Masak….. Masak
sendiri
Makan…. Makan
sendiri
Cuci baju
sendiri…..
Tidur pun
sendiri…. (tapi, sering ditemani anak-anak)
Kamar mandi tak
punya
Listrik pun
tiada
Lampu hanya sel
surya
Itu pun hanya
malam menyala
Ngecash HP
keliling tetangga
Ngambil air pun
ke tetangga
Hingga masak pun
pakai kayu bakar
(Nyanyian
episode gubuk 7 purnama)
Tepat 7 purnama berada
di gubuk mungil ini, sendiri walau
berdua. Kalau dihitung, telah lahir banyak cerita, goresan karya dan
lembaran hidup yang patut untuk disyukuri. Sendiri, mulai dari masak, makan,
tidur dan kalau mandi atau mencuci harus ke sungai (masa 4 bulan pertama),
harus ke WC umum atau ke kamar mandi tetangga bila ingin buang air besar atau
mandi, karena gubuk mungil ini tidak punya kamar mandi. Air untuk masak dan
mencuci piring pun harus ngangsu (mengambil)
dengan ember dan gligen di pancuran air yang mengalir di WC umum atau sumber
air yang di RT tetangga. Terkadang terpaksa pula harus minta tolong anak-anak
untuk mengaambilkan air, anak yang perempuan terkadang ikut membantu masak dan
mencuci piring.
Sudah 7 bulan berlalu,
sudah 7 bulan pula pakaian tak disetrika. Biarin…! Karena disini juga tak ada
setrika. Jangankan untuk setrika, listrik juga tidak ada. Ya, yang ada hanyalah
lampu surya yang menyala hanya di waktu malam selepas maghrib hingga lepas
shubuh (itu normalnya bila matahari panas saat siang harinya). Tapi kalau musim
hujan atau mendung, maka lampu surya pun mudah redup dan cepat padam. Pernah
hanya menyala selama 2,5 jam (jam 18.30-21.00), karena siang harinya hujan
seharian, otomatis tidak ada sinar matahari. Otomatis harus pakai penerang lain
yaitu lampu poci, sebutan lampu
mungil bernama lampu api yang terbuat dari botol dengan sumbu kain berisi pasir
putih dan minyak tanah.
Tepat sudah 215 hari
berlalu, sendiri walau berdua,
karena kepsek sering ke luar kota atau pulang ke rumah utamanya di desa, pulau
lain. Tapi, biar sendiri masih ada anak-anak yang menemani baik siang atau
malam. Banyak cerita unik dan menarik yang ditorehkan selama tinggal di gubuk
ini. Pernah kebanjiran di malam hari, terpaksa jam 2 dini hari harus
gotong-gotong kasur yang ada di atas lantai dan harus menyapu air yang masuk
rumah. Pernah juga jika angin kencang datang ditambah hujan lebat, gubuk ini
terasa ikut bergoyang-goyang serasa mau rubuh, bambu pagar pernah terlepas
jatuh, atap rumah (seng) berbunyi-bunyi tersingkab tertanda mau lepas oleh
terpaan angin, bocor saat tidur nyenyak dan masih banyak lagi sepenggal cerita
selama di gubuk ini.
Gubuk yang hanya
terdiri atas 2 kamar (saya dan kepsek) ditambah dapur kecil di bagian belakang
ini memang memiliki sejuta kenangan. Kalau pintu depan tidak di kunci,
seringkali Ngadimah (orang gila di desa ini) masuk secara tiba-tiba, saat aku
lagi masak di dapur. Memang tidak mengganggu, tapi sering usil, mengambil
makanan dan yang paling utama adalah bou-bou
(bau) tubuhnya yang tak tahan. Sering ngomong tanpa jeda tanpa henti dengan
bahasa yang saya sendiri tidak mengerti. Kalau saya menyebutnya manusia
setengah gila, karena sebenarnya dia juga masih sadar dan bisa diajak bicara
dan cenderung menceritakan kondisi keluarganya dengan cerita yang panjang
lebar, tapi terkadang sering bikin onar, teriak-teriak tidak jelas, dan
perilaku-perilaku aneh lainnya yang menjadikannnya dia dijuluki gila. Tidak
hanya di gubuk mungil ini, orang setengah gila ini juga sering mengganggu saat
di sekolah. berdasarkan pengamatan salama ini, dia akan cenderung mencari
perhatian bila ada orang baru atau pendatang.
Walau penuh dengan suka
dan duka, pahit-manis pun seiring bergantian datang melalui gubuk ini. Sendiri,
walau berdua. Tapi telah banyak warga yang begitu lebih peduli baik secara
langsung maupun tak langsung. Terima kasih buat semua warga desa Fitako atas
perhatiannya selama ini. Ada yang antar beras, walau cuma satu cupa tapi karena banyak cupa hingga akhirnya terkumpullah 1
karung beras dan 1 plastik besar gula pasir. Awalnya saya kaget ketika Pak
Husen (wakil Imam, yang menginisiasi gotong royong kepedulian tersebut) datang
membawa paket kiriman warga tersebut ke gubuk ini. berawal dari hal tersebut,
satu demi satu berdatangan, ada yang kasih beras, gula, mie, ikan, bole
(pisang), kasbi (singkong), minyak,
kayu bakar dan makanan lainnya. Sekali lagi terima kasih, mata ini serasa ingin
meneteskan air mata haru kalau mengenang masa-masa itu. Maka, nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan?
Bahkan kepedulian pun
terlontarkan oleh aneka ucapan yang terkadang menggelitik. Seperti, “sudah cari
isteri orang sini aja, biar ada yang bantuin masak” ujar salah seorang warga.
ada juga yang bertanya, “Mas, berasnya masih ada?”. “Bekalnya masih ada pak?”.
“kalau tidak ada bilang yah?”. “Mie masih ada? Kalau tarada, ambil kios sini sudah”, dan masih banyak aneka macam
pertanyaan lainnya yang menunjukkan perhatian. Bahkan sangking perhatiannya,
tidak hanya sapa menyapa dan menanya, tapi langsung sidak ke rumah mengecek
ketersediaan bekal di rumah, masih ada atau sudah habis. Terkadang pula, diajak
ke rumahnya untuk santap makan, alhasil sudah banyak rumah yang saya kunjungi.
Terlebih kalau usai sholat jum’at, banyak tawaran untuk makan di rumah warga
sampai saya bingung memilihnya, akhirnya dipilihlah yang lebih duluan mengajak.
Rasanya berat untuk
berpindah dari gubuk ini, tapi lebih berat lagi jika terus bertahan? Memilih
itu konsekuensi. Memutuskan satu pilihan butuh banyak pertimbangan. Mungkin
sama seperti ketika memutuskan untuk menikah kali yah, hehe. Memilih untuk
berpindah atau bertahan? Keduanya beresiko. Keduanya beralasan. Kalau ditimbang
dengan model jungkat-jungkit (alat peraga kelas VI), gaya yang besar adalah
“pindah”. Selamat tinggal masa “sendiri, walau berdua”. Masa yang penuh
jatidiri, penuh makna, penuh kenangan dan ratapan. Masa yang telah menjadi
autoklaf hidup mandiri seorang pemuda yang sedang berjuang di ujung negeri.
Masa yang telah mendewasakan hidup ini penuh dengan warna warni dan pelangi
telah menjadi panorama indah dalam setiap lika-likunya.
Sendiri
menyepi, tenggelam dalam renungan.
Adakah
aku seakan ku jauh dari ketenangan.
Perlahan
ku cari, mengapa diriku hampa.
Mungkin
ada salah, mungkin ku tersesat, mungkin dan mungkin lagi.
Oh
Tuhan aku merasa sendiri menyepi,
ingin
ku menangis menyesali diri mengapa terajdi.
Sampai
kapan ku begini, resah tak bertepi,
kembalikan
aku pada cahaya-Mu yang sempat menyala,
benderang
di hidupku.
Lagu Edcoustic
berjudul “Sendiri menyepi” ini
mengakhiri keputusanku yang sudah bulat ini. Bismillah. Berhijrah, walau
selangkah. Selamat tinggal gubuk 7 purnama. Karena, gajah di pelupuk mata
memang tak akan pernah tampak, tapi bakteri di ujung gunung sekalipun terlihat
gagah perkasa. Begitulah, salah satu alasannya.