Welcome Reader

Selamat Datang di blognya Kang Amroelz (Iin Amrullah Aldjaisya)

Menulis itu sehangat secangkir kopi

Hidup punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan.Menulis adalah salah satu cara untuk menebar kebaikan, berbagi inspirasi, dan menyebar motivasi kepada orang lain. So, menulislah!

Sepasang Kuntum Motivasi

Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan (Nasihat Kiai Rais, dalam Novel Rantau 1 Muara - karya Ahmad Fuadi)

Berawal dari selembar mimpi

#Karena mimpi itu energi. Teruslah bermimpi yang tinggi, raih yang terbaik. Jangan lupa sediakan juga senjatanya: “berikhtiar, bersabar, dan bersyukur”. Dimanapun berada.

Hadapi masalah dengan bijak

Kun 'aaliman takun 'aarifan. Ketahuilah lebih banyak, maka akan menjadi lebih bijak. Karena setiap masalah punya solusi. Dibalik satu kesulitan, ada dua kemudahan.

Monday, 19 January 2015

Dua Bule Asal Prancis Singgah di Fitako


Detik-detik pergantian tahun mempunyai makna tersendiri bagi setiap orang. Berbagai cara ditempuh untuk melewati masa yang juga merupakan liburan akhir dan awal tahun.  Penyalaan kembang api dan petasan, mungkin itu yang paling banyak dilakukan di kota-kota besar. Ada lagi yang menikmati pergantian tahun dengan mendaki gunung, berkemah, berlayar atau bertualang lainnya. Berbeda halnya dengan orang asing yang merayakan pergantian tahun dengan bertualang keliling dunia. Dua warga asing mengejutkan masyarakat Desa Fitako. Tepat di akhir tahun  2014 sebuah kapal kecil berlabuh di depan Pulau Panjang, Loloda Kepulauan. Hingga awal tahun 2015 kapal yang diketahui berisi warga orang asing tersebut masih bertahan di depan pulau, tepatnya di depan Desa Fitako. Mungkin orang tersebut sedang berlibur di pulau ini, kata sebagian orang.

            Memasuki hari ketiga, tepatnya tanggal 2 Januari 2015 kapal warga asing tersebut masih bertahan di tempat tersebut. Salah seorang warga Fitako pun mencoba mendatangi kapal tersebut dan mengajak penumpang kapal asing tersebut untuk singgah di Desa Fitako. Rupanya kapal tersebut hanya ditumpangi oleh dua orang saja. Keduanya merupakan sepasang suami isteri. Kehadiran dua orang bule tersebut menarik perhatian masyarakat desa Fitako. Aku pun ikut dalam kerumunan warga dan mencoba bertanya-tanya tentang kedua bule asing tersebut. Aku mencoba berkenalan dengan keduanya. “My Name is Sebastian” ujar lelaki bule tersebut. Sedangkan sang isteri bernama Christine. Sepasang suami isteri tersebut berasal dari Prancis. Rupanya Mr. Sebastian sedikit bisa berbahasa Indonesia, hingga warga masyarakat pun bertanya-tanya kepada bule tersebut. Sedangkan istrinya (Mrs. Christine) hanya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Inggris.

            Sepasang suami-isteri tersebut sudah berlayar keliling dunia selama 30 tahun. Aku dan masyarakat Fitako pun terkaget mendengar pemaparan kedua bule tersebut. “Kami sejak tahun 1984 memulai perjalanan keliling dunia” jawab Mr. Sebastian saat ditanya tentang perjalanannya sampai di tanah Maluku ini. “Negara mana saja yang sudah dijelajahi Mr?” tanyaku. Bule yang berkacamata ini mengungkapkan sudah banyak negara yang mereka jelajahi mulai dari benua Eropa, Asia, Afrika, Amerika, Australia, tak bisa disebutkan satu per satu. Kalau dalam peta bisa kita lihat perjalanan kami, ujarnya.



            Usai berdialog banyak dengan kedua bule tersebut, aku dan Pak Manan mengajak kedua bule tersebut untuk berkunjung ke atas keliling Desa Fitako. Kedua bule tersebut pun bersedia menerima tawaran kami. Dengan melewati jalan yang menanjak ini, kedua bule berjalan keliling desa fitako dan anak-anak pun mengikuti dari belakang. Warga yang melihat kedatangan bule asing ini pun langsung berduyun-duyun mendekat. Kedua bule tersebut mampir di rumahnya Pak Manan. Kedua turis tersebut langsung disuguhi kursi untuk duduk di depan rumah,bersama dengan aku disebelahnya. Salah seorang warga ada yang memberi buah langsa (duku), kedua bule pun langsung mencicipi buah yang lagi musim tersebut. Selain langsa, juga ada yang memberi buah mangga. Ada pula yang mengasih batu hitam kepada bule tersebut.

            Beberapa anak pun terlihat ada yang mencoba speak-speak dengan bahasa Inggris. Randi (Siswa Kelas 3 SMA) mencoba mengucapkan sepatah dua patah kata yang dia ketahui. “Where…?” tanyanya. Rupanya Randi bingung mau ngomong apa, tiba-tiba saja dia langsung pergi dan tersipu malu lantaran lupa dengan kosa kata yang akan ditanyakan kepada sang bule. Berbeda lagi dengan Anita yang ada di sebelahku. Dia minta izin kepadaku. “Pak, saya izin dulu nyah mau mengambil kamus” ujar Anita sambil pergi meninggalkanku. Lain lagi dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang juga iseng-iseng dengan menggunakan kosa kata Bahasa Inggris yang diketahuinya. Suasana semakin hidup dan terlihat kocak. Apalagi saat kami berdialog dengan kedua bule tersebut.


            “Bagus….! Menarik…! Welcome….!” jawab kedua bule tersebut saat aku bertanya tentang pesan kesan tentang desa ini. Sambil mengeluarkan kedua jempolnya, kedua bule tersebut memuji keramahan masyarakat yang menyambutnya dengan baik. Sepatah dua patah kata keluar dengan begitu sumringahnya wajah dari kedua bule. Sebelum pulang, warga pun berfoto bersama dengan kedua bule tersebut. Karena waktu sudah cukup sore, kami pun akhirnya mengantarkan kedua turis Prancis tersebut pulang kembali ke kapalnya yang masih berlabuh di depan pantai Fitako. “Good bye mister” sapa anak-anak sambil tersipu malu mengungkapkannya. Sore itu benar-benar menjadi perbincangan menarik dalam 3 bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Loloda dan Bahasa Perancis. Kehadiran dua bule tersebut walau sejenak, tapi cukup menyita perhatian warga setempat. Disinilah pentingnya mempelajari Bahasa  Inggris sebagai bahasa internasional. Tapi, yang lebih dipertanyakan adalah apa tujuan utama bule tersebut datang ke pulau ini? 

Wola 7 Purnama


Masak….. Masak sendiri
Makan…. Makan sendiri
Cuci baju sendiri…..
Tidur pun sendiri…. (tapi, sering ditemani anak-anak)
Kamar mandi tak punya
Listrik pun tiada
Lampu hanya sel surya
Itu pun hanya malam menyala
Ngecash HP keliling tetangga
Ngambil air pun ke tetangga
Hingga masak pun pakai kayu bakar

(Nyanyian episode gubuk 7 purnama)

Tepat 7 purnama berada di gubuk mungil ini, sendiri walau berdua. Kalau dihitung, telah lahir banyak cerita, goresan karya dan lembaran hidup yang patut untuk disyukuri. Sendiri, mulai dari masak, makan, tidur dan kalau mandi atau mencuci harus ke sungai (masa 4 bulan pertama), harus ke WC umum atau ke kamar mandi tetangga bila ingin buang air besar atau mandi, karena gubuk mungil ini tidak punya kamar mandi. Air untuk masak dan mencuci piring pun harus ngangsu (mengambil) dengan ember dan gligen di pancuran air yang mengalir di WC umum atau sumber air yang di RT tetangga. Terkadang terpaksa pula harus minta tolong anak-anak untuk mengaambilkan air, anak yang perempuan terkadang ikut membantu masak dan mencuci piring.

Sudah 7 bulan berlalu, sudah 7 bulan pula pakaian tak disetrika. Biarin…! Karena disini juga tak ada setrika. Jangankan untuk setrika, listrik juga tidak ada. Ya, yang ada hanyalah lampu surya yang menyala hanya di waktu malam selepas maghrib hingga lepas shubuh (itu normalnya bila matahari panas saat siang harinya). Tapi kalau musim hujan atau mendung, maka lampu surya pun mudah redup dan cepat padam. Pernah hanya menyala selama 2,5 jam (jam 18.30-21.00), karena siang harinya hujan seharian, otomatis tidak ada sinar matahari. Otomatis harus pakai penerang lain yaitu lampu poci, sebutan lampu mungil bernama lampu api yang terbuat dari botol dengan sumbu kain berisi pasir putih dan minyak tanah.

Tepat sudah 215 hari berlalu, sendiri walau berdua, karena kepsek sering ke luar kota atau pulang ke rumah utamanya di desa, pulau lain. Tapi, biar sendiri masih ada anak-anak yang menemani baik siang atau malam. Banyak cerita unik dan menarik yang ditorehkan selama tinggal di gubuk ini. Pernah kebanjiran di malam hari, terpaksa jam 2 dini hari harus gotong-gotong kasur yang ada di atas lantai dan harus menyapu air yang masuk rumah. Pernah juga jika angin kencang datang ditambah hujan lebat, gubuk ini terasa ikut bergoyang-goyang serasa mau rubuh, bambu pagar pernah terlepas jatuh, atap rumah (seng) berbunyi-bunyi tersingkab tertanda mau lepas oleh terpaan angin, bocor saat tidur nyenyak dan masih banyak lagi sepenggal cerita selama di gubuk ini.

Gubuk yang hanya terdiri atas 2 kamar (saya dan kepsek) ditambah dapur kecil di bagian belakang ini memang memiliki sejuta kenangan. Kalau pintu depan tidak di kunci, seringkali Ngadimah (orang gila di desa ini) masuk secara tiba-tiba, saat aku lagi masak di dapur. Memang tidak mengganggu, tapi sering usil, mengambil makanan dan yang paling utama adalah bou-bou (bau) tubuhnya yang tak tahan. Sering ngomong tanpa jeda tanpa henti dengan bahasa yang saya sendiri tidak mengerti. Kalau saya menyebutnya manusia setengah gila, karena sebenarnya dia juga masih sadar dan bisa diajak bicara dan cenderung menceritakan kondisi keluarganya dengan cerita yang panjang lebar, tapi terkadang sering bikin onar, teriak-teriak tidak jelas, dan perilaku-perilaku aneh lainnya yang menjadikannnya dia dijuluki gila. Tidak hanya di gubuk mungil ini, orang setengah gila ini juga sering mengganggu saat di sekolah. berdasarkan pengamatan salama ini, dia akan cenderung mencari perhatian bila ada orang baru atau pendatang.

Walau penuh dengan suka dan duka, pahit-manis pun seiring bergantian datang melalui gubuk ini. Sendiri, walau berdua. Tapi telah banyak warga yang begitu lebih peduli baik secara langsung maupun tak langsung. Terima kasih buat semua warga desa Fitako atas perhatiannya selama ini. Ada yang antar beras, walau cuma satu cupa tapi karena banyak cupa hingga akhirnya terkumpullah 1 karung beras dan 1 plastik besar gula pasir. Awalnya saya kaget ketika Pak Husen (wakil Imam, yang menginisiasi gotong royong kepedulian tersebut) datang membawa paket kiriman warga tersebut ke gubuk ini. berawal dari hal tersebut, satu demi satu berdatangan, ada yang kasih beras, gula, mie, ikan,  bole (pisang), kasbi (singkong), minyak, kayu bakar dan makanan lainnya. Sekali lagi terima kasih, mata ini serasa ingin meneteskan air mata haru kalau mengenang masa-masa itu. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Bahkan kepedulian pun terlontarkan oleh aneka ucapan yang terkadang menggelitik. Seperti, “sudah cari isteri orang sini aja, biar ada yang bantuin masak” ujar salah seorang warga. ada juga yang bertanya, “Mas, berasnya masih ada?”. “Bekalnya masih ada pak?”. “kalau tidak ada bilang yah?”. “Mie masih ada? Kalau tarada, ambil kios sini sudah”, dan masih banyak aneka macam pertanyaan lainnya yang menunjukkan perhatian. Bahkan sangking perhatiannya, tidak hanya sapa menyapa dan menanya, tapi langsung sidak ke rumah mengecek ketersediaan bekal di rumah, masih ada atau sudah habis. Terkadang pula, diajak ke rumahnya untuk santap makan, alhasil sudah banyak rumah yang saya kunjungi. Terlebih kalau usai sholat jum’at, banyak tawaran untuk makan di rumah warga sampai saya bingung memilihnya, akhirnya dipilihlah yang lebih duluan mengajak.

Rasanya berat untuk berpindah dari gubuk ini, tapi lebih berat lagi jika terus bertahan? Memilih itu konsekuensi. Memutuskan satu pilihan butuh banyak pertimbangan. Mungkin sama seperti ketika memutuskan untuk menikah kali yah, hehe. Memilih untuk berpindah atau bertahan? Keduanya beresiko. Keduanya beralasan. Kalau ditimbang dengan model jungkat-jungkit (alat peraga kelas VI), gaya yang besar adalah “pindah”. Selamat tinggal masa “sendiri, walau berdua”. Masa yang penuh jatidiri, penuh makna, penuh kenangan dan ratapan. Masa yang telah menjadi autoklaf hidup mandiri seorang pemuda yang sedang berjuang di ujung negeri. Masa yang telah mendewasakan hidup ini penuh dengan warna warni dan pelangi telah menjadi panorama indah dalam setiap lika-likunya.

Sendiri menyepi, tenggelam dalam renungan.
Adakah aku seakan ku jauh dari ketenangan.
Perlahan ku cari, mengapa diriku hampa.
Mungkin ada salah, mungkin ku tersesat, mungkin dan mungkin lagi.
Oh Tuhan aku merasa sendiri menyepi,
ingin ku menangis menyesali diri mengapa terajdi.
Sampai kapan ku begini, resah tak bertepi,
kembalikan aku pada cahaya-Mu yang sempat menyala,
benderang di hidupku.

Lagu Edcoustic berjudul “Sendiri menyepi” ini mengakhiri keputusanku yang sudah bulat ini. Bismillah. Berhijrah, walau selangkah. Selamat tinggal gubuk 7 purnama. Karena, gajah di pelupuk mata memang tak akan pernah tampak, tapi bakteri di ujung gunung sekalipun terlihat gagah perkasa. Begitulah, salah satu alasannya.