Welcome Reader

Selamat Datang di blognya Kang Amroelz (Iin Amrullah Aldjaisya)

Menulis itu sehangat secangkir kopi

Hidup punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan.Menulis adalah salah satu cara untuk menebar kebaikan, berbagi inspirasi, dan menyebar motivasi kepada orang lain. So, menulislah!

Sepasang Kuntum Motivasi

Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan (Nasihat Kiai Rais, dalam Novel Rantau 1 Muara - karya Ahmad Fuadi)

Berawal dari selembar mimpi

#Karena mimpi itu energi. Teruslah bermimpi yang tinggi, raih yang terbaik. Jangan lupa sediakan juga senjatanya: “berikhtiar, bersabar, dan bersyukur”. Dimanapun berada.

Hadapi masalah dengan bijak

Kun 'aaliman takun 'aarifan. Ketahuilah lebih banyak, maka akan menjadi lebih bijak. Karena setiap masalah punya solusi. Dibalik satu kesulitan, ada dua kemudahan.

Tuesday, 30 December 2014

Sepucuk Surat dari Jerman


Surat dari Gottingen (Jerman) sudah tiba di Loloda Kepulauan (Maluku Utara). Danke mba Aulid atas postcard yg isinya sangat menyengat hati ini. Salamnya akan saya sampaikan ke anak2. Cita-cita, optimisme dan semangat ini semoga akan terus berkibar. Semoga kelak ada anak2 disini jg yg bisa menginjakkan kaki di Eropa sana. Terima ksh atas motivasi, nasihat dan petuah dahsyatnya. Salam hangat dari Indonesia Timur. Dari sinilah kebangkitan nusantara kita. 2045 anak2 saat inilah yg akan mjd pejuangnya





Salam cendekia dari Halmahera Utara utk mba Aulid di Eropa. Sangat betul sekali mba pesan yg satu ini. Indonesia bukan hanya kaya, tp luar biasa. Maka, nikmat Tuhanmu yg manakah yg kamu dustakan? Ayo mba Aulid segera pulang ke Indonesia, utk membangun dan menjaga alam yg gemah ripah loh jinawi ini. Kiprah mba Aulid selaku penerus B.J. Habibie sudah ditunggu oleh bumi pertiwi. 


*Danke...! atas pesan2nya. Krn sebuah tulisan walau sdkt lebih tajam daripada senjata perang

Sekolah (Bukan) Kerajaan


Sekolah adalah tempat belajar mengajar, bukan tempat melakukan anak seperti layaknya pekerja. Anak-anak datang ke sekolah dengan begitu riangnya untuk menuntut ilmu, tapi apa jadinya jika sekolah menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak? Sekolah penuh dengan hukuman dan kekerasan? Sekolah mejadi seperti penjara yang penuh dengan kerangkeng yang mengungkungnya? Sekolah yang memberlakukan anak-anak untuk bekerja keras atas instruksi gurunya? Itulah yang terjadi jika sekolah masih menerapkan sistem seperti sebuah kerajaan dengan raja sebagai pemegang tertinggi kekuasaannya. “Kerajaan Sekolah” ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama kepala sekolah. Dengan segenap kekuatan otoriternya, sang raja selalu berada di atas segala kebijakannya. Raja tak pernah salah (pasal 1), karena jika raja salah, selalu kembali ke pasal 1 (bunyi pasal 2).

Apa jadinya jika sekolah masih menerapkan sistem layaknya sebuah kerajaan? Anak-anak (siswa-siswinya) akan menjadi seperti prajurit. Anak-anak dikumpulkan di lapangan, lalu mereka disuruh membersihkan semua area yang ada di wilayah sekolah tersebut, mencuci perabot kantor sekolah, membersihkan ruang guru, ruang raja (kepala sekolah), dan ruang-ruang lainnya. Sementara sang raja hanya memberikan komando tanpa ikut turun tangan menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Sang raja menyuruh anak-anak bekerja tanpa memberi contoh. Padahal raja tersebut harusnya menjadi teladan bagi semua warganya. Lantas, kemana para gurunya? Iya, karena mereka juga dibawah kendali sang raja, maka mereka pun sami’na wa’ato’na (dengar dan taat) dengan atasannya tersebut. Mereka pun hanya melihat anak bekerja tanpa berbuat membantu bersama-sama. Alhasil, guru pun bertindak sama seperti layaknya raja. Padahal anak-anak butuh sosok teladan yang mengantarkannya menuju pintu gerbang kesuksesannya. Hal sekecil apapun yang dilakukan oleh gurunya akan ditiru dan dicontoh oleh anak-anak. Karena pada hakikatnya guru adalah teladan bagi anak didiknya.

Tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia dalam rangka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, apa jadinya jika di sekolah anak-anak lebih sering dihujani dengan kata-kata keras. Bahkan, bukan hanya kata-kata, tapi juga hukuman fisik oleh gurunya. Tentu hal ini akan berdampak pada psikologi anak. Sayangnya, terkadang guru tak menyadarinya. Bahwa tindakannya tersebut telah melukai perasaan siswa-siswinya. Hal seperti inilah yang akan terus terjadi jika sekolah masih menerapkan sistem seperti kerajaan, padahal sekolah bukanlah kerajaan. Jack Canfield (Pakar Masalah Kepercayaan Diri) melaporkan hasil penelitian terhadap 100 anak. Riset tersebut dilakukan dengan cara mencatat berapa banyak jumlah komentar positif dan negatif yang diterima seorang anak dalam sehari. Hasil penelitian Canfield sangat mengejutkan, yaitu bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung setiap hari. Hasil riset ini diuraikan dalam buku Quantum Learning karya Bobbi de Potter. Apa jadinya jika anak setiap hari menerima komentar negatif enam kali lebih banyak dibandingkan komentar positif?

Hasil temuan Canfield adalah di luar negeri. Tapi setidaknya itulah gambaran jika sekolah masih menerapkan sistem seperti kerajaan. Komentar negatif saja bisa berdampak negatif bagi anak, apalagi sampai tindakan negatif berupa hukuman fisik? Di Indonesia, khususnya daerah-daerah terpencil masih dijumpai guru-guru yang menerapkan sistem seperti itu. Jika ada anak (murid0 yang salah, dihukum dengan pukulan rotan, ditampar pipinya, dicubit hidungnya atau dijewer telinganya. Sungguh miris jika guru-guru di sekolah masih memberlakukan hukuman keras semacam itu. Sekolah bukan menjadi tempat yang nyaman untuk belajar bagi anak, tapi menjari penjara yang mengengkang kreativitas anak-anak. Itulah yang terjadi jika sekolah menerapkan sistem kerajaan. Padahal, sekolah, bukanlah kerajaan. Bukan pula tempat bekerja bagi anak-anak.


Sekali lagi, anak-anak bukanlah pekerja, tapi mereka adalah pelajar yang sudah seharusnya diperlakukan secara wajar dalam proses belajarnya. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Anak Juga Manusia, mengatakan bahwa “anak bukan barang yang dipesan dari katalog yang disertai buku panduan. Dia adalah titipan Tuhan yang sudah sepatutnya diperlakukan dengan baik. Anak juga bukan robot yang tinggal plug and play. Dia punya hati dan perasaan, karena anak juga manusia”. Iya, karena anak juga manusia, punya hati dan perasaan, maka janganlah menjadikan sekolah seperti kerajaan. Tapi, jadikanlah sekolah sebagai tempat yang paling nyaman, paling berkesan dan paling menyenangkan bagi anak-anak didiknya. Jadikanlah sekolah sebagaimana fungsinya sekolah, tempat menimba ilmu, belajar dan berkarya mengembangkan segala daya potensi anak.

Saturday, 20 December 2014

Guru, Pembangun Insan Cendekia


“Pagiku cerahku matahari bersinar. Ku gendong tas merahku di pundak. Selamat pagi semua ku nantikan dirimu, di depan kelasmu menantikan kami. Guruku tersayang. Guru tercinta. Tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal. Guruku terima kasihku. Nyatanya diriku kadang buatmu marah. Namun segala maaf kau berikan. Guruku tersayang. Guru tercinta. Tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal. Guruku terima kasihku.”
Lirik lagu berjudul ‘Guruku Tersayang’ ini memang syahdu ketika didengarkan oleh anak-anak sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada sang guru. Rasa haru yang mendalam diiringi perasaan cinta dan kasih sayang kepada para pendidik yang telah tulus memberikan ilmu. Guru yang bukan hanya sekedar mengajarkan baca, tulis, hitung (balistung) saja, tapi guru yang telah memanusiakan manusia dalam setiap proses pembelajarannya.
Kita tahu bahwa setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari GURU. Sebagai murid, siswa hingga mahasiswa sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi atas jasa-jasa guru kita. Walaupun sudah menjadi mahasiswa bahkan seorang anak tersebut sudah sukses dalam karirnya, seorang guru yang telah mendidiknya sejak SD dulu, beliau tetaplah guru mereka. Karena tak ada istilah mantan guru. Guru, tetaplah guru. Bagaimanapun kondisinya, guru telah berjasa mengantarkan peserta didiknya ke pintu gerbang kesuksesannya. Mulai dari guru PAUD hingga dosen di perguruan tinggi, mereka adalah guru yang telah mengajar, mendidik dan membimbing kita (peserta didiknya) tanpa kenal lelah. Lagu ‘Guruku Tersayang’ adalah gambaran kecil akan jerih payah guru. Karena bagi peserta didik, guru adalah orangtua kedua bagi mereka setelah ayah dan ibu. Maka, berbaktilah dan hormati jasa para guru kita.
Sebagai guru (baik guru PNS, honor maupun kontrak), momentum peringatan hari guru sudah sepatutnya dijadikan sebagai sebuah refleksi diri, perenungan dan evaluasi diri. Sudahkah kita menjadi guru yang terbaik dan berkualitas bagi para peserta didiknya? Sebagai pengajar, sudahkah kita mengajar dengan baik, menerapkan strategi pembelajaran yang tepat dan menyenangkan bagi mereka? Bagaimana manajemen kelas yang sudah kita terapkan, display kelas, suasana kelas hingga materi yang kita sampaikan, sudah lebih baikkah? Pengajaran yang kita lakukan sudahkah terencana dengan baik sesuai dengan RPP yang kita buat? Sebagai pendidik, sudahkah kita mendidik mereka dengan hati yang tulus dan menjadi teladan terbaik bagi mereka? Karena guru adalah pengajar, pendidik, pemimpin dan teladan bagi para peserta didiknya. Kalau kata Pak Asep Sapa’at (Direktur Sekolah Guru Indonesia Periode 2012-2014) mengatakan “Guru adalah pemimpin, maka konsistenlah memberi keteladanan”. Semoga kita (sebagai guru) akan senantiasa mengupgrade diri dan meningkatkan kualitas diri sebagai seorang guru.
Siapa yang tak mengenal guru? Sosok yang dulu dikenal dengan julukan pahlawan tanpa tanda jasa, kini guru juga dikenal dengan pembangun insan cendekia. Kenapa bisa seperti itu? Berawal dari gurulah semua cita-cita peserta didik itu bermula. Guru yang senantiasa memotivasi siswanya dari belakang (Tut Wuri Handayani) untuk berani bermimpi meraih cita-cita. Bahkan, kalau kita cermati semua profesi di dunia ini bermula dari kiprah seorang guru. Profesi dokter, polisi, tentara, birokrat, bidan hingga presiden dulunya mereka semua adalah didikkan seorang guru. Betapa pentingnya peran strategis seorang guru bagi suatu bangsa. Kemajuan sebuah bangsa salah satunya ditentukan oleh pendidikan dan sang gurulah yang menjadi aktor utamanya. Coba kita bercermin dari negara maju yang sekarang menjadi perhatian dunia dalam hal kemajuan pendidikannya, yaitu Jepang dan Finlandia.
Perubahan itu berawal dari guru. Jepang, negara yang dulunya pernah luluh lantak oleh terjangan bom atom yaitu Nagasaki dan Hiroshima. Apa yang ditanyakan oleh Kaisar Jepang waktu peristiwa itu. Kaisar tersebut tidak menanyakan berapa jumlah tentara yang selamat atau berapa jumlah korban yang meninggal. Akan tetapi, sang Kaisar menanyakan “berapa jumlah guru yang masih ada?” Iya, Sang Kaisar menanyakan guru yang selamat. Karena berawal dari gurulah perubahan itu dimulai. Jepang tak butuh lama untuk bangkit dari keterpurukannya, bahkan negara Sakura tersebut kini menjadi negara super power. Satu lagi asal perusahaan Nokia, yaitu Finlandia yang juga merupakan negara yang dikenal pendidikannya terbaik di dunia. Kenapa Finlandia, negara kecil tapi bisa sukses menjadi terbaik dunia dalam hal pendidikannya? Tidak lain adalah guru. Di Finlandia, profesi guru sangat bergengsi dan sejajar dengan profesi dokter. Bahkan pemerintah Finlandia menyaratkan untuk menjadi guru SD harus bergelar master atau S2. Bagaimana dengan guru di Indonesia? Semoga pendidikan dan guru di Indonesia juga akan sejajar dengan Jepang dan Finlandia.
Refleksi peringatan Hari Guru semoga membuka mata hati kita semua (baik siswa, guru, orangtua, masyarakat maupun pemerintah) untuk berbenah diri dan menyadari betul akan peran pentingnya seorang guru. Sebagai perenungan, mari kita sejenak mencermati bait-bait Lagu Hymne Guru berikut ini. Terpujilah wahai engkau Ibu – Bapak Guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku. Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu. Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa, pembangun insan cendekia. Terima kasih guru. Terima kasih Sang Pembangun Insan Cendekia. 

Berburu Batu Kramat di Pantai Guwawe


Guwawe dalam bahasa Loloda Kepulauan berarti mangga. Istilah ini digunakan menjadi daerah yang bernama Pantai Guwawe. Pantai ini dikenal dengan nama Guwawe karena dulunya banyak pohon mangga di sekitar pantai ini. Pantai Guwawe adalah pantai berpasir hitam yang terletak di Desa Fitako, Kecamatan Loloda Kepulauan. Pantai ini terbilang unik, karena di tepi pantai ini terdapat banyak batu-batuan besar. Jika diibaratkan seperti sistem pencernaan manusia, Pantai Guwawe bagaikan anus atau tempat pembuangan akhir. Hal ini terjadi bila musim angin selatan tiba. Pantai ini menjadi tempat berkumpulnya sampah-sampah organik maupun anorganik. Hingga oleh warga setempat daerah tersebut juga dijuluki dengan Pasar Guwawe, karena banyak barang-barang bekas yang bermuara kesini seperti bola plastik, botol, tas, sepatu dan barang-barang bekas lainnya yang berserakan di sepanjang pantai. Hal tersebut dimanfaatkan oleh anak-anak Fitako dengan mengambil mainan bekas yang terdampar tersebut. 

      Daerah pantai ini juga dikenal dengan daerah kramat, karena di tepi pantai (tanjung) terdapat makam kramat yang konon kata warga setempat adalah makam penemu desa ini. Sehingga daerah tersebut jarang dikunjungi warga, kecuali kalau mereka untuk pergi ke kebun saja. Dulunya sepi, sekarang ramai dikunjungi. Dimana ada gula, disitu ada semut. Pepatah ini sangat cocok untuk menggambarkan Pantai Guwawe yang kini menjadi ramai dikunjungi oleh orang-orang dan warga desa setempat. Mereka bukan untuk bertamasya atau piknik. Akan tetapi mereka adalah berburu batu hitam, yang dikenal dengan nama “Batu Kramat” oleh warga Desa Fitako dan dikenal dengan nama “Batu Jahanam” oleh warga Desa Dedeta. Kedua desa ini terletak bersebelahan yang masih berada dalam satu pulau yaitu Pulau Panjang. Sehingga orang Dedeta pun datang ke Guwawe untuk mencari batu hitam tersebut.

      Batu hitam yang bernama batu Kramat atau lebih familiar dikenal dengan batu jahanam, kini menjadi bahan perbincangan warga Loloda Kepulauan, bahkan hingga provinsi Maluku Utara pada umumnya. Hal ini terjadi setelah batu hitam ini sempat menjadi primadona saat Festival Batu Alam Mulia tingkat Provinsi Maluku Utara yang digelar oleh Pemda Halmahera Utara. Batu hitam ini konon katanya memiliki khasiat lebih dan warnanya yang menarik yaitu hitam pekat. Pantai Guwawe yang merupakan tempat batu hitam ini ditemukan, kini ramai dikunjungi warga. Setiap hari banyak orang yang berburu batu hitam ke tempat ini. Tidak hanya warga Fitako saja, warga dari desa lain yang ada di Kecamatan Loloda Kepulauan juga ramai berdatangan ke Fitako untuk mencari batu hitam tersebut.

      Walaupun di Pantai Guwawe terdapat banyak batu-batuan, tapi kita harus sabar mencari batu hitam yang memiliki keunikan tersendiri. Ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak para pemburu batu hitam pun harus membawa martir atau palu untuk menemukan batu hitam tersebut. Pasalnya untuk menentukan jenis batuan yang termasuk batu kramat atau bukan, batu harus dipecah terlebh dahulu kulitnya. Jika terlihat hitam sesuai dengan cirri yang dimaksud, maka baru diambillah batu tersebut. Alhasil warga pun tidak hanya mencarinya di tepi pantai Guwawe saja, akan tetapi mereka juga mencari hingga ke bukit kebun sekitar pantai tersebut. Jerih payah mereka pun patut diacungi jempol, karena berkat kerja keras para pemburu batu hitam tersebut berhasil ditemukan batu hitamdi tempat yang lain. Hingga saat ini di Desa Fitako, keberadaan batu hitam ini ternyata tidak hanya di pantai Guwawe saja, sekarang ada 3 lokasi yang terdapat adanya batu hitam ini, yaitu di Pantai Guwawe, Kebun dekat Guwawe dan Hate (daerah dekat Jobubu Desa Fitako)

*termuat dalam: http://malutpost.co.id/2014/10/22/berburu-batu-kramat-di-pantai-guwawe/

Daerah 3T Menanti “Blusukan” Presiden Baru

    “Indonesia Era Baru”, begitulah harapan baru yang akan diemban oleh presiden terpilih Ir. H. Joko Widodo atau yang akrab dikenal dengan Jokowi. Era baru seperti apakah yang akan diterapkan di Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi? Mengingat saat ini begitu banyak problematika yang melanda negeri ini. Sebut saja masalah yang terus merajalela, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, pelecehan seksual, dan sejumlah masalah lainnya. Mampukah Jokowi bersama Jusuf Kalla memecahkan semua problematika tersebut selama 5 tahun ke depan? Kita lihat saja nanti kiprah kedua tokoh ini.


    Tentu kita masih ingat dengan visi-misi dan program pasangan Jokowi – JK saat kampanye Pilpres 2014. Pasangan ini mengusung visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”, 7 misi dan 9 program. Salah satu misi pertamanya adalah “mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan”. Yang perlu digaris bawahi dari misi pertama ini adalah “mengamankan sumberdaya maritim”. Mampukah Jokowi-JK menegakkan dan mengamankan sumberdaya maritim yang kita miliki? Mengingat sudah banyak sumberdaya alam kita yang dicuri dan dikuasai oleh orang asing.
Kita semua tahu kalau sejak dulu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Julukan ini memang tepat, mengingat wilayah negara kita 70% adalah laut. Luas wilayah lautan Indonesia kurang lebih 3.257.357 km2. Kita semua pun tahu dengan pepatah ini, “nenek moyangku seorang pelaut”. Tapi pertanyaannya adalah sudahkah kita mengolah sumberdaya maritim itu dengan baik? Sudah. Banyak warga kita yang sudah mengelola, dan mengolah sumberdaya alam tersebut. Sayangnya para warga tersebut hanya menjadi pegawai di perusahaan-perusahaan kelas kakap baik pertambangan maupun perikanan. Lantas siapakah pimpinan dari perusahaan tersebut? Tidak lain yang pimpin atau yang punya perusahaan tersebut adalah orang asing. Banyak orang asing yang menguasai sumberdaya alam kita. Padahal, katanya “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sudahkah Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) ini dilakukan oleh pemerintah? Jika sudah, harusnya tidak ada lagi orang asing yang menguasai alam kita.


Sumberdaya alam kita sangatlah melimpah. Bahkan bisa dibilang Indonesia kaya raya dengan sumberdaya alam. Baik daratan maupun lautan, sumberdaya alam kita tak pernah habis walau dikeruk habis-habisan. Apalagi lautan, dengan segala potensi yang terkandung di dalamnya. Banyak lautan kita yang belum diolah dan dikelola dengan baik, padahal sangat berpotensi jika dijadikan tempat rekreasi dan wisata, penelitian bawah laut, konservasi satwa laut, pertambangan, atau diolah menjadi produk olahan laut. Inilah tantangan yang harus diselesaikan oleh Presiden terpilih jika memang ingin mengamankan sumberdaya maritim yang kita miliki. Hal ini juga sesuai dengan misi ke-6 presiden terpilih yaitu “mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional”. Semoga ini tidak sekedar menjadi misi semata.


Sumberdaya alam maritim khususnya di Wilayah Indonesia Timur, seperti Papua dan Maluku masih banyak yang belum terjamah dan belum diolah secara maksimal. Betapa susahnya tinggal didaerah terpencil yang minim akses di kedua pulau besar tersebut. Padahal sekarang sudah memasuki era informasi dan teknologi modern. Akan tetapi masih banyak daerah-daerah yang belum bisa merasakan kecanggihan teknologi seperti yang ada di Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Itulah yang masih terjadi di Loloda Kepulauan, salah satu daerah terpencil yang ada di Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Karena tak ada signal, tak ada listrik. Untuk lampu penerangan di sebuah desa kecamatan kepulauan ini masih  menggunakan diesel yang hanya menyala dari jam 18.30-24.00. Padahal mesin ini ditemukan oleh Rudolf Diesel (sang penemu mesin diesel) sejak tahun 1897 silam. Katanya, Indonesia sudah 69 tahun usia kemerdekaannya, kenapa listrik (PLN) belum juga masuk ke pulau ini? Semoga ini menjadi fokus perhatian sang presiden terpilih.


    Gaya kepemimpinan Jokowi yang dikenal dengan suka “blusukan” ke tempat-tempat keramaian, seperti pasar, tempat bencana, sidak ke kantor-kantor dan sebagainya akankah mampu mengamankan sumberdaya maritim dari pihak asing? Akankah Jokowi juga “blusukan” ke daerah-daerah terpencil, terdalam, dan terluar (daerah 3T) yang mayoritasnya adalah daerah maritim untuk melaksanakan misi-misinya tersebut. Kita tunggu saja program 100 hari kerja pasca pelantikan Oktober mendatang. Semoga saja “blusukan ke daerah 3T” juga menjadi bagian 100 hari kerja masa pemerintahan Jokowi-JK. Jika ingin memajukan daerah maritim, maka daerah-daerah 3T tersebut juga harus ditingkatkan kemajuannya. Jangan hanya di kota-kota besar saja yang menjadi fokus peningkatan kualitas, sementara daerah-daerah terpencil, terluar dan terpelosok tidak pernah diperhatikan. Warga Loloda Kepulauan dan daerah 3T yang lainnya menanti “blusukan” sang presiden terpilih untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Mengail Sel Surya di Daerah Terpencil

BETAPA susahnya tinggal didaerah terpencil yang minim akses. Padahal sekarang sudah memasuki era informasi dan teknologi modern. Akan tetapi masih banyak daerah-daerah yang belum bisa merasakan kecanggihan teknologi seperti yang ada di Pulau Jawa. Karena tak ada signal, tak ada listrik. Itulah yang masih terjadi di Loloda Kepulauan, salah satu daerah terpencil yang ada di Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Untuk lampu penerangan di sebuah desa kecamatan kepulauan ini masih  menggunakan diesel yang hanya menyala dari jam 18.30-24.00. Padahal mesin ini ditemukan oleh Rudolf Diesel sejak tahun 1897 silam. Katanya, Indonesia sudah 69 tahun usia kemerdekaannya, kenapa listrik (PLN) belum juga masuk ke pulau ini?
Krisis energi di dunia terus terjadi. Sumber energi listrik semakin menipis akibat meningkatnya kebutuhan listrik di kota-kota besar. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap manusia perlu listrik, karena sudah termasuk salah satu kebutuhan primer. Tapi, bagi warga Loloda Kepulauan harus berjuang setengah mati untuk mendapatkan yang namanya listrik. Perlu solar untuk bisa mendapatkan listrik, karena harus menghidupkan diesel terlebih dahulu. Harga bahan bakar naik dua kali lipat, karena untuk membeli bahan ini harus ke kota yang jaraknya sangat jauh (butuh waktu kurang lebih 6 jam) dengan menggunakan kapal kayu yang hanya ada 2x seminggu. Salah satu solusi yang sudah dikembangkan adalah adanya lampu surya dengan energi matahari. Ada beberapa desa yang sudah menerapkan teknologi sel surya ini dan baru berlangsung selama 1 tahun terakhir. Akan tetapi daya yang dihasilkan teknologi ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik semua warga.
Sel surya atau dikenal dengan fotovoltaik mampu mengubah cahaya menjadi listrik. Setidaknya potensi sel surya ini memang sangat berguna diterapkan di daerah-daerah terpencil, terluar dan tertinggal (daerah 3T) khususnya daerah yang berbatasan dengan laut. Ada dua alasan tentang penerapan sel surya ini. Pertama, tempat pemasangan kabel pemasok listrik sulit dilakukan karena terhalang oleh lautan. Kedua, adanya panas matahari yang melimpah. Inilah yang seharusnya bisa dikembangkan dengan maksimal oleh pemerintah (khususnya PLN) untuk memasok ketersediaan listrik di daerah-daerah pelosok yang belum terjamah oleh listrik. Karena warga Loloda Kepulauan juga perlu listrik untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Keberadaan sel surya di daerah-daerah terpencil memang sangat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan listrik sehari-hari. Sebagai contoh di Desa Fitako, Kecamatan Loloda Kepulauan. Jika di desa-desa lain yang menggunakan tenaga mesin diesel, lampu hanya menyala sampai pukul 24.00 karena terkendala dengan bahan bakarnya yang cukup mahal. Akan tetapi di Fitako yang penerangannya sudah menggunakan tenaga surya, lampu bisa menyala dari pukul 18.30 – 06.30. Walau demikian, keberadaan sel surya ini hanya bisa digunakan untuk lampu penerangan di kala malam. Sel surya yang ada di desa ini tidak bisa digunakan untuk menghidupkan televisi maupun kulkas. Kendala selanjutnya adalah potensi sel surya ini mengandalkan tenaga surya matahari, jadi ketika cuaca mendung atau musim hujan tiba, daya yang dihasilkan sel surya ini pun hanya sedikit.
Selain digunakan untuk penerangan, sel surya yang ada di Fitako ini baru bisa digunakan untuk mencharge handphone dan elektronik yang berdaya rendah. Untuk mendapatkan arus listrik dari sel surya juga diperlukan sebuah alat yang bernama inventer. Harga inventer ini cukup mahal sekitar Rp. 800.000, sehingga jarang warga yang memiliki alat ini. Orang yang memiliki alat ini bisa dihitung jari. Warga sekitar ketika ingin mencharge handphone harus menumpang pada orang yang memiliki inventer.  Di satu sisi keberadaan sel surya mampu menjadi solusi sebagai lampu penerang yang hemat biaya pengganti mesin diesel, akan tetapi jumlah daya yang dihasilkan lagi-lagi tidak mencukupi kebutuhan warga. Perlu ditambah alat panel surya yang lebih besar lagi agar mampu menghasilkan daya yang lebih besar sehingga bisa digunakan sebagai konsumsi listrik siang dan malam. Potensi sel surya ini sangatlah potensial di tengah krisis energi yang terus terjadi dan menjadi energi terbarukan masa depan.
Menurut Peta Surya Dunia, wilayah  Indonesia merupakan daerah yang paling banyak menghasilkan energi surya. Posisi ini adalah peluang besar bagi pemerintah untuk mengembangkan teknologi panel surya dalam skala besar, khususnya untuk diterapkan di daerah-daerah terpencil yang susah dan belum terjamah oleh listrik. Akan sangat disayangkan jika potensi ini tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Sudah saatnya teknologi Indonesia harus mampu bersaing dengan negara-negara yang sudah mengembangkan teknologi panel surya lebih dahulu. Bangkitlah Indonesiaku, karena harapan itu masih ada di tangan pemuda saat ini

Lesson Study, Barometer Peningkatan Kompetensi Guru

Pendidikan adalah elemen penting untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Karena kemajuan sebuah bangsa, dan kehebatan suatu daerah salah satunya ditentukan oleh pendidikan. Kemajuan pendidikan dimulai dari pengembangan sumber daya manusia. Salah satu SDM yang sangat berperan penting dan sangat strategis di dalam dunia pendidikan adalah GURU. Jika murid atau siswa sebagai peserta didik setiap hari berkewajiban untuk belajar, lantas apakah guru juga masih perlu belajar? Guru yang dianggap sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam kehidupan siswa sudah sepantasnya menjadi teladan bagi peserta didiknya dan senantiasa berbenah diri meningkatkan kualitas keprofesionalannya sebagai seorang guru pembelajar. Guru yang professional akan sangat mudah ketika mengajar dan mendidik siswa siswinya manakala guru tersebut senantiasa meningkatkan kapasistasnya sebagai guru.

Karena proses belajar mengajar adalah interaksi antara guru dengan siswa. Guru mengajar, murid belajar. Tapi ada kalanya guru juga belajar dari siswa. Dalam kaitannya meningkatkan mutu pendidik inilah seorang guru juga harus terus belajar dan berbenah diri mengevaluasi atas kinerjanya selama ini sebagai guru. Pengembangan diri keprofesionalan guru biasanya dilakukan di setiap sekolah atau gugus sekolah yang tergabung dalam KKG (Kelompok Kerja Guru). Akan tetapi apa jadinya jika suatu KKG tidak berjalan dengan maksimal. Maka diperlukan strategi lain untuk mengembangkan kompetensi guru. Bertolak dari latar belakang untuk ‘peningkatan kapasitas dan kompetensi guru’ Sekolah Guru Indonesia (SGI) – Halmahera Utara mengadakan kegiatan Lesson Study bagi guru-guru sekolah dasar se-Kecamatan Loloda Kepulauan.

Lesson study atau kaji pembelajaran adalah suatu pendekatan peningkatan pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Di Indonesia, lesson study telah diterapkan di tiga daerah yaitu Malang, Yogyakarta dan Bandung sejak tahun 2006 (Firman, 2007). Konsep dan praktek lesson study ini pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah Jugyou (instruction = pengajaran, atau lesson = pembelajaran) dan kenkyuu (research = penelitian, atau study = kajian). Lesson study dalam penerapannya bisa dilakukan di tiap sekolah atau gabungan beberapa gugus sekolah. Akan tetapi Lesson Study ini  berbeda dengan konsep KKG, karena dalam Lesson Study ini ada 3 tahapan utama dalam pelaksanaannya, yaitu tahap persiapan (Plan), pelaksanaan (Do) dan refleksi (See). Ketiga tahapan ini direncanakan, dilaksanakan dan direfleksikan secara bersama-sama oleh suatu komunitas lesson study.

Relawan pendidikan SGI Halut dalam menjalankan tugas pengabdiannya di Loloda Kepulauan telah mengadakan Lesson Study sebanyak 2x (Sabtu, 6 September 2014 dan Sabtu 6 Desember 2014). Kedua Lesson Study tersebut dilaksanakan di SDN Dama, Pulau Doi. Kegiatan tahap pertama adalah perencanaan yang terdiri atas sosialisasi, perencanaan dan pembentukan komunitas Lesson Studi Loloda Kepulauan. Para guru merasa senang mengikuti kegiatan ini karena dapat menambah wawasan mereka dan bisa sharing dengan guru-guru yang lain. Pada tahap pertama ini memutuskan rencana bersama tentang sebuah rencana pembelajaran dengan menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan menetapkan satu guru model sebagai pelaksana kegiatan belajar mengajar. Guru model dalam lesson study I ini adalah Alvauzi (dari relawan SGI).

Tahapan kedua dalam Lesson Studi ini adalah tahap pelaksanaan dan tahap ketiga adalah refleksi. Dalam pelaksanaannya dilakukan di dua ruangan yang terbuka satu aula. Ruangan pertama sebagai kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan guru modelnya sebagai subjek pengajar. Guru model melakukan KBM di kelas 6 SDN Dama dengan mata pelajaran Matematika, sub pokok bahasan tentang pangkat tiga. Dan satu ruangan lagi disetting untuk guru-guru peserta komunitas lesson study yang bertugas untuk mengobservasi semua kegiatan belajar mengajar dari awal pembukaan hingga penutupan. Para guru observer ini dibekali dengan lembar observasi guru mengajar dan lembar evaluasi catatan siswa dan guru yang sedang melakukan pembelajaran di kelas.


Tahap ketiga atau refleksi dilakukan usai kegiatan belajar mengajar guru model. Setelah selesai KBM semua siswa pulang sedangkan guru model beserta guru-guru yang lain melakukan refleksi pembelajaran. Refleksi diawali dari guru model terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan refleksi dari semua guru yang hadir sebagai observer. Masing-masing guru observer tersebut memberikan masukan, evaluasi dan penilaian terhadap guru model selama berlangsungnya pembelajaran. Dalam tahap ini terjadi diskusi yang cukup menarik antara guru observer yang saling memberikan masukan untuk perbaikan, mulai dari RPP, metode pembelajaran di kelas, manajemen kelas dan semua aktivitas selama pembelajaran.  Kegiatan refleksi ini semata-mata bukan menilai guru model, akan tetapi semua refleksi berupa masukan, kritikan dan saran-saran tersebut juga buat masing-masing guru itu sendiri. Demikian pemaparan Nuril Rahmayanti selaku tim ahli dari SGI. Usai melakukan refleksi bersama dan diskusi yang cukup panjang, semua peserta komunitas lesson study ini merumuskan kegiatan lesson study untuk pertemuan selanjutnya. Dengan adanya lesso study komunitas Loloda Kepulauan ini semoga bisa menjadi wadah dan barometer dalam meningkatkan kompetensi guru yang ada di Loloda Kepulauan. Bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam Indonesia.

#termuat dalam: http://poskomalut.com/2014/12/17/lesson-study-barometer-peningkatan-kompetensi-guru/

Tuesday, 26 August 2014

Malaria vs Suwanggi: Antara Dokter dan Dukun?


Sepucuk surat datang dari salah seorang penumpang kapal kayu. Maklum, karena di pulau ini tarada (tidak ada) signal, maka kami pergunakan komunikasi lewat surat menyurat ketika ada urusan penting. Surat yang membuat kaget seketika di tengah-tengah acara Hajatan Umum yang sedang berlangsung di Dama, pusat kecamatan Loloda Kepulauan. Semua terdiam tatkala aku membacakan surat yang datang dari sahabatku, Sipat. Semua kaget, tersentak dan menunjukkan muka terkejut. Suasana yang tadinya meriah, berubah menjadi hening seketika.

            “Menurut hasil analisa mantri (sebutan untuk bidan desa) setempat, aku positif terserang malaria! Tekanan darah hanya 60 / 90. Kemarin sudah dikasih infus sama mantri, tapi setelah dicek ternyata infus tersebut sudah kadaluarsa 2 bulan. Akhirnya infus tersebut terpaksa dilepas. Ternyata mantri di desa ini juga dikenal sebagai pemabuk” demikian pesan penting yang ada dalam surat tersebut. Tanpa berfikir panjang, dorang (kami) langsung memutuskan untuk menjemput saudari seperjuangan dorang yang ada di Dedeta. Kalau kondisinya seperti itu, mau ga mau dia harus dibawa ke puskesmas setempat untuk segera diobati lebih lanjut.

            Sebuah katinting (motor laut) yang sudah menjadi langganan dorang, langsung bergegas menuju lokasi. Kecepatan katinting yang biasanya lambat, kini agak sedikit berjalan cukup kencang untuk menempuh perjalanan dari Pulau Doi menuju Dedeta, Pulau Panjang. Semua mata penumpang katinting ini terlihat berbinar-binar menandakan rasa was-was dan cemas. Desiran ombak yang bergelombang tak menyurutkan langkah kami melintasi lautan Loloda Kepulauan ini. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan sebuah pesan Bung Hatta yang pernah disampaikan oleh Pak Agung, “sesungguhnya yang mengancam hidupku bukanlah malaria, tapi kesepian”. Malaria dan kesepian memang menjadi ancaman ketika di daerah penempatan. Tapi, kini malaria telah benar-benar datang, maka jangan sampai kesepian itu datang menghampiri saudariku yang terserang malaria. Karena sebuah kehadiran dan kebersamaan dalam sebuah tim, pasti akan menjadi obat penawar kesepian dan mampu membangkitkan semangat perjuangan.

            Sampai juga di tepi pantai Dedeta. Dorang langsung bergegas menuju tempat tinggal Sipat. Kondisinya sama seperti yang dia utarakan dalam surat yang dorang terima. Saat dorang datang, dia sedang berbaring istirahat sembari membaca buku. Ibu angkatnya lagi pergi ke kota. Bapak angkatnya juga sedang pergi ke kebun. Dia di rumah ditemani adik dan tetangga kampungnya. Aku dan Vauzi pergi ke rumah kepala desa untuk meminta izin membawa Sipat untuk diperiksa di puskesmas kecamatan atau rumah sakit kota yang ada di Ternate. Sementara teman-temanku yang lain berkoordinasi dengan keluarga dan tetangga yang ada di rumahnya Sipat. Tak lama kemudian, kepala desa dan guru SD setempat juga datang di kediamannya Sipat.

            “Menurut analisa dukun desa, Ibu Sipat ini terkena Suwanggi (sejenis roh jahat), jadi harus diobati dulu dengan obat kampung oleh dukun desa tersebut” ujar Pak Kepala Desa Dedeta. Harusnya kalau orang baru, jangan bermain terlalu jauh di pantai yang ada di ujung desa, tambahnya. “Warga di desa ini ketika sakit, lebih percaya ke dukun dibandingkan ke dokter” ujar salah seorang warga. Terjadi diskusi yang cukup lama antara dorang, kepala desa dan warga desa setempat tentang maksud dorang untuk membawa Sipat berobat ke puskesmas yang harus menyeberangi pulau. Mereka bersikukuh untuk mengobati Sipat dengan dukun desa. Aku mencoba memberikan penjelasan ilmiah tentang penyakit malaria yang  harus segera diobati oleh dokter atau bidan. Tapi mereka tetap pada pendiriannya. “Kita kan sama-sama ingin Ibu Sipat sembuh, tapi alangkah baiknya jika diobati di dukun dulu, baru esok dibawa ke rumah sakit atau puskesmas” tegas pak Kades.

            Awalnya kami sempat menerima usulan mereka untuk mengheningkan suasana yang cukup pelik. Waktu sudah memasuki dhuhur, kami pun bergegas untuk sholat terlebih dahulu. Dorang selaku tim SGI Halut juga sempat berdiskusi, karena ini menyangkut akidah dan keyakinan kita. Warga disini memang masih percaya dengan dukun, tapi jangan sampai kita juga terbawa oleh kemauan mereka. Itulah masalah utamanya. Sebisa mungkin kita harus tetap membawa dia ke puskesmas atau rumah sakit. Terjadi diskusi lagi yang cukup lama antara dorang, kepala desa, kepala sekolah (ayah angkat Sipat) dan warga desa setempat. Keputusannya diserahkan ke saya (selaku ketua tim) dan Sipat sendiri. Hati masyarakat sudah lunak dan keputusannya Ibu Sipat boleh dibawa ke rumah sakit atau puskesmas. Pada prinsipnya “katakanlah yang hak (benar), meski itu pahit”. Karena sebuah kebenaran harus dikatakan dengan sebenarnya dan perlu kesabaran untuk melunakkan hati masyarakat dalam memutuskan setiap perkara.



Merawat Tradisi Di Ujung Negeri

            
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan dan pendiri bangsa (founding father) kita. Mereka tidak hanya menumpahkan darah perjuangannya untuk bumi pertiwi dengan jiwa dan raganya. Lebih dari itu, mereka juga mewariskan semangat dan meninggalkan tradisi yang perlu kita jaga dan lestarikan keberadaannya. Tradisi yang bukan hanya sekedar seremonial belaka, tapi juga kaya akan makna. Di tengah era globalisasi yang semakin modern dan canggih, keberadaan sebuah tradisi ibarat telur diujung tanduk. Kalau bukan para generasi muda yang melestarikannya, siapa lagi? Karena jika dibiarkan liar tanpa dirawat dengan baik, maka tunggu saja waktu kemusnahannya. Ibarat tanaman, jika tidak dirawat dengan baik, jika tidak dikasih pupuk dan tidak disiram dengan air maka akan mati. Begitu halnya dengan tradisi, jika tidak dirawat, jika tidak dilestarikan, maka akan hilang dengan sendirinya.

Provinsi Maluku Utara memiliki banyak tradisi yang diwariskan secara turun temurun. “Nenek moyangku seorang pelaut”, pepatah ini cukup populer di telinga kita. Lantas, apakah para cucunya (generasi muda) sekarang juga seorang pelaut? Mengingat Negara kita 70% adalah laut (luas wilayah lautan kurang lebih 3.257.357 km2). Ternyata diantara lautan luas itu terdapat banyak pulau yang memiliki tradisi yang masih dijaga keberadaannya. Salah satunya adalah Loloda Kepulauan, salah satu daerah terpencil yang ada di Halmahera Utara. Wilayah kepulauan ini terbagi atas 4 pulau yaitu Pulau Doi, Pulau Panjang, Pulau Tuakara dan Pulau Tobo-Tobo. Pasca lebaran Idul Fitri, kepulauan ini memiliki tradisi unik yang disebut dengan “Hajatan Umum”. Konon katanya, tradisi ini hanya ada di Loloda Kepulauan yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali. Tradisi ini diadakan seminggu pasca lebaran idul fitri.

Saat lebaran tiba, kepulauan ini bisa dibilang cukup sepi dan sunyi. Akan tetapi seminggu kemudian, satu minggu pasca lebaran daerah kepulauan ini ramai dikunjungi orang. Warga setempat yang merantau ke kota, berduyun-duyun pulang kampung pada saat menjelang Hajatan Umum tiba. Bahkan warga kota juga datang ke kepulauan ini untuk menyaksikan tradisi unik ini. Bisa dibilang tradisi ini seperti memiliki magnet tersendiri karena mampu menjadi pemersatu masyarakat untuk saling berinteraksi dan bersilaturahmi dari desa ke desa, dari rumah ke rumah. Dengan menggunakan Katinting (perahu kecil) mereka melintasi pulau demi pulau yang ada di Loloda Kepulauan. Walau jarak yang jauh, tak menyurutkan mereka untuk mengunjungi kepulauan ini pada saat Hajatan Umum tiba.

“Hajatan Umum” merupakan tradisi lebaran ketupat masyarakat Loloda Kepulauan yang terdiri atas berbagai macam kegiatan seperti Khataman Qur’an, Cukur Rambut Bayi, Khitan Kampung, Pertunjukan Silat Kampung, Pertandingan Sepakbola dan Pesta Rakyat (tari-tarian daerah khas Maluku). Acara ini digelar dari pagi sampai malam. Acara pagi bertempat di masjid, acara siang bertempat di pelataran halaman yang luas, sore di lapangan dan malam juga di pelataran halaman yang luas. Selain acara-acara khusus seperti ini, warga juga berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Pertunjukkan yang paling ditunggu-tunggu warga dan tamu yang hadir adalah silat kampung. Pertunjukkan ini diiringi juga dengan gendang dan gong setiap kali ada yang menampilkan aksi silatnya. Aturan main silat ini adalah tidak boleh menggunakan kaki, dan yang membuat silat ini ramai adalah apabila yang mempermainkannya adalah menampilkan adegan-adegan lucu. Mulai dari anak-anak, dewasa hingga orangtua juga ikut berpartisipasi menampilkan aksi silatnya.
Pesilat SGI vs Pesilat Dedeta


Penampilan silat kampung ini tidak hanya oleh warga desa setempat saja, warga desa lain juga berunjuk gigi memperagakan silat dengan jurus-jurus andalannya masing-masing. Inilah yang menjadikan tradisi ini terus digemari oleh masyarakat. Dan yang tak ketinggalan adalah tari-tarian daerah, seperti Tari Lalayon, dan Tari Tide-tide. Kedua tarian khas Maluku ini sangat digemari oleh warga. Anak-anak hingga orangtua jago bermain tarian ini. Selain hajatan umum, kedua tarian ini juga kerap ditampilkan dalam acara-acara lain seperti pernikahan dan acara-acara adat lainnya. Inilah yang membuat tradisi ini terus digemari. Karena para orangtua masih senantiasa mengajarkan dan mengenalkan tradisi-tradisi ini kepada anak-cucu mereka. Meski arus globalisasi kian menggerus perubahan zaman, tapi semangat mereka tak pernah padam dalam merawat tradisi yang ada di pelosok negeri ini.


Dari Loloda Kepulauan: “Indonesia Bangkit”

Bersama Camat Loloda Kepulauan sehabis upacara HUT RI Ke-69

17 Agustus tahun 45 itulah hari kemerdekaan kita. Hari merdeka nusa dan bangsa. Hari lahirnya bangsa Indonesia. Merdeeekaaa. Sekali merdeka, tetap merdeka! Selama hayat masih dikandung badan. Kita tetap setia…! tetap sedia, mempertahankan Indonesia. Kita tetap setia…!, tetap sedia, membela negara kita” lirik lagu nasional berjudul ‘Hari Merdeka’ ini bergema mengguncang Loloda Kepulauan dalam acara Semarak Lomba HUT RI Ke-69.

            Kegiatan ini merupakan acara yang digelar oleh Tim Sekolah Guru Indonesia (SGI) – Dompet Dhuafa daerah penempatan Halmahera Utara yang bekerjasama dengan Pemerintah Kecamatan Loloda Kepulauan. Kegiatan yang bertemakan “Indonesia Bangkit” ini berlangsung selama 3 hari (Jum’at-Minggu, 15-17 Agustus 2014) dan dibuka secara resmi oleh Camat Loloda Kepulauan, Budiman H. Modim. Kegiatan Semarak Lomba HUT RI Ke-69 ini terdiri atas perlombaan untuk anak-anak dan dewasa. Ada 6 macam lomba-lomba tingkat SD/MI Se-Kecamatan Loloda Kepulauan yaitu: Lomba Tarian Lalayon, Lomba Tarian Tide-tide, Lomba Paduan Suara (Lagu Nasional), Lomba Peraturan Baris Berbaris (PBB), Lomba Puisi, dan Lomba Pidato. Sedangkan untuk lomba tingkat dewasa terdiri atas Lomba Poco-Poco dan Lomba Gerak Jalan tingkat Kecamatan Loloda Kepulauan.

Kegiatan ini diawali dengan rapat bersama antara SGI, Pemerintah Kecamatan Loloda Kepulauan dan Pemerintah Desa Dama. Dari hasil rapat memutuskan ada lomba-lomba tingkat anak-anak dan dewasa. Untuk ketentuan lomba, petunjuk teknis, jadwal kegiatan dan peraturan lomba dibuat oleh tim SGI, sedangkan surat edaran dan permintaan delegasi peserta dibuat oleh Camat Loloda Kepulauan. Untuk peserta lomba-lomba tingkat SD/MI Se-Kecamatan Loloda Kepulauan diikuti oleh 8 delegasi (SD/MI) dari 7 desa yaitu: SDN Tobo-Tobo, SD GMIH Dowonggila, SDN Fitako, SDN Dedeta, SDN Dagasuli, SDN Dama, MI Al-Basyariah Dama dan SDN Salube. Sedangkan peserta lomba gerak jalan dan poco-poco diikuti oleh siswa-siswi SMP-SMA dan perwakilan masing-masing desa yang ada di Kecamatan Loloda Kepulauan.

“Lautan luas itu, dicuri orang. Untuk bisa makan ikan, aku harus beli pada orang asing. Padahal lautan luas itu milikku! Ironi memang, katanya 69 tahun lalu gema proklamasi mengguncang Indonesia. Tapi, nyatanya Indonesia (belum) merdeka. Pendidikan di tempatku masih tertinggal. Kampungku, layaknya kota mati. Tak ada listrik, tak ada sinyal” petikan puisi karya Siti Fatimah ini bergema menggelora semua warga Loloda Kepulauan. Puisi yang berisi kritik sosial yang membangun ini begitu menyentuh hati warga masyarakat agar sadar akan kondisi dan potensi yang mereka miliki. Karena pada akhir puisi ini berisi ajakan untuk bangkit dari keterpurukan yang ada. Puisi tersebut ditutup dengan kata-kata: “Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan. Itulah tekad kita. Mari kita bersatu, untuk Indonesia lebih maju…!”

Saya teringat apa yang dikatakan presiden pertama Indonesia, Soekarno “Beri saya 1000 orangtua, maka akan aku cabut Semeru dari akarnya! Beri saya 10 pemuda, maka akan aku goncang dunia!” Tidakkah kita sadar, bahwa pemuda-pemuda yang dimaksud adalah kita? Pemuda Loloda. Jika memang dunia terlalu luas untuk kita goncang, maka minimal mari goncang tanah kelahiran tercinta kita, Loloda Kepulauan! Dengan apakah kita goncang dunia (goncang Loloda) wahai pemuda? Dengan karya kita, dengan prestasi terbaik kita sebagai putra daerah. Kita tunjukkan bahwa kita punya komitmen dan kesungguhan untuk memajukan daerah kita. Petikkan teks pidato ini juga bergemuruh dalam Lomba Pidato Berteks yang diikuti oleh siswa-siswi SD/MI se-Kecamatan Loloda Kepulauan ini. Isi pidato mengandung pesan-pesan penting bagi pemuda Loloda Kepulauan sebagai generasi bangsa.


Satu demi satu masing-masing peserta menampilkan penampilannya dengan penuh semangat. Warga masyarakat pun sangat antusias dalam menyaksikan gelaran acara ini. Setelah melewati lomba demi lomba dan persaingan yang sangat ketat, dewan juri memutuskan untuk para pemenang lomba-lomba tersebut yaitu:  Lomba Pidato (Juara 1 Rezali Dariopa dari SDN Dedeta, Juara 2 Rusnia Ishak dari SDN Dama dan Juara 3 M. Fajri AR. Lahani dari SDN Tobo-Tobo). Lomba Puisi (Juara 1 Safria Mahmud dari SDN Fitako, Juara 2 Mutmainnah Putri Lukman dari SDN Salube dan Juara 3 Asra Moh. Rafsan Din dari SDN Dedeta). Juara Lomba Tarian Lalayon (Juara 1 SDN salube. Juara 2 SDN Dagasuli, dan Juara 3 SDN Fitako). Juara Lomba Tarian Tide-tide (Juara 1 SDN Dagasuli, Juara 2 SDN Tobo-tobo, dan Juara 3 SDN Salube). Juara Lomba Peraturan Baris Berbaris (Juara 1 SDN Dedeta, Juara 2 SDN Dagasuli dan Juara 3 SD GMIH Dowonggila). Juara Lomba Paduan Suara (Juara 1 SD GMIH Dowonggila, Juara 2 SDN Dagasuli dan Juara 3 SDN Salube). Acara ini ditutup dengan pembagian hadiah, pementasan seni para juara dan ditutup secara resmi oleh camat Loloda Kepulauan.

Menjaring Semangat Pemuda di Pantai Goha

Saat mengisi Training Motivasi Sentral Pelajar Fitako
Jika ditanya “PEMUDA”, maka jawablah dengan kata “SAYA PASTI BISA”. Yel-yel ini bergelora di tepi pantai saat aku mengisi sebuah training motivasi kepada pemuda Loloda Kepulauan. Karena pemuda itu identik dengan kata semangat, maka sudah semestinya menampilkan ekspresi optimis. Seperti pesan Hasan Al-Banna yang begitu menggetarkan hati, “jika mereka bertanya tentang semangat. Maka, jawablah bahwa bara itu masih bersemayam di dalam dadaku! Bahwa tekad itu masih membara di dalam diriku. Bahwa semangat itu masih hidup di dalam jiwaku. Katakan itu pada orang-orang yang ragu akan kemampuan dirimu. Karena impianmu saat ini adalah kenyataan hari esok”.

Siapakah sosok pemuda itu? Apakah para pemuda itu seperti yang diucapkan oleh Ir. Soekarno, “Beri aku 1000 orang tua maka akan aku cabut Semeru dari akarnya, tapi beri aku 10 orang pemuda maka akan aku goncangkan dunia”. Inilah pesan penting Sang Proklamator untuk generasi bangsa (khususnya pemuda) dalam hal ini adalah pelajar dan mahasiswa Fitako, Kecamatan Loloda Kepulauan. Dengan cara apa kita menggoncangkan dunia? Tanyaku dengan nada tinggi. Dengan karya dan prestasi kita, dengan belajar yang giat dan menjadi generasi yang bermanfaat kelak untuk membangun Loloda Kepulauan yang saat ini masih tertinggal.

Tingkat pendidikan Loloda Kepulauan (Provinsi Maluku Utara) berada di peringkat 27 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Inilah tugas kalian. Sebagai pelajar dan mahasiswa harus bisa mengejar ketertinggalan ini. Apakah kita sudah merdeka? Tanyaku. Kalian rela melihat orang asing mengambil kekayaan alam di pulau ini. Sebut saja kapal-kapal besar mereka mengambil ikan berton-ton, pasir besi dikeruk tiap hari, dan pertambangan. Saya juga menyampaikan tentang kondisi pendidikan  di tanah air secara umum dan menyampaikan juga tentang pendidikan maju seperti yang ada di Negara Jepang, mulai dari Restorasi Meiji dan kebijakan Jepang yang mengutus para pemudanya untuk belajar ke luar negeri (Eropa dan Amerika) untuk menimba ilmu disana. Hasilnya, bisa kita lihat saat ini Jepang mampu menjadi Negara yang maju berawal dari sebuah pendidikan.

“Iqro (bacalah..!)’ itulah pesan pertama dalam Surat Al-Alaq ayat 1-5 (surat pertama  yang diturunkan). “Siapa yang ingin mendapatkan dunia, dengan ilmu. Siapa yang ingin mendapatkan akhirat, juga dengan ilmu. Dan siapa yang ingin mendapatkan keduanya (dunia-akhirat), juga dengan ilmu”. Itulah beberapa dalil tentang perintah menuntut ilmu. Tentang pentingnya pendidikan. Karena pendidikan merupakan cara yang terbaik untuk memanusiakan manusia. Kemajuan sebuah bangsa berawal dari pendidikan.


Kebangkitan sebuah pemuda pun berawal dari pendidikan. Dan inilah sebuah langkah nyata yang dilakukan oleh sekelompok pemuda Fitako yang tergabung dalam Sentral Pelajar Fitako (SALAFI) Desa Fitako dengan menggelar training motivasi di tepi Pantai Goha Desa Fitako. Kegiatan ini dilaksanakan dengan maksud untuk mengukuhkan para anggota dan membuka cakrawala berpikir para anggotanya yang terdiri dari pelajar SD, SMP, SMA dan mahasiswa. Seusai menyampaikan materi dilakukan sesi diskusi. Pada sesi ini cukup banyak yang bertanya, akan tetapi mengingat waktu dan masih ada pemateri yang lain, maka hanya dibatasi 5 pertanyaan dalam satu pemateri. Acara pamungkas sebagai penutup adalah pengukuhan anggota Sentral Pelajar Fitako (SALAFI). Dalam sesi acara ini semua peserta yang hadir membentuk lingkaran dan ditengahnya dinyalakan api unggun. Sambil ketua umum berorasi, yang lain menyanyikan lagu syukur bersama-sama. Setelah itu semua peserta mengucapkan sumpah pemuda secara bersama-sama. Dan ditutup dengan do’a dan saling berjabat tangan antar peserta.

Saturday, 19 July 2014

Maluku Utara dalam Kacamata Relawan Pendidikan



Hitam putihnya suatu daerah salah satunya ditentukan oleh pendidikan. Jika pendidikannya maju, maka daerah tersebut pun akan ikut maju. Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah di wilayah Indonesia Timur. Provinsi ini juga kaya akan suku, bahasa dan budaya. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang pendidikan provinsi ini bisa dikatakan cukup tertinggal dibandingkan provinsi yang lainnya.  Pasalnya tingkat pendidikan  provinsi ini berada di peringkat 27 dari 33 provinsi di Indonesia, tutur Ibu Sisi selaku moderator dalam Siaran Talkshow Interaktif RRI (Radio Republik Indonesia) Ternate, 18 Juli 2014.

Talkshow pendidikan ini mengangkat tema “Maluku Utara dalam Kacamata Relawan Pendidikan” dengan narasumber dari Relawan Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. Relawan pendidikan yang dikenal dengan guru transformatif ini merupakan relawan yang ditugaskan di Loloda Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara. Kelima narasumber tersebut adalah In Amullah (Tegal, Jawa Tengah), Alvauzi (Padang), Siti Fatimah (Bandung, Jawa Barat), Novitasari (Bengkulu) dan Nuril Rahmayanti (Dompu, NTB). Mereka sudah 1 bulan ditugaskan di Kecamatan Loloda Kepulauan di  5 desa (Dama, Salube, Dagasuli, Dedeta, dan Fitako). Secara bergantian, kelima narasumber tersebut bergantian menyampaikan talkshownya mulai dari perkenalan, profil singkat SGI, alasan bergabung, pengalaman menarik yang didapat hingga permasalahan pendidikan yang ditemukan di Maluku Utara, khususnya Loloda Kepulauan.

 Sekolah Guru Indonesia (SGI) merupakan salah satu jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa yang berkomitmen melahirkan guru transformatif yang memiliki kompetensi mengajar, mendidik dan berjiwa kepemimpinan sosial atau dikenal dengan istilah guru 3P (Pengajar, Pendidik dan Pemimpin). Sekolah Guru Indonesia didedikasikan bagi para pemuda Indonesia  yang siap mengabdikan diri menjadi guru serta siap berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di seluruh penjuru nusantara. Pada tahun 2014 Sekolah Guru Indonesia telah memberangkatkan angkatan ke-VI sebanyak 30 orang di 6 kabupaten yaitu Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Poliwalimandar (Sulawesi Barat), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), Kabupaten Dompu (NTB), dan Kabupaten Halmahera Utara (Maluku Utara). 

Kelima relawan yang berasal dari luar Provinsi Maluku Utara ini memaparkan kondisi pendidikan yang ditemui selama penempatan yang baru 1 bulan ini. Mulai dari masalah karakter anak-anak yang belum bisa membaca padahal sudah memasuki bangku SMP, sarana prasarana yang kurang lengkap, sumber daya manusia guru yang tidak merata, hingga masalah yang paling krusial adalah kurikulum 2013 yang terkesan sebagai “kurikulum pemaksaan”. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Pitson Y.K selaku Kepala Dinas Pendidikan Halmahera Utara, buku-buku penunjang kurikulum 2013 sampai saat ini belum sampai di Tobelo. Bagaimana untuk mengajar anak-anak jika sarana buku penunjang saja tidak ada? Belum lagi masalah guru itu sendiri. Banyak guru yang belum tahu mengenai kurikulum baru tersebut. Pelatihan yang sudah diadakan pun belum menjangkau semua sekolah. Dari 2000 guru sekolah dasar, baru 700 yang sudah mengikuti pelatihan kurikulum 2013. Mereka yang sudah mengikuti kurikulum saja masih sangat kebingungan, apalagi yang belum mengikuti pelatihan sama sekali?

Apalagi di Loloda Kepulauan? Daerah terpencil di ujung utara Halmahera Utara ini terkenal dengan “daerah buangan” bagi PNS yang kurang disiplin. Maklum, di daerah tersebut tidak ada signal jaringan telepon, lampu hanya menyala dari jam 18.30 hingga 24.00. Akan tetapi anak-anak dan warga masyarakat disana memiliki semangat dan antusias yang tinggi dengan pendidikan. Masalahnya adalah kurangnya sarana prasarana seperti buku dan fasilitas penunjang lainnya. Banyak anak-anak Loloda Kepulauan yang lebih memilih melanjutkan sekolah baik SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi di kota Tobelo maupun Ternate. Akan tetapi usai lulus menjadi sarjana, sangat jarang yang pulang kampung mengabdi disana. Mereka memutuskan memilih tinggal di kota. Hal ini bisa dimaklumi dengan berbagai alasan yang ada di desa tersebut. Tapi sampai kapan hal ini terus berlanjut? Diakhir Talk Show, Pak Abdullah salah satu penelpon sangat mengapresiasi kedatangan relawan SGI di Loloda Kepulauan. Beliau meminta agar penempatan berikutnya ada lagi, lebih khususnya di daerah Obi yang katanya masuk kategori daerah tertinggal juga. Beliau juga  menyarankan agar generasi muda Maluku Utara mau juga bergabung dengan SGI. “Bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam Indonesia!” motto Sekolah Guru Indonesia (SGI) ini menggema studio RRI Ternate di akhir sesi talkhsow.