Monday, 19 January 2015

Wola 7 Purnama


Masak….. Masak sendiri
Makan…. Makan sendiri
Cuci baju sendiri…..
Tidur pun sendiri…. (tapi, sering ditemani anak-anak)
Kamar mandi tak punya
Listrik pun tiada
Lampu hanya sel surya
Itu pun hanya malam menyala
Ngecash HP keliling tetangga
Ngambil air pun ke tetangga
Hingga masak pun pakai kayu bakar

(Nyanyian episode gubuk 7 purnama)

Tepat 7 purnama berada di gubuk mungil ini, sendiri walau berdua. Kalau dihitung, telah lahir banyak cerita, goresan karya dan lembaran hidup yang patut untuk disyukuri. Sendiri, mulai dari masak, makan, tidur dan kalau mandi atau mencuci harus ke sungai (masa 4 bulan pertama), harus ke WC umum atau ke kamar mandi tetangga bila ingin buang air besar atau mandi, karena gubuk mungil ini tidak punya kamar mandi. Air untuk masak dan mencuci piring pun harus ngangsu (mengambil) dengan ember dan gligen di pancuran air yang mengalir di WC umum atau sumber air yang di RT tetangga. Terkadang terpaksa pula harus minta tolong anak-anak untuk mengaambilkan air, anak yang perempuan terkadang ikut membantu masak dan mencuci piring.

Sudah 7 bulan berlalu, sudah 7 bulan pula pakaian tak disetrika. Biarin…! Karena disini juga tak ada setrika. Jangankan untuk setrika, listrik juga tidak ada. Ya, yang ada hanyalah lampu surya yang menyala hanya di waktu malam selepas maghrib hingga lepas shubuh (itu normalnya bila matahari panas saat siang harinya). Tapi kalau musim hujan atau mendung, maka lampu surya pun mudah redup dan cepat padam. Pernah hanya menyala selama 2,5 jam (jam 18.30-21.00), karena siang harinya hujan seharian, otomatis tidak ada sinar matahari. Otomatis harus pakai penerang lain yaitu lampu poci, sebutan lampu mungil bernama lampu api yang terbuat dari botol dengan sumbu kain berisi pasir putih dan minyak tanah.

Tepat sudah 215 hari berlalu, sendiri walau berdua, karena kepsek sering ke luar kota atau pulang ke rumah utamanya di desa, pulau lain. Tapi, biar sendiri masih ada anak-anak yang menemani baik siang atau malam. Banyak cerita unik dan menarik yang ditorehkan selama tinggal di gubuk ini. Pernah kebanjiran di malam hari, terpaksa jam 2 dini hari harus gotong-gotong kasur yang ada di atas lantai dan harus menyapu air yang masuk rumah. Pernah juga jika angin kencang datang ditambah hujan lebat, gubuk ini terasa ikut bergoyang-goyang serasa mau rubuh, bambu pagar pernah terlepas jatuh, atap rumah (seng) berbunyi-bunyi tersingkab tertanda mau lepas oleh terpaan angin, bocor saat tidur nyenyak dan masih banyak lagi sepenggal cerita selama di gubuk ini.

Gubuk yang hanya terdiri atas 2 kamar (saya dan kepsek) ditambah dapur kecil di bagian belakang ini memang memiliki sejuta kenangan. Kalau pintu depan tidak di kunci, seringkali Ngadimah (orang gila di desa ini) masuk secara tiba-tiba, saat aku lagi masak di dapur. Memang tidak mengganggu, tapi sering usil, mengambil makanan dan yang paling utama adalah bou-bou (bau) tubuhnya yang tak tahan. Sering ngomong tanpa jeda tanpa henti dengan bahasa yang saya sendiri tidak mengerti. Kalau saya menyebutnya manusia setengah gila, karena sebenarnya dia juga masih sadar dan bisa diajak bicara dan cenderung menceritakan kondisi keluarganya dengan cerita yang panjang lebar, tapi terkadang sering bikin onar, teriak-teriak tidak jelas, dan perilaku-perilaku aneh lainnya yang menjadikannnya dia dijuluki gila. Tidak hanya di gubuk mungil ini, orang setengah gila ini juga sering mengganggu saat di sekolah. berdasarkan pengamatan salama ini, dia akan cenderung mencari perhatian bila ada orang baru atau pendatang.

Walau penuh dengan suka dan duka, pahit-manis pun seiring bergantian datang melalui gubuk ini. Sendiri, walau berdua. Tapi telah banyak warga yang begitu lebih peduli baik secara langsung maupun tak langsung. Terima kasih buat semua warga desa Fitako atas perhatiannya selama ini. Ada yang antar beras, walau cuma satu cupa tapi karena banyak cupa hingga akhirnya terkumpullah 1 karung beras dan 1 plastik besar gula pasir. Awalnya saya kaget ketika Pak Husen (wakil Imam, yang menginisiasi gotong royong kepedulian tersebut) datang membawa paket kiriman warga tersebut ke gubuk ini. berawal dari hal tersebut, satu demi satu berdatangan, ada yang kasih beras, gula, mie, ikan,  bole (pisang), kasbi (singkong), minyak, kayu bakar dan makanan lainnya. Sekali lagi terima kasih, mata ini serasa ingin meneteskan air mata haru kalau mengenang masa-masa itu. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Bahkan kepedulian pun terlontarkan oleh aneka ucapan yang terkadang menggelitik. Seperti, “sudah cari isteri orang sini aja, biar ada yang bantuin masak” ujar salah seorang warga. ada juga yang bertanya, “Mas, berasnya masih ada?”. “Bekalnya masih ada pak?”. “kalau tidak ada bilang yah?”. “Mie masih ada? Kalau tarada, ambil kios sini sudah”, dan masih banyak aneka macam pertanyaan lainnya yang menunjukkan perhatian. Bahkan sangking perhatiannya, tidak hanya sapa menyapa dan menanya, tapi langsung sidak ke rumah mengecek ketersediaan bekal di rumah, masih ada atau sudah habis. Terkadang pula, diajak ke rumahnya untuk santap makan, alhasil sudah banyak rumah yang saya kunjungi. Terlebih kalau usai sholat jum’at, banyak tawaran untuk makan di rumah warga sampai saya bingung memilihnya, akhirnya dipilihlah yang lebih duluan mengajak.

Rasanya berat untuk berpindah dari gubuk ini, tapi lebih berat lagi jika terus bertahan? Memilih itu konsekuensi. Memutuskan satu pilihan butuh banyak pertimbangan. Mungkin sama seperti ketika memutuskan untuk menikah kali yah, hehe. Memilih untuk berpindah atau bertahan? Keduanya beresiko. Keduanya beralasan. Kalau ditimbang dengan model jungkat-jungkit (alat peraga kelas VI), gaya yang besar adalah “pindah”. Selamat tinggal masa “sendiri, walau berdua”. Masa yang penuh jatidiri, penuh makna, penuh kenangan dan ratapan. Masa yang telah menjadi autoklaf hidup mandiri seorang pemuda yang sedang berjuang di ujung negeri. Masa yang telah mendewasakan hidup ini penuh dengan warna warni dan pelangi telah menjadi panorama indah dalam setiap lika-likunya.

Sendiri menyepi, tenggelam dalam renungan.
Adakah aku seakan ku jauh dari ketenangan.
Perlahan ku cari, mengapa diriku hampa.
Mungkin ada salah, mungkin ku tersesat, mungkin dan mungkin lagi.
Oh Tuhan aku merasa sendiri menyepi,
ingin ku menangis menyesali diri mengapa terajdi.
Sampai kapan ku begini, resah tak bertepi,
kembalikan aku pada cahaya-Mu yang sempat menyala,
benderang di hidupku.

Lagu Edcoustic berjudul “Sendiri menyepi” ini mengakhiri keputusanku yang sudah bulat ini. Bismillah. Berhijrah, walau selangkah. Selamat tinggal gubuk 7 purnama. Karena, gajah di pelupuk mata memang tak akan pernah tampak, tapi bakteri di ujung gunung sekalipun terlihat gagah perkasa. Begitulah, salah satu alasannya.


0 comments: