Sampah itu masalah.
Sampah itu limbah. Sampah itu “habis
manis sepah dibuang”. Begitulah nasib yang dialami sampah hingga saat ini. Sampah
divonis sebagai terdakwa dalam setiap kasus pencemaran lingkungan. Padahal
sampah tidak muncul dengan sendirinya. Adanya sampah adalah akibat dari
aktivitas manusia. Manusialah yang menyebabkan sampah itu ada. Mencemari
lingkungan, menimbulkan polusi dan menyebabkan banjir itu juga semata-mata
bukan karena sampah, tapi karena ulah beberapa oknum manusia yang berbuat
semena-mena terhadap sampah, membuangnya secara sembarangan, dan kurangnya rasa
kepedulian dalam pengelolaan sampah.
Terkadang manusia tidak
menyadari bahwa setiap hari pasti manusia itu menghasilkan sampah, baik sampah
organik maupun anorganik. Sebagai contoh masalah sampah yang dihasilkan oleh
mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman, yang bertempat tinggal di daerah
Kelurahan Karangwangkal dan Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Dalam
satu hari seorang mahasiswa makan di warung sebanyak 3 kali dan dibungkus, artinya
dalam satu hari minimal menghasilkan 3 buah sampah plastik kresek dan 3 buah
kertas pembungkus nasi. Total ada 6 buah sampah yang dihasilkan. Jika total mahasiswa
yang berada di kedua kelurahan ini berjumlah 20.000 mahasiswa, maka jumlah
sampah minimal yang dihasilkan adalah 6 x 20.000 = 120.000 sampah/hari. Ini
hanya baru jumlah minimal dari sampah plastik kresek dan kertas pembungkus nasi.
Belum sampah-sampah yang lainnya seperti kertas, botol, plastik, pembungkus
detergen, pembungkus sabun, dan sampah-sampah lainnya yang dihasilkan oleh masyarakat
dan warga sekitar. Ternyata tempat-tempat penampungan sampah setiap hari penuh
dengan aneka macam jenis sampah. Ini baru di dua kelurahan yang ada di Purwokerto
Utara. Belum lagi di kelurahan lain, kecamatan lain, atau bahkan di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Tugel. TPA Gunung Tugel yang merupakan
satu-satunya TPA untuk menampung sampah yang ada di wilayah Purwokerto.
Ternyata Volume sampah yang dibuang ke TPA ini mencapai kurang lebih 325 m3
per hari. Jumlah itu belum termasuk sampah yang dibuang di sembarangan tempat
sekitar permukiman warga. Dari total volume sampah sekitar 325 m3
tersebut, baru 65 persennya yang tercover dan ditampung di TPA. Sedangkan
sisanya sekitar 125 m3 dibuang di sekitar tempat tinggal warga
(Suara Merdeka, 2010)1.
![]() |
1Suara Merdeka. 2010. Volume Sampah
Warga Purwokerto Capai 325 m3. Diakses di http://suaramerdeka.com
Sampah yang menumpuk di
TPA Gunung Tugel pun belum menyelesaikan masalah secara tuntas karena
menimbulkan dampak lain bagi warga sekitar yaitu mencemari lingkungan,
menimbulkan bau tak sedap, dan menimbulkan
penyakit. Lagi-lagi sampah selalu menimbulkan masalah tanpa memandang
kompromi. Oleh karena itu diperlukan usaha lain untuk mengatasi masalah sampah
tersebut agar tidak menimbulkan masalah bagi yang lainnya. Tak selamanya sampah
itu berstatus sebagai masalah. Bukan pula limbah. Akan tetapi sampah itu bisa
menjadi “habis sepah dibuang, berkah pun
datang”. Sebagaimana yang dilakukan oleh Koperasi “Babe” yang berada di
Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Koperasi pada umumnya menjual
dan mengelola barang-barang yang masih baru, utuh, dan bersih, dan rapi. Akan
tetapi Koperasi “Babe” malah mengelola barang-barang bekas, sampah, rongsok, dan sisa-sisa barang yang sudah
rusak. Sistem yang digunakan dari
koperasi ini pun sama dengan koperasi-koperasi pada umumnya yaitu mensejahterakan
anggota-anggotanya, karena keuntungan yang didapatkan dibagi rata untuk semua
anggota-anggotanya.
Koperasi “Babe” merupakan sebuah koperasi yang
terletak di Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara. Koperasi ini
didirikan pada tahun 2009 atas bantuan dana salah seorang warga yang peduli
dengan lingkungan sekitarnya. Pada awalnya dana koperasi ini masih menggunakan
dana pinjaman dari orang tersebut, akan tetapi sekarang semua dana pinjaman
tersebut sudah terlunasi dan kini keuntungan dana koperasi bisa dirasakan oleh
semua anggotanya. Koperasi “Babe” ini sekarang sudah 3 tahun berjalan dengan
anggotanya berjumlah 235 orang yang terdiri atas anggota tetap dan para
pemulung. Istilah “Babe” disini merupakan singkatan dari “Barang Bekas”. Koperasi
ini menerima semua jenis sampah atau barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan
atau didaur ulang lagi seperti botol bekas, kaleng, besi, sandal bekas, kertas,
koran, plastik, dan barang bekas lainnya dengan harga yang bervariatif
tergantung jenis barang tersebut. Berdirinya koperasi ini tak lepas dari peran
sosok yang sangat berjasa yaitu Pak Arif Sriyanto (ketua koperasi “Babe”). Selain
sebagai ketua koperasi pak Arif juga bekerja sebagai tukang cukur rambut
sebagai usaha tambahannya. Berkat koperasi ini Pak Arif telah berhasil
mensejahterakan ratusan anggotanya yang sebagian besar merupakan pemulung
sampah yang ada di dua kelurahan, yaitu Kelurahan Karangwangkal dan Kelurahan
Grendeng (Berdasarkan data observasi2
dan wawancara dengan Pak Arif Sriyanto3).
![]() |
2 Observasi
dilakukan langsung di Koperasi “Babe” Grendeng, Purwokerto Utara
3 Pak Arif
Sriyanto merupakan ketua Koperasi “Babe” Grendeng, Purwokerto Utara
Koperasi “Babe” ini pula merupakan
satu-satunya koperasi di kota Purwokerto yang mengelola sampah dan
barang-barang bekas. Keberhasilan dan kemajuan koperasi ini tak lepas dari
peran berbagai pihak yang bekerja di koperasi ini. Selain Pak Arif, sosok yang
berjasa lainnya dalam penanganan masalah sampah ini adalah petugas pengangkut
sampah dan para pemulung yang selama ini telah menyelesaikan masalah sampah-sampah
tersebut. Setiap pagi sejak pukul 5.30 WIB petugas pengangkut sampah ini
berkeliling dengan gerobaknya dari satu tempat penampung sampah ke tempat
penampung sampah yang lainnya secara rutin. Sungguh luar biasa jasa petugas
ini, walau bau sampah yang menyengat dan kotor, tapi tak pernah mengurangi rasa
semangatnya untuk mengais sampah-sampah tersebut. Satu lagi sosok yang berjasa
dalam mengatasi sampah-sampah tersebut adalah para pemulung sampah yang bekerja
mulai siang hari hingga sore hari. Para pemulung ini berkeliling mengambil
sampah-sampah yang sekiranya masih bisa dimanfaatkan. Para pemulung sampah ini
terdiri atas anak-anak usia remaja yang putus sekolah, bapak-bapak, dan ibu-ibu
dari kalangan keluarga yang tidak mampu. Mereka memulung serpihan-serpihan
sampah yang bernilai rupiah itu di sepanjang Kelurahan Karangwangkal, Kelurahan
Grendeng, hingga seputar kampus Universitas Jenderal Soedirman. Setelah
sampah-sampah dan barang bekas itu terkumpul di Koperasi “Babe”, sampah
tersebut dipilah-pilah dan akhirnya dijual ke pengepul yang lebih besar. Karena
sudah ada kepercayaan, para pengepul pun datang sendiri ke Koperasi “Babe”
untuk mengambil dan membeli barang-barang tersebut untuk didaur ulang. Para
pengepul ini ada yang berasal dari dalam kota dan ada pula yang dibawa keluar
kota Purwokerto.
Melalui Koperasi “Babe”
inilah pak Arif dan para pemulung sampah ini memenuhi kehidupannya. Berawal
dari sampah menjadi berkah bagi kehidupan dan masa depan mereka. Atas jasa
mereka pula sampah tak menjadi masalah. Mereka inilah sosok manusia yang telah
menjadikan kota Purwokerto menjadi lebih asri dan indah. Mereka pula yang telah
mengubah sampah menjadi berkah bagi kehidupan mereka. Koperasi “Babe” telah
membuktikan bahwa sampah atau barang bekas bukan lagi menjadi masalah, bukan
pula limbah yang mencemari lingkungan, akan tetapi menjadi berkah yang
menyinari kehidupan mereka dan menjadikan lingkungan mereka menjadi lebih hidup
tanpa masalah sampah yang berarti. Koperasi “Babe” merupakan langkah yang nyata
dari sebuah kelompok yang peduli untuk melestarikan lingkungan mereka dan
menyadarkan kita untuk ikut serta dalam rangka menghijaukan Indonesia yang
asri. Kita pun bisa mengikuti jejak seperti mereka.
0 comments:
Post a Comment