Welcome Reader

Selamat Datang di blognya Kang Amroelz (Iin Amrullah Aldjaisya)

Menulis itu sehangat secangkir kopi

Hidup punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan.Menulis adalah salah satu cara untuk menebar kebaikan, berbagi inspirasi, dan menyebar motivasi kepada orang lain. So, menulislah!

Sepasang Kuntum Motivasi

Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan (Nasihat Kiai Rais, dalam Novel Rantau 1 Muara - karya Ahmad Fuadi)

Berawal dari selembar mimpi

#Karena mimpi itu energi. Teruslah bermimpi yang tinggi, raih yang terbaik. Jangan lupa sediakan juga senjatanya: “berikhtiar, bersabar, dan bersyukur”. Dimanapun berada.

Hadapi masalah dengan bijak

Kun 'aaliman takun 'aarifan. Ketahuilah lebih banyak, maka akan menjadi lebih bijak. Karena setiap masalah punya solusi. Dibalik satu kesulitan, ada dua kemudahan.

Tuesday, 24 December 2013

Jargon, Bukan Sekedar Kata-Kata


Good Day memang punya banyak pilihan rasa. Salah satunya rasa White Frape, kopi panas berasa dingin. Sama halnya dengan hidup, juga punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan. Because every day is good day, if we can feel and enjoy it. Kali ini bukan soal rasa, tapi saya akan membahas sesuatu dibalik rasa yang menjadikannya menarik. Iya, ada sesuatu hal disana bernama jargon, slogan, atau disebut juga dengan tagline. Good Day memiliki jargon “Hidup Punya Banyak Pilihan Rasa”, Energen punya tagline “minum makanan bergizi”, dan lain sebagainya. Itulah tagline yang menjadi daya tarik bagi konsumen untuk mengkonsumsinya. Maaf, ini bukan iklan yah tapi sebagai contoh saja, hehe.

Masih ingat dengan slogan perjuangan para pahlawan pendahulu kita? Coba perhatikan slogan mereka “Sekali merdeka tetap merdeka”, pilihannya “merdeka atau mati”, atau semangatnya jenderal berbintang lima, panglima besar Jenderal Soedirman “Maju Terus Pantang Menyerah” yang juga menjadi taglinenya kampus almamater saya (Universitas Jenderal Soedirman). Iya, dengan slogan-slogan itulah kemerdekaan negeri ini bisa diraih. Slogan yang terpati di dalam hati para pejuang dan pahlawan, hingga titik darah penghabisan. Jargon tersebut diucapkan dengan suara lantang dan penuh keyakinan.

Atau sebuah kampus dengan jargon “world class civic university”, tentunya hal ini pun diraih sesuai dengan segala kriteria yang sudah ditentukan. Bukan sekedar kata-kata belaka. Pemadam Kebakaran dengan slogannya “pantang pulang sebelum padam”, inilah yang membuat para pemadam kebakaran selalu gigih mengatasi kebakaran, walau maut menghadang mereka. Atau RRI (Radio Republik Indonesia) dengan taglinenya “sekali di udara tetap di udara”, meskipun radio saat ini jarang dilirik karena teknologi media massa sudah semakin canggih dan banyak pesaingnya juga, tapi RRI tetap konsisten dengan berita-beritanya. Atau Pos Express dengan slogannya “Sehari Sampai, Pasti!”, menjadi semangat kinerja kantor pos dalam mengantarkan surat hingga ke pelosok daerah, dalam hitungan sehari. Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang memiliki jargon, slogan, atau tagline yang menjadi kekuatan tersembunyi dibalik kesuksesannya masing-masing.

Ada apa dengan jargon? Slogan? Tagline? Buat apa punya jargon? Untuk apa memiliki Motto hidup? Kenapa harus memiliki itu? Karena ia ibarat bensin bagi motor, ibarat ruh bagi jasad, bersanding bersama misi untuk menembus visi yg kita inginkan. Karena jargon bukan hanya sekedar kumpulan kata yang berderet. Tagline bukan sekedar kata yang berjalin, dan slogan bukan sekedar kata-kata biasa, tapi kata-kata yang bisa menggerakkan semangat yang menyala. Sebait kalimat yang mampu menyuplai energi untuk meraih apa yang kita inginkan. Sederhananya jargon, slogan, tagline atau motto hidup seseorang, kelompok, organisasi,  intansi, perusahaan dan sebagainya adalah kekuatan tersembunyi yang mempunyai daya semangat yang tinggi untuk mencapai visi.

Jargon memang bukan sekedar kata-kata, itulah yang telah saya alami. Saat masih kuliah di semester 5 saya memiliki jargon “Okelah kalau begitu”, semester 6 “Zettai Dekiru”, semester 7 “Semakin Zettai Dekiru”, dan semester 8 dengan tagline ”Take Action with Your Passion to Get Your Dreams”. Kenapa tiap semester berganti jargon? Karena tiap semester menghadapi masa yang berbeda, beda kesibukan dan aktivitas. Jadi perlu penyesuaian diri untuk menghadapi setiap badai yang akan kita hadapi di tiap semester tersebut. Akan tetapi dibalik semua jargon yang saya miliki itu ada satu jargon yang menjadi kekuatan utama, yaitu “Pasti Teyeng!”. Dua frasa kata inilah yang telah mengantarkanku hingga bisa menulis artikel ini. Iya, Pasti Bisa, jika kita mau mencobanya. Pasti Teyeng, jika kita mau bersungguh-sungguh dan Zettai Dekiru bila kita mau berusaha dengan sepenuh hati. So, milikilah jargon, slogan, atau tagline untuk bersanding bersama motto hidup, berjalan seiringan dengan misi dan berlari mengejar mimpi tuk meraih visi yang kita inginkan. 

*Tentang penjelasan jargon-jargon  yang saya miliki tersebut, silahkan bisa baca tulisan saya sebelumnya berjudul JARGON SEMANGAT BERBUAH PRESTASI.

Monday, 16 December 2013

Senyum Outbond Rasa Yoghurt Pelangi….(^,^)


Senyum ceria yang begitu sumringah. Senyum semangat yang berbeda dari biasanya. Senyum perjuangan penuh keberanian yang menyala. Senyum bekerjasama dalam barisan yang teratur. Senyum kekuatan yang penuh dengan keberanian dan optimisme yang tinggi. Walau semyuman mereka kerap kali membuat mata ini meteteskan air mata haru. Entah kenapa? Hanya satu rasa melihat kecerian senyum mereka. Bahagia. Tak bisa didefinisikan lagi dalam kata-kata. Bahagia rasanya bisa mengenal mereka hingga saat ini. Mengenal mereka adalah mengenal karakter anak-anak yang luar biasa. Anak-anak yang menurut saya “lebih dewasa” dari kebanyakan anak-anak pada umumnya. Dewasa dalam berpikir dan memaknai kehidupan ini.  Anak-anak yang berkarakter ini punya stok semangat yang tak pernah redup. Selalu menyala dalam setiap aktivitasnya.

Coba simak video berikut ini, video kegiatan Outbond Pramuka SD IT Harapan BundaPurwokerto (youtube), yang dilaksanakan pada hari Jum’at, 6 Desember 2013:

Video tersebut bisa bikin saya tersenyum, terharu dan tertawa bahagia. Pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan sepanjang saya berkecimpung di dunia pramuka.
Bahagia rasanya bisa mengenal mereka….^,^

            Walau beragam karakter, keunikan, dan perbedaan keceriaan diantara mereka, tapi itulah yang membuat mereka istimewa bersinar seperti pelangi. Memancarkan keindahan bagi yang melihatnya. Kelembutan senyumnya seperti yoghurt sutera, hehe. Rasa bahagia itu memang susah diungkapkan dengan kata-kata. Beneran…! Karena “bahagia” itu memang sederhana, seperti saya mengenal mereka, melihat senyum mereka, dan menyaksikan keceriaan mereka. Sederhana seperti saya menuliskan kata “he…he…” atau simbol seperti ini (^,^). Itulah bahagia yang terurai dalam rangkaian kegiatan outbond yang saya lakukan bersama mereka.

            Outbond ini diikuti oleh anak-anak kelas 3 dan kelas 4 yang dibagi ke dalam 12 kelompok (kelompok “barung” untuk usia siaga dan kelompok “regu” untuk usia penggalang). Sebelum melakukan kegiatan outbond semua anak-anak dikumpulkan di halaman depan sekolah ini untuk dikasih arahan dan penjelsan teknis. Setelah itu dilanjutkan dengan berdo’a dan pemberangkatan secara simbolis ke rute-rute yang sudah ditentukan. Dalam outbond ini ada 6 pos yang harus mereka lalui. Setiap pos diisi dengan 2 kelompok, karena sifatnya kompetisi tapi menyenangkan, sekaligus buat refreshing anak-anak sebelum menghadi ujian akhir sekolah. keenam pos tersebut yaitu:
Pos 1   : Pos becak orang
Pos 2   : Pos tutup mata berantai
Pos 3   : Pos meniti bambu dengan tali
Pos 4   : Pos lubang jaring-jaring
Pos 5   : Pos halang rintang (merayap)

Pos 6   : Pos estafet belut ke dalam botol

Wednesday, 11 December 2013

Resume Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1)


Setahun lebih yang lalu, tepatnya tanggal 13 Januari 2012 saya membeli bukunya lalu khatam membacanya. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Mei 2013 saya mengikuti bedah buku tersebut bersama dengan penulisnya langsung yaitu Hanum Salsabiela Rais dan 7 bulan kemudian tepatnya tanggal 7 Desember 2013 saya menonton filmnya, “99 Cahaya di Langit Eropa”. Kini, tinggal tentukan waktu untuk berkunjung menginjakkan kaki di Eropa sana: Wina, Paris, Cordoba dan sekitarnya. Bismillah, meloncatkan mimpi lebih tinggi lagi, pasti teyeng. Membaca  dan menonton, keduanya saling melengkapi dalam memvisualisasikan sebuah kisah. Oke, kali ini saya akan sedikit bercerita tentang film tersebut.

            Film “99 Cahaya di Langit Eropa” diangkat dari novel dengan judul yang sama, mengisahkan tentang catatan perjalanan atas sebuah pencarian sang penulis Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra tatkala menapaki hidup di Eropa. Sebuah perjalanan hidup yang menemukan hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eifel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colossesum Roma atau gondola-gondola di Venezia. Perjalanan menapaki jejak Islam di Eropa. Ya, Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol, pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London beriri hati. Kalau dalam prolog novel ini dijabarkan cukup panjang tentang kejayaan Islam di Eropa, tapi di Film ini kita akan lebih melihat secara langsung bangunan-bangunan Eropa yang dulu menjadi pusat peradaban Islam. Jika ingin lebih detail, baca bukunya dan tonton filmnya yah….^,^

            Bagian pertama film ini bersetting tempat di Wina, Austria. Hanum yang diperankan oleh Acha Septiansyah mengikuti suaminya, Rangga yang mendapatkan beasiswa S3 doktoral di negeri ini. Eropa saat ini mungkin berbeda dengan dulu, saat kejayaan Islam berada di benua ini. Harus hati-hati memilih makanan yang halal dan juga susah untuk mendapatkan tempat ibadah. Alhasil, Rangga pun saat kuliah di kampusnya melakukan sholat seruangan dengan tempat ibadah agama lain. Hidup di Eropa cukup tinggi toleransinya, tapi susah mendapatkan kerja kalau tidak mahir berbahasa Jerman. Hanum pun memutuskan untuk mengambil kursus ini. Di tempat kursus inilah Hanum menemukan sosok teman bernama Fatma Pasha, yang berasal dari Turki. Dari Fatmalah Hanum dapat banyak pelajaran dan sejarah tentang peradaban Islam di Eropa. Fatma adalah seorang muslimah yang berhijab. Fatma juga sudah beberapa kali mencoba melamar pekerjaan, tapi kerap kali ditolak oleh perusahaan yang ia lamar. Saat ditanya oleh Hanum, “Fatma, kenapa kamu udah puluhan kali melamar pekerjaan tapi ditolak terus?”. “Karena ini, Hanum” jawab Fatma sambil mengarahkan telunjuknya ke jilbabnya.

Film ini diawali dengan suasana belajar di kelas seorang anak kecil bernama Ayse (anaknya Fatma Pasha). Ayse merupakan satu-satunya siswi muslim di kelas ini. Ayse sering mendapatkan cemooh dan ejekkan dari teman-temannya lantaran Ayse berjilbab. Walau sering diejek dan gurunya juga sudah merayunya agar Ayse melepas jilbabnya agar teman-temannya tidak mengejeknya lagi, tapi Ayse tetap pada pendirian dan keyakinannya untuk tetap mengenakkan jilbabnya itu. Inilah tantangan dan cobaan yang dihadapi oleh Fatma dan Ayse, lantaran mengenakan jilbab. Hanum pun merasa malu, saat ditanya oleh seorang anak kecil bernama Ayse. “Tante Hanum muslimah, tapi kok tidak memakai jilbab?” tanya Ayse. “Mungkin tante Hanum lagi sakit kepala, jadi tidak memakai jilbab” jelas Fatma kepada anaknya. Hanum tersenyum malu mengiyakan jawabannya. Ayse pun meminta Tante Hanum untuk berjilbab dan berjanji kepadanya akan mengenakan jilbab. Dari kedua orang inilah Hanum mendapatkan banyak pencerahan dan pelajaran berharga.  Fatma dan Ayse mengajak Hanum untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah peradaban Islam di Eropa.

Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Kahlenberg, sebuah bukit pegunungan di Wina, Austria yang masih menjadi bagian kecil dari gugusan Alpen yang mengitari 7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melihat cantiknya kota Wina dari ketinggian. Dari bukit ini, Fatma menjelaskan kepada Hanum tentang berbagai sudut kota Wina dari pojok A sampai Z.  Kali ini Fatma menunjukkan sebuah masjid yang berada di tepi Sungai Danube, bernama Vienna Islamic Center, yaitu pusat peribadatan umat Islam terbesar di Wina. Tiba-tiba Ayse mengeluarkan darah dari hidungnya. Fatma langsung menggendong anaknya ini yang alergi hawa dingin dan mengajak Hanum turun ke bawah mencari bangunan yang hangat. Mereka masuk ke gereja Saint Joseph. Selain sebuah kafetaria, gereja itu menjadi satu-satunya alternatif tempat berlindung dari hawa dingin yang menusuk. Bukan hanya mereka saja, ternyata banyak turis lain yang juga kedinginan. Masuk ke dalam gereja bukan untuk berdo’a, melainkan karena tak kuat lagi menahan hawa dingin, dan gereja menjadi tempat utuk menghangatkan badan. Mereka mengayunkan kedua tangannya di atas lilin-lilin yang menyala.

Usai dari gereja, mereka mendatangi sebuah kafe yang berada di seberang Saint Joseph. Sembari menikmati sepotong roti croissant dan secangkir cappuccino, Fatma memaparkan berbagai pengetahuan sejarah yang jarang diketahui orang. Saat Fatma pergi ke toilet, Hanum tiba-tiba mendengarkan perbincangan dua orang turis yang sedang membicarakan tentang Turki dan Islam. Kedua turis ini menyebut croissant itu bukan dari Prancis, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kalau makan roti croissant artinya memakan Islam. Hanum yang mendengar perbincangan kedua turis tersebut, terasa kesal dan meminta Fatma untuk melabraknya karena mereka telah mengolok-ngolok Turki dan Islam. Tapi, Fatma tak menghiraukan saran Hanum. Justru Fatma malah membayarkan semua biaya makanan yang dimakan oleh kedua turis yang telah mengejeknya tersebut dan menitipkan secarik tulisan dalam kertas kepada kasir untuk disampaikan kepada kedua turis tersebut. Isi tulisannya adalah: “Hi, I am Fatma, a muslim from Turkey” dan dibawahnya tertulis alamat email Fatma. Inilah cara yang dilakukan Fatma. “Kebaikan adalah cara terbaik untuk mengalahkan keburukan. Senyum bisa mengalahkan amarah yang buruk” jelas Fatma kepada Hanum.

Semenjak mengenal Fatma, Hanum menjadi tambah banyak pengetahuan tentang Islam dan sejarah peradabannya di Eropa. Usai kursus kelas Bahasa Jerman, mereka kerap kali mengunjungi tempat-tempat bersejarah lainnya. Hubungan mereka pun semakin akrab, hingga suatu ketika Fatma yang ditemani Ayse dan suaminya, mengajak Hanum dan Rangga untuk makan di sebuah restoran ala Pakistan bernama Der Wiener Deewan.restoran ini cukup unik, di depan restoran ini terpampang slogan “All You Can Eat, Pay As You Wish: Makan Sepuasnya, Bayar Seikhlasnya”. Restoran yang bukan sekedar restoran, selain menyajikan makanan yang halal, restoran ini juga telah mensyiarkan Islam kepada masyarakat Eropa. Restoran ini menerapkan konsep ikhlas memberi dan menerima. Take and give. Natalie Deewan, pemilik restoran ini percaya bahwa sisi terindah dari manusia yang sesungguhnya adalah kedermawanan. Seandainya di Indonesia ada restoran seperti ini, pasti akan cepat habis yah, hehe.


Tempat lain yang mereka kunjungi selanjutnya adalah Wien Stadt Museum (Museum Kota Wina). Di museum inilah Fatma menunjukkan lukisan Kara Mustafa Pasha, panglima  perang Khalifah Usmaniyah atau Ottoman. Fatma menjelaskan bahwa dirinya masih satu keturunan dengan Kara Mustafa Pasha, itulah kenapa nama belakang Fatma adalah Pasha. “Tapi, di mata orang Eropa, Kara Mustafa adalah seorang penakluk. Karena dia adalah….seorang penjah…,“ Itulah mengapa dia dilukis seburuk ini, papar Fatma dengan kata-kata terpenggal.

Sudah 3 bulan Hanum berteman dengan Fatma, tapi belum pernah bertandang ke rumahnya. Hingga akhirnya Hanum memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya Fatma. Hanum terkejut saat datang ke rumah Fatma, karena saat itu juga sedang ada tiga kawannya Fatma, yaitu Latife, Ezra dan Oznur yang berasal dari Turki juga. Ketiganya mengenakan jilbab dan Hanum kembali tersipu malu lantaran dirinya tidak mengenakan jilbab sendirian. Mereka pun berbincang-bincang tentang Islam dan perjalanan hidupnya. Ruang tamu rumah Fatma dipenuhi dengan kaligrafi dan terdapat tulisan selembar kertas dalam bahasa Jerman yang artinya:

Syiar Muslim di Austria:
1.      Tebarkan senyum indahmu
2.      Kuasai bahasa Jerman dan Inggris
3.      Selalu jujur dalam berdagang

Itulah yang dilakukan Fatma dan ketiga temannya, menjadi agent muslim di Austria dengan prinsip selalu menebar senyum kebaikan dalam menyiarkan Islam disana, selain itu juga harus selalu jujur dalam berdagang dan aktifitas lainnya.

Hanum sudah lama lagi tak bertemu dengan Fatma, semenjak pertemuan terakhirnya saat menonton pertandingan sepakbola antara Turki versus Portugal di Rathaus Fan-zone Wina. Fatma pulang ke Turki bersama suaminya karena ada urusan mendesak.

Setting tempat film ini selanjutnya adalah di Paris. Hanum dan Rangga berkunjung ke Paris. Saat di Paris, Fatma bertemu dengan Marion (yang diperankan oleh Dewi Sandra). Kisah selanjutnya masih panjang…… TO BE CONTINUED…..!!! Yang masih penasaran, silahkan bisa menonton filmnya atau baca bukunya yah, hehe. Dalam Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1) ini juga masih bersambung, jadi nanti juga bakalan ada filmnya yang sesi kedua yang berlatarkan tempat di Cordoba, Granada dan Istanbul.


*Resume ini dibuat berdasarkan Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1) dan ada sedikit penambahan disesuaikan dengan kisah yang ada dalam novelnya.

Mengabdi Tanpa Pamrih, Bermanfaat Tanpa Kenal Letih

Hidup adalah sebuah pengabdian dan kebermanfaatan. Karena hakikat diciptakannya manusia tidak lain adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di planet yang bernama bumi ini. Sebagai hamba, tugas kita adalah mengabdi dan sebagai khalifah tugas kita adalah bermanfaat. Menjadi khoirunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat orang lain) adalah keinginan semua manusia. Pertanyaannya, sudah berapa banyakkah manfaat yang kita tebar?

Mengabdi tanpa pamrih dan bermanfaat tanpa kenal letih, itulah yang telah dilakukan oleh sosok luar biasa bernama Pak Musafa. Entah alasan apa yang menyebabkan pria kelahiran Cilacap, 7 Maret 1978 ini memilih jalan hidup tersebut. Saya sendiri tidak tahu pastinya, yang jelas beliau sangat luar biasa uletnya dalam berkontribusi membangun masyarakat yang bukan tanah kelahirannya itu. Ya, ada visi besar yang ingin beliau raih di kampung tersebut. Bukan mengejar materi. Tidak mengharap gaji. Bukan pula mencari popularitas yang tinggi. Padahal di zaman modern ini orang beramai-ramai mengkomersialkan profesinya demi mengejar rupiah yang kelak tak dibawa mati. Niatnya benar-benar tulus ikhlas dari lubuk hati.

Niatlah yang menjadi medan magnet ketika ada panggilan hati yang mengetuk seorang mahasiswa semester 1 Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto bernama Musafa ini. “Saya harus mengabdikan diri untuk komunitas ini dan harus tinggal disini” papar Musafa ketika pertama kali menginjakkan kakinya pada tahun 2001 di Kampung Sri Rahayu atau yang dikenal dengan Kampung Dayak, Purwokerto Selatan. Sebagian besar masyarakat kampung ini adalah pengamen, anak jalanan, pengemis, PSK, waria, dan pengangguran. Warga asli Purwokerto sendiri banyak yang tidak mengetahui tentang kondisi sosial dan problematika yang ada di kampung ini. Padahal, pada tahun 1999, kampung ini pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh nasional seperti Gubernur Jawa Tengah, pejabat-pejabat dari Jakarta hingga tokoh internasional dari UNICEF.

            Bermula dari latar belakang itulah, beliau memutuskan untuk menetap dan tinggal di kampung tersebut sembari menjalani aktivitasnya sebagai mahasiswa tingkat pertama. Beliau mengontrak sebuah bangunan gubuk dan tinggal bersama beberapa anak jalanan. Sedikit demi sedikit beliau mulai mengenalkan dan mengajarkan huruf hijaiyah, juz ‘amma sampai Al-Qur’an kepada anak-anak jalanan yang tinggal bersamanya. Beliau juga memberikan pembinaan moral dan akhlak kepada mereka. Gubuknya yang kecil itu selain digunakan sebagai tempat tinggal, difungsikan juga sebagai tempat mengaji dan sholat. Selain itu, beliau juga aktif membantu warga dalam urusan pembuatan KTP, mengantar warga yang sakit ke puskesmas atau rumah sakit (karena waktu itu belum ada Jamkesmas atau Jamkesda), serta pengurusan jenazah ketika ada orang yang meninggal (karena sebagian besar warga tersebut adalah pendatang dari luar kota Purwokerto dan tidak diketahui keberadaan keluarganya).

Pada tahun 2004 Pak Musafa berhasil mengadakan acara Khotmil Juz ‘Amma Anak Jalanan yang dihadiri oleh Wakil Bupati Banyumas. Tahun 2007 beliau mengadakan kegiatan Safari Ramadhan yang dihadiri juga oleh Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid dan mendapat bantuan dana sebesar 10 juta rupiah. Bermula dari dana inilah, beliau menginisiasi untuk membangun Pesantren, TPQ, dan Mushola sebagai sarana untuk mendidik anak jalanan dan warga sekitar yang kemudian pada tahun 2008 dibangunlah Pesantren “Tombo Ati”. Pada tanggal 28 November 2008 Pak Musafa memutuskan untuk menikah dan membangun rumah kecil persis di depan Pesantren “Tombo Ati”. Bersama dengan istrinya, beliau terus melanjutkan perjuangannya di kampung ini. Pada tahun 2010, beliau dipercaya menjadi wakil ketua RT selama satu tahun. Pada tahun tersebut juga beliau sukses mengadakan kegiatan Nikah Masal yang diikuti oleh sepuluh pasang mempelai dari keluarga tidak mampu dan berbagai latar belakang yang berbeda. Pada tahun 2011, beliau berhasil mendirikan Yayasan Sri Rahayu, sekaligus menjadi pembina yayasan tersebut. Pada tahun 2013 ini beliau dipercaya oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas untuk menjadi ketua Lembaga Pelaksana ASKESOS (Asuransi Kesejahteraan Sosial) Banyumas, sebuah asuransi untuk kecelakaan dan kematian. Itulah Pak Musafa, mengabdi tanpa pamrih dan bermanfaat tanpa kenal letih.


*Artikel ini sedang diikutkan dalam lomba berbagi inspirasi yang diadakan oleh inspirasi.co dengan judul: “MengabdiTanpa Pamrih, Bermanfaat Tanpa Kenal Letih

Monday, 9 December 2013

Sehat itu Murah dan Terjangkau, Kapan?


          Ada satu kata yang menjadi kebutuhan mutlak semua orang, yaitu “sehat”. Kehadiran sehat ibarat pelita yang mampu menerangi kehidupan. Semua aktivitas bisa kita lakukan kalau kita sehat. Punya harta yang melimpah, mobil mewah, rumah yang megah dan semua keinginan dapat diraih dengan mudah, tapi kalau tidak sehat semua itu menjadi seperti fatamorgana, terlihat ada tapi tak ada artinya lantaran kita tak bisa menikmatinya. Sehat tak bisa dibeli, dijual, atau diganti dengan bentuk yang lain, karena sehat adalah karunia ilahi. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?  

Kesehatan merupakan kebutuhan semua orang, kebutuhanku, kebutuhanmu dan kebutuhan kita semua. Karena sehat milik semua. Akan tetapi sehat masih menjadi sesuatu yang “mahal” bagi sebagian masyarakat, khususnya kaum dhuafa atau fakir miskin. Hal ini terjadi karena kondisi ekonomi mereka tak bisa menjangkau mahalnya biaya berobat/periksa di rumah sakit. Kenapa hal ini terjadi? Padahal pemerintah sudah melakukan program jamkesmas, jamkesda dan jaminan kesehatan lainnya. Kenapa biaya berobat mahal, padahal rempah-rempah bahan obat tersedia melimpah ruah di negeri yang kaya ini. Beberapa waktu yang lalu saya pernah melakukan survey kecil-kecilan lewat facebook, dengan pertanyaan: "Mengapa biaya berobat/periksa di rumah sakit itu mahal (khususnya di Indonesia)?" 

             Menurut Sadam Husein Saputra (alumni Kedokteran Unsoed), faktor yang menentukan harga obat tergantung dari apakah menggunakan asuransi (askes, dan lain-lain), mau dijamin oleh pemerintah (jamkesmas, jamkesda, dan lain-lain) atau menggunakan uang pribadi. Jika menggunakan asuransi, obat yang diberikan terbatas tidak semua ditanggung dan dari jaminan pemerintah pun kebanyakan itu obat generik, di luar hal tersebut pasien harus bayar sendiri. Penentuan obat yang diberikan itu tergantung sama dokter yang memberikan dan selalu menanyakan apakah menggunakan suransi, jaminan pemerintah maupun umum. Jadi, sebaiknya cobalah diskusi dengan dokter untuk obat yang diberikan dari efek obat dan harga.

          Hal senada juga diungkapkan oleh Nena Fauzia (alumni Kesehatan Masyarakat Unsoed) bahwa untuk warga miskin sebenarnya sudah ada jaminan kesehatan (jamkes) dari pemerintah, tapi karena yang namanya program gratis, tentu tetap ada keterbatasan, salah satunya dari segi obat yg biasanya terbatas pada obat generik. Keterbatasan lain, karena anggaran kesehatan dari APBN masih jauh dari standar, maka jamkespun tidak bisa sepenuhnya mengcover semua warga miskin di Indonesia. Dari sisi penyebaran jamkes, tidak dipungkiri banyak kekeliruan aplikasi karena keterbatasan pemerintah menjangkau seluruh masyarakat Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa (bandingkan dengan Singapura yang layanan kesehatannya terkenal bagus). Di aplikasi, banyak warga menengah ke atas yang dapat jamkes, sedangkan masih banyak warga miskin yang belum dapat, akhirnya masalah tidak tuntas terselesaikan. Warga miskin yang tidak dapat jamkes berteriak di sana-sini dengan mahalnya biaya pengobatan. Itu mungkin karena human error, pendataan & penentuan kriteria miskin masih ambigu sehingga jamkes tidak tepat sasaran.

Lebih lanjut Nena menambahkan bahwa dari segi rumah sakit, mereka juga sebenarnya melayani peserta jamkes sebagaimana mestinya. Hanya saja, klaim biaya pengeluaran oleh rumah sakit untuk 'nomboki' para peserta jamkes yang tidak bisa dibilang sedikit itu prosesnya lama. Ada sebuah rumah sakit di Banyumas yang dulu (sekitar 1-2 tahun yang lalu) menyatakan bahwa pemerintah masih berhutang pada rumah sakit itu  sekitar 1 miliar terkait klaim jamkes. Padahal yang menggratiskan itu sebenarnya pemerintah, bukan rumah sakit. Tapi ketika rumah sakit mengklaim tombokkannya ternyata prosesnya lama. Mau tidak mau, mungkin ini mempengaruhi psikologi para tenaga rumah sakit sendiri ketika memberikan pelayanan pada pasien, terutama mereka yang termasuk peserta jamkes. Di rumah sakit juga sebenarnya sudah ada mekanisme subsidi silang. Jadi pemasukan yang besar dari kelas VVIP, VIP, dan seterusnya dapat menutup pemasukan yang kecil dari kelas 3 misalnya. Tapi yang namanya masyarakat, ketika sakit pasti inginnya disembuhkan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan dengan sistem kelas seperti itu, pastilah ada perbedaan pelayanan antara kelas VVIP sampai kelas 3. Akhirnya kadang ada yang menuntut naik kelas, tapi berteriak dengan mahalnya biaya. Sebenarnya mekanisme kelas seperti ini ada baiknya dari segi subsidi silang itu, tapi menjadi kurang baik ketika masyarakat kurang mampu merasa disepelekan akibat kualitas pelayanan yang berbeda dari kelas di atasnya. Sempat ada usulan untuk menyamaratakan kelas pelayanan bagi pasien, tapi kurang tahu sudah ada rumah sakit yang menerapkan atau belum.

Kalau kembali ke pertanyaan kenapa biaya rumah sakit mahal? Ya, memang tidak dipungkiri layanan kesehatan juga butuh modal untuk beli obat, alat periksa (bukan cuma stetoskop dan sejenisnya yang murah-murah itu, tapi juga alat CT Scan, MRI, rontgen yang harganya bisa selangit). Masalahnya adakah yang bisa menjamin untuk mensubsidi biaya itu dengan tepat? Sedangkan pemerintah menganggarkan APBN saja sangat sedikit. Padahal itupun sekian besar persennya sudah dicurahkan untuk kuratif (subsidi biaya pengobatan). Untuk anggaran kesehatan preventif (pencegahan)? Lebih mengenaskan lagi. Padahal pencegahan penyakit juga tidak bisa disepelekan. Bukankah kalau kita sukses mencegah berarti kita tidak perlu sakit dan berobat? Ya, meskipun kemungkinan sakit/celaka karena takdir Allah juga selalu ada, sehingga anggaran untuk kuratif juga tetap penting.

Memang banyak faktor yang menyebabkan biaya berobat/periksa di rumah sakit masih sangat mahal, khususnya bagi kaum dhuafa atau fakir miskin. Padahal mereka juga butuh untuk hidup yang sehat walafiat. Terlepas dari minimnya alokasi anggaran kesehatan dari APBN (kurang dari 3%), yang berdampak pada penyebaran jamkes yang kurang merata dan tidak tepat sasaran, masalah utama yang perlu diperhatikan adalah ketersediaannya rumah sakit yang murah dan terjangkau bagi masyarakat ekonomi lemah, khususnya di pedesaan. Jumlah rumah sakit di Indonesia hanya terdapat di kota-kota besar, masih sangat jarang bahkan tidak ada rumah sakit besar yang berdiri di pedesaan, padahal warga masyarakat desa yang sakit dan enggan berobat ke rumah sakit yang letaknya jauh harus ke kota, butuh biaya ongkos transportasi dari desa ke kota, belum lagi biaya ubtuk berobat itu sendiri yang dirasa masyarakat masih sangat mahal karena adanya jamkesmas pun belum tepat sasaran dan masih banyak warga miskin yang tidak menerima jamkes.

Sederhananya begini, warga yang tinggal di desa pun sangat membutuhkan adanya rumah sakit desa yang murah, aksesnya mudah dan biayanya terjangkau. Memang, di desa sudah ada puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), akan tetapi puskesmas hanya bisa mengatasi masalah penyakit yang ringan, terkendala minimnya sarana prasarana dan kurangnya sumberdaya tenaga medis yang bertugas. Tapi kalau sakit-sakit berat, tetap saja masyarakat desa harus pergi ke rumah sakit yang ada di kota.  Kapan yah masyarakat desa memiliki rumah sakit yang murah dan terjangkau dengan kualitas pelayanan prima seperti rumah sakit elit yang ada di perkotaan? Andai saja saya punya dana yang banyak, saya akan mendirikan rumah sakit tersebut. Persoalan dana (seperti yang terjadi pada minimnya anggaran kesehatan di negeri kita) memang selalu menjadi kendala yang menerjang, apakah hal itu akan terus dibiarkan terjadi? Tapi, masalah kesehatan bukan tanggung jawab pemerintah saja, tapi aku, kamu dan kita semua pun mempunyai andil yang besar untuk menciptakan kesehatan yang murah dan terjangkau. Tahun 2014 katanya akan ada program baru dari pemerintah yang bernama JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) atau nama lainnya SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang dikelola oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Semoga tahun depan BPJS dapat berjalan dengan lancar, sehingga masyarakat bisa menikmati pelayanan kesehatan yang setara (kaya maupun miskin). Apakah dengan adanya BPJS akan menciptakan "sehat yang murah dan terjangkau"? kita lihat saja nanti. Sekali lagi, kesehatan bukan hanya tugas pemerintah saja, akan tetapi aku, kamu, kalian dan kita semua juga memiliki peran serta untuk mewujudkan layanan kesehatan yang terbaik, murah dan terjangkau bagi semua masyarakat. Dengan cara apa? Sesuai dengan kemampuan masing-masing, bisa mencurahkan ide, gagasan atau tips-tips tentang kesehatan lewat tulisan yang diposting di blog atau website masing-masing, jejaring sosial, aksi nyata di lembaga-lembaga kesehatan dan lain sebagainya. Salah satunya seperti yang sudah dilakukan oleh Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhuafa. Semoga akan lahir lagi LKC-LKC yang lainnya untuk mengatasi masalah kesehatan di Indonesia. Let's go, tak action with your passion.


*Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Posting Blog "Sehat Milik Semua" yang diselenggarakan  oleh LKC Dompet Dhuafa dan BLOGdetik.