Venezia. Perjalanan menapaki jejak Islam di Eropa. Ya, Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol, pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London beriri hati. Kalau dalam prolog novel ini dijabarkan cukup panjang tentang kejayaan Islam di Eropa, tapi di Film ini kita akan lebih melihat secara langsung bangunan-bangunan Eropa yang dulu menjadi pusat peradaban Islam. Jika ingin lebih detail, baca bukunya dan tonton filmnya yah….^,^

            Bagian pertama film ini bersetting tempat di Wina, Austria. Hanum yang diperankan oleh Acha Septiansyah mengikuti suaminya, Rangga yang mendapatkan beasiswa S3 doktoral di negeri ini. Eropa saat ini mungkin berbeda dengan dulu, saat kejayaan Islam berada di benua ini. Harus hati-hati memilih makanan yang halal dan juga susah untuk mendapatkan tempat ibadah. Alhasil, Rangga pun saat kuliah di kampusnya melakukan sholat seruangan dengan tempat ibadah agama lain. Hidup di Eropa cukup tinggi toleransinya, tapi susah mendapatkan kerja kalau tidak mahir berbahasa Jerman. Hanum pun memutuskan untuk mengambil kursus ini. Di tempat kursus inilah Hanum menemukan sosok teman bernama Fatma Pasha, yang berasal dari Turki. Dari Fatmalah Hanum dapat banyak pelajaran dan sejarah tentang peradaban Islam di Eropa. Fatma adalah seorang muslimah yang berhijab. Fatma juga sudah beberapa kali mencoba melamar pekerjaan, tapi kerap kali ditolak oleh perusahaan yang ia lamar. Saat ditanya oleh Hanum, “Fatma, kenapa kamu udah puluhan kali melamar pekerjaan tapi ditolak terus?”. “Karena ini, Hanum” jawab Fatma sambil mengarahkan telunjuknya ke jilbabnya.

Film ini diawali dengan suasana belajar di kelas seorang anak kecil bernama Ayse (anaknya Fatma Pasha). Ayse merupakan satu-satunya siswi muslim di kelas ini. Ayse sering mendapatkan cemooh dan ejekkan dari teman-temannya lantaran Ayse berjilbab. Walau sering diejek dan gurunya juga sudah merayunya agar Ayse melepas jilbabnya agar teman-temannya tidak mengejeknya lagi, tapi Ayse tetap pada pendirian dan keyakinannya untuk tetap mengenakkan jilbabnya itu. Inilah tantangan dan cobaan yang dihadapi oleh Fatma dan Ayse, lantaran mengenakan jilbab. Hanum pun merasa malu, saat ditanya oleh seorang anak kecil bernama Ayse. “Tante Hanum muslimah, tapi kok tidak memakai jilbab?” tanya Ayse. “Mungkin tante Hanum lagi sakit kepala, jadi tidak memakai jilbab” jelas Fatma kepada anaknya. Hanum tersenyum malu mengiyakan jawabannya. Ayse pun meminta Tante Hanum untuk berjilbab dan berjanji kepadanya akan mengenakan jilbab. Dari kedua orang inilah Hanum mendapatkan banyak pencerahan dan pelajaran berharga.  Fatma dan Ayse mengajak Hanum untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah peradaban Islam di Eropa.

Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Kahlenberg, sebuah bukit pegunungan di Wina, Austria yang masih menjadi bagian kecil dari gugusan Alpen yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melihat cantiknya kota Wina dari ketinggian. Dari bukit ini, Fatma menjelaskan kepada Hanum tentang berbagai sudut kota Wina dari pojok A sampai Z.  Kali ini Fatma menunjukkan sebuah masjid yang berada di tepi Sungai Danube, bernama Vienna Islamic Center, yaitu pusat peribadatan umat Islam terbesar di Wina. Tiba-tiba Ayse mengeluarkan darah dari hidungnya. Fatma langsung menggendong anaknya ini yang alergi hawa dingin dan mengajak Hanum turun ke bawah mencari bangunan yang hangat. Mereka masuk ke gereja Saint Joseph. Selain sebuah kafetaria, gereja itu menjadi satu-satunya alternatif tempat berlindung dari hawa dingin yang menusuk. Bukan hanya mereka saja, ternyata banyak turis lain yang juga kedinginan. Masuk ke dalam gereja bukan untuk berdo’a, melainkan karena tak kuat lagi menahan hawa dingin, dan gereja menjadi tempat utuk menghangatkan badan. Mereka mengayunkan kedua tangannya di atas lilin-lilin yang menyala.

Usai dari gereja, mereka mendatangi sebuah kafe yang berada di seberang Saint Joseph. Sembari menikmati sepotong roti croissant dan secangkir cappuccino, Fatma memaparkan berbagai pengetahuan sejarah yang jarang diketahui orang. Saat Fatma pergi ke toilet, Hanum tiba-tiba mendengarkan perbincangan dua orang turis yang sedang membicarakan tentang Turki dan Islam. Kedua turis ini menyebut croissant itu bukan dari Prancis, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kalau makan roti croissant artinya memakan Islam. Hanum yang mendengar perbincangan kedua turis tersebut, terasa kesal dan meminta Fatma untuk melabraknya karena mereka telah mengolok-ngolok Turki dan Islam. Tapi, Fatma tak menghiraukan saran Hanum. Justru Fatma malah membayarkan semua biaya makanan yang dimakan oleh kedua turis yang telah mengejeknya tersebut dan menitipkan secarik tulisan dalam kertas kepada kasir untuk disampaikan kepada kedua turis tersebut. Isi tulisannya adalah: “Hi, I am Fatma, a muslim from Turkey” dan dibawahnya tertulis alamat email Fatma. Inilah cara yang dilakukan Fatma. “Kebaikan adalah cara terbaik untuk mengalahkan keburukan. Senyum bisa mengalahkan amarah yang buruk” jelas Fatma kepada Hanum.

Semenjak mengenal Fatma, Hanum menjadi tambah banyak pengetahuan tentang Islam dan sejarah peradabannya di Eropa. Usai kursus kelas Bahasa Jerman, mereka kerap kali mengunjungi tempat-tempat bersejarah lainnya. Hubungan mereka pun semakin akrab, hingga suatu ketika Fatma yang ditemani Ayse dan suaminya, mengajak Hanum dan Rangga untuk makan di sebuah restoran ala Pakistan bernama Der Wiener Deewan.restoran ini cukup unik, di depan restoran ini terpampang slogan “All You Can Eat, Pay As You Wish: Makan Sepuasnya, Bayar Seikhlasnya”. Restoran yang bukan sekedar restoran, selain menyajikan makanan yang halal, restoran ini juga telah mensyiarkan Islam kepada masyarakat Eropa. Restoran ini menerapkan konsep ikhlas memberi dan menerima. Take and give. Natalie Deewan, pemilik restoran ini percaya bahwa sisi terindah dari manusia yang sesungguhnya adalah kedermawanan. Seandainya di Indonesia ada restoran seperti ini, pasti akan cepat habis yah, hehe.


Tempat lain yang mereka kunjungi selanjutnya adalah Wien Stadt Museum (Museum Kota Wina). Di museum inilah Fatma menunjukkan lukisan Kara Mustafa Pasha, panglima  perang Khalifah Usmaniyah atau Ottoman. Fatma menjelaskan bahwa dirinya masih satu keturunan dengan Kara Mustafa Pasha, itulah kenapa nama belakang Fatma adalah Pasha. “Tapi, di mata orang Eropa, Kara Mustafa adalah seorang penakluk. Karena dia adalah….seorang penjah…,“ Itulah mengapa dia dilukis seburuk ini, papar Fatma dengan kata-kata terpenggal.

Sudah 3 bulan Hanum berteman dengan Fatma, tapi belum pernah bertandang ke rumahnya. Hingga akhirnya Hanum memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya Fatma. Hanum terkejut saat datang ke rumah Fatma, karena saat itu juga sedang ada tiga kawannya Fatma, yaitu Latife, Ezra dan Oznur yang berasal dari Turki juga. Ketiganya mengenakan jilbab dan Hanum kembali tersipu malu lantaran dirinya tidak mengenakan jilbab sendirian. Mereka pun berbincang-bincang tentang Islam dan perjalanan hidupnya. Ruang tamu rumah Fatma dipenuhi dengan kaligrafi dan terdapat tulisan selembar kertas dalam bahasa Jerman yang artinya:

Syiar Muslim di Austria:
1.      Tebarkan senyum indahmu
2.      Kuasai bahasa Jerman dan Inggris
3.      Selalu jujur dalam berdagang

Itulah yang dilakukan Fatma dan ketiga temannya, menjadi agent muslim di Austria dengan prinsip selalu menebar senyum kebaikan dalam menyiarkan Islam disana, selain itu juga harus selalu jujur dalam berdagang dan aktifitas lainnya.

Hanum sudah lama lagi tak bertemu dengan Fatma, semenjak pertemuan terakhirnya saat menonton pertandingan sepakbola antara Turki versus Portugal di Rathaus Fan-zone Wina. Fatma pulang ke Turki bersama suaminya karena ada urusan mendesak.

Setting tempat film ini selanjutnya adalah di Paris. Hanum dan Rangga berkunjung ke Paris. Saat di Paris, Fatma bertemu dengan Marion (yang diperankan oleh Dewi Sandra). Kisah selanjutnya masih panjang…… TO BE CONTINUED…..!!! Yang masih penasaran, silahkan bisa menonton filmnya atau baca bukunya yah, hehe. Dalam Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1) ini juga masih bersambung, jadi nanti juga bakalan ada filmnya yang sesi kedua yang berlatarkan tempat di Cordoba, Granada dan Istanbul.


*Resume ini dibuat berdasarkan Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1) dan ada sedikit penambahan disesuaikan dengan kisah yang ada dalam novelnya.

0 comments: