Setahun lebih yang
lalu, tepatnya tanggal 13 Januari 2012 saya membeli bukunya lalu khatam
membacanya. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Mei 2013 saya mengikuti bedah
buku tersebut bersama dengan penulisnya langsung yaitu Hanum Salsabiela Rais
dan 7 bulan kemudian tepatnya tanggal 7 Desember 2013 saya menonton filmnya,
“99 Cahaya di Langit Eropa”. Kini, tinggal tentukan waktu untuk berkunjung
menginjakkan kaki di Eropa sana: Wina, Paris, Cordoba dan sekitarnya. Bismillah,
meloncatkan mimpi lebih tinggi lagi, pasti teyeng. Membaca dan menonton, keduanya saling melengkapi
dalam memvisualisasikan sebuah kisah. Oke, kali ini saya akan sedikit bercerita
tentang film tersebut.
Film “99 Cahaya di Langit Eropa” diangkat dari novel
dengan judul yang sama, mengisahkan tentang catatan perjalanan atas sebuah
pencarian sang penulis Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra tatkala
menapaki hidup di Eropa. Sebuah perjalanan hidup yang menemukan hal lain yang
jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eifel, Tembok Berlin, Konser Mozart,
Stadion Sepakbola San Siro, Colossesum Roma atau gondola-gondola di Venezia.
Perjalanan menapaki jejak Islam di Eropa. Ya, Eropa dan Islam. Mereka pernah
menjadi pasangan serasi. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol,
pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London
beriri hati. Kalau dalam prolog novel ini dijabarkan cukup panjang tentang
kejayaan Islam di Eropa, tapi di Film ini kita akan lebih melihat secara
langsung bangunan-bangunan Eropa yang dulu menjadi pusat peradaban Islam. Jika
ingin lebih detail, baca bukunya dan tonton filmnya yah….^,^
Bagian pertama film ini bersetting tempat di Wina,
Austria. Hanum yang diperankan oleh Acha Septiansyah mengikuti suaminya, Rangga
yang mendapatkan beasiswa S3 doktoral di negeri ini. Eropa saat ini mungkin
berbeda dengan dulu, saat kejayaan Islam berada di benua ini. Harus hati-hati
memilih makanan yang halal dan juga susah untuk mendapatkan tempat ibadah. Alhasil,
Rangga pun saat kuliah di kampusnya melakukan sholat seruangan dengan tempat
ibadah agama lain. Hidup di Eropa cukup tinggi toleransinya, tapi susah mendapatkan
kerja kalau tidak mahir berbahasa Jerman. Hanum pun memutuskan untuk mengambil
kursus ini. Di tempat kursus inilah Hanum menemukan sosok teman bernama Fatma
Pasha, yang berasal dari Turki. Dari Fatmalah Hanum dapat banyak pelajaran dan
sejarah tentang peradaban Islam di Eropa. Fatma adalah seorang muslimah yang
berhijab. Fatma juga sudah beberapa kali mencoba melamar pekerjaan, tapi kerap
kali ditolak oleh perusahaan yang ia lamar. Saat ditanya oleh Hanum, “Fatma,
kenapa kamu udah puluhan kali melamar pekerjaan tapi ditolak terus?”. “Karena
ini, Hanum” jawab Fatma sambil mengarahkan telunjuknya ke jilbabnya.
Film
ini diawali dengan suasana belajar di kelas seorang anak kecil bernama Ayse
(anaknya Fatma Pasha). Ayse merupakan satu-satunya siswi muslim di kelas ini.
Ayse sering mendapatkan cemooh dan ejekkan dari teman-temannya lantaran Ayse berjilbab.
Walau sering diejek dan gurunya juga sudah merayunya agar Ayse melepas
jilbabnya agar teman-temannya tidak mengejeknya lagi, tapi Ayse tetap pada
pendirian dan keyakinannya untuk tetap mengenakkan jilbabnya itu. Inilah
tantangan dan cobaan yang dihadapi oleh Fatma dan Ayse, lantaran mengenakan
jilbab. Hanum pun merasa malu, saat ditanya oleh seorang anak kecil bernama
Ayse. “Tante Hanum muslimah, tapi kok tidak memakai jilbab?” tanya Ayse. “Mungkin
tante Hanum lagi sakit kepala, jadi tidak memakai jilbab” jelas Fatma kepada
anaknya. Hanum tersenyum malu mengiyakan jawabannya. Ayse pun meminta Tante
Hanum untuk berjilbab dan berjanji kepadanya akan mengenakan jilbab. Dari kedua
orang inilah Hanum mendapatkan banyak pencerahan dan pelajaran berharga. Fatma dan Ayse mengajak Hanum untuk mengunjungi
tempat-tempat bersejarah peradaban Islam di Eropa.
Tempat
pertama yang mereka kunjungi adalah Kahlenberg, sebuah bukit pegunungan di
Wina, Austria yang masih menjadi bagian kecil dari gugusan Alpen yang mengitari
7 negara Eropa. Dari Kahlenberg, orang bisa melihat cantiknya kota Wina dari
ketinggian. Dari bukit ini, Fatma menjelaskan kepada Hanum tentang berbagai
sudut kota Wina dari pojok A sampai Z.
Kali ini Fatma menunjukkan sebuah masjid yang berada di tepi Sungai
Danube, bernama Vienna Islamic Center, yaitu pusat peribadatan umat Islam
terbesar di Wina. Tiba-tiba Ayse mengeluarkan darah dari hidungnya. Fatma
langsung menggendong anaknya ini yang alergi hawa dingin dan mengajak Hanum
turun ke bawah mencari bangunan yang hangat. Mereka masuk ke gereja Saint
Joseph. Selain sebuah kafetaria, gereja itu menjadi satu-satunya alternatif
tempat berlindung dari hawa dingin yang menusuk. Bukan hanya mereka saja,
ternyata banyak turis lain yang juga kedinginan. Masuk ke dalam gereja bukan
untuk berdo’a, melainkan karena tak kuat lagi menahan hawa dingin, dan gereja
menjadi tempat utuk menghangatkan badan. Mereka mengayunkan kedua tangannya di
atas lilin-lilin yang menyala.
Usai
dari gereja, mereka mendatangi sebuah kafe yang berada di seberang Saint
Joseph. Sembari menikmati sepotong roti croissant dan secangkir cappuccino,
Fatma memaparkan berbagai pengetahuan sejarah yang jarang diketahui orang. Saat
Fatma pergi ke toilet, Hanum tiba-tiba mendengarkan perbincangan dua orang
turis yang sedang membicarakan tentang Turki dan Islam. Kedua turis ini
menyebut croissant itu bukan dari
Prancis, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Croissant melambangkan bendera Turki
yang bisa dimakan. Kalau makan roti croissant
artinya memakan Islam. Hanum yang mendengar perbincangan kedua turis tersebut,
terasa kesal dan meminta Fatma untuk melabraknya karena mereka telah
mengolok-ngolok Turki dan Islam. Tapi, Fatma tak menghiraukan saran Hanum.
Justru Fatma malah membayarkan semua biaya makanan yang dimakan oleh kedua
turis yang telah mengejeknya tersebut dan menitipkan secarik tulisan dalam
kertas kepada kasir untuk disampaikan kepada kedua turis tersebut. Isi
tulisannya adalah: “Hi, I am Fatma, a
muslim from Turkey” dan dibawahnya tertulis alamat email Fatma. Inilah cara
yang dilakukan Fatma. “Kebaikan adalah
cara terbaik untuk mengalahkan keburukan. Senyum bisa mengalahkan amarah yang
buruk” jelas Fatma kepada Hanum.
Semenjak
mengenal Fatma, Hanum menjadi tambah banyak pengetahuan tentang Islam dan
sejarah peradabannya di Eropa. Usai kursus kelas Bahasa Jerman, mereka kerap
kali mengunjungi tempat-tempat bersejarah lainnya. Hubungan mereka pun semakin
akrab, hingga suatu ketika Fatma yang ditemani Ayse dan suaminya, mengajak
Hanum dan Rangga untuk makan di sebuah restoran ala Pakistan bernama Der Wiener
Deewan.restoran ini cukup unik, di depan restoran ini terpampang slogan “All You Can Eat, Pay As You Wish: Makan
Sepuasnya, Bayar Seikhlasnya”. Restoran yang bukan sekedar restoran, selain
menyajikan makanan yang halal, restoran ini juga telah mensyiarkan Islam kepada
masyarakat Eropa. Restoran ini menerapkan konsep ikhlas memberi dan menerima. Take and give. Natalie Deewan, pemilik
restoran ini percaya bahwa sisi terindah
dari manusia yang sesungguhnya adalah kedermawanan. Seandainya di Indonesia
ada restoran seperti ini, pasti akan cepat habis yah, hehe.

Tempat
lain yang mereka kunjungi selanjutnya adalah Wien Stadt Museum (Museum Kota
Wina). Di museum inilah Fatma menunjukkan lukisan Kara Mustafa Pasha,
panglima perang Khalifah Usmaniyah atau
Ottoman. Fatma menjelaskan bahwa dirinya masih satu keturunan dengan Kara
Mustafa Pasha, itulah kenapa nama belakang Fatma adalah Pasha. “Tapi, di mata
orang Eropa, Kara Mustafa adalah seorang penakluk. Karena dia adalah….seorang
penjah…,“ Itulah mengapa dia dilukis seburuk ini, papar Fatma dengan kata-kata
terpenggal.
Sudah
3 bulan Hanum berteman dengan Fatma, tapi belum pernah bertandang ke rumahnya.
Hingga akhirnya Hanum memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya Fatma. Hanum
terkejut saat datang ke rumah Fatma, karena saat itu juga sedang ada tiga
kawannya Fatma, yaitu Latife, Ezra dan Oznur yang berasal dari Turki juga.
Ketiganya mengenakan jilbab dan Hanum kembali tersipu malu lantaran dirinya
tidak mengenakan jilbab sendirian. Mereka pun berbincang-bincang tentang Islam
dan perjalanan hidupnya. Ruang tamu rumah Fatma dipenuhi dengan kaligrafi dan
terdapat tulisan selembar kertas dalam bahasa Jerman yang artinya:
Syiar
Muslim di Austria:
1.
Tebarkan
senyum indahmu
2.
Kuasai
bahasa Jerman dan Inggris
3.
Selalu
jujur dalam berdagang
Itulah yang dilakukan Fatma dan ketiga
temannya, menjadi agent muslim di Austria dengan prinsip selalu menebar senyum
kebaikan dalam menyiarkan Islam disana, selain itu juga harus selalu jujur
dalam berdagang dan aktifitas lainnya.
Hanum sudah lama lagi tak bertemu dengan
Fatma, semenjak pertemuan terakhirnya saat menonton pertandingan sepakbola
antara Turki versus Portugal di Rathaus Fan-zone Wina. Fatma pulang ke Turki
bersama suaminya karena ada urusan mendesak.
Setting
tempat film ini selanjutnya adalah di Paris. Hanum dan Rangga berkunjung ke
Paris. Saat di Paris, Fatma bertemu dengan Marion (yang diperankan oleh Dewi
Sandra). Kisah selanjutnya masih panjang…… TO
BE CONTINUED…..!!! Yang masih penasaran, silahkan bisa menonton filmnya
atau baca bukunya yah, hehe. Dalam Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1)
ini juga masih bersambung, jadi nanti juga bakalan ada filmnya yang sesi kedua
yang berlatarkan tempat di Cordoba, Granada dan Istanbul.
*Resume ini dibuat
berdasarkan Film “99 Cahaya di Langit Eropa” (Part 1) dan ada sedikit
penambahan disesuaikan dengan kisah yang ada dalam novelnya.