Tumbuh itu
pasti, soal kuantitas. Seperti halnya usia yang berkurang. Apakah juga
dibarengi dengan meningkatnya kualitas diri? Maka, jangan hanya tumbuh (secara
kuantitas), tapi barengi juga dengan berkembang (meningkatnya kualitas).
Berkembang secara akal, kedewasaan dan pola pikir. Jernihkan nurani, segarkan
hati dan beningkan prasangka baik (khusnudhon) dalam menghadapi setiap persoalan.
Berkembang keimanan dan ketakwaan dalam setiap langkah hidup. Berkembang
fikriyah dan ruhiyahnya. Teruslah bersyukur, berbenah, bergerak dan berkarya.
Bismillah. Faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah.
Sebelumnya melalui
untaian kata yang masih banyak khilaf ini, perkenankan diri pribadi ini
mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua sahabat dan rekan
sekalian atas ucapan, do'a dan harapannya. Semoga kebaikan juga menyertai sahabat sekalian. Karena tidak ada balasan kebaikan, selain
kebaikan pula. Maka, teruslah tingkatkan saldo kebaikan kita. Mohon maaf bagi
yg belum dibales ucapannya. “Selamat menempuh (fase) hidup baru” ujar pria
kelahiran Tegal ini. “Teruslah menjadi pribadi pembelajar sejati”, seru hati
memantapkan. Kalau disederhanakan lagi, “lakukanlah refleksi tanpa henti” kata
organ detoksifikasi ini dengan penuh optimis.
Seperti saat
mengendarai motor, jangan hanya fokus menatap ke depan. Sesekali juga harus
menengok spion (melihat ke belakang). Lihat kanan-kiri sewajarnya juga. Begitu pun
dengan kehidupan kita sehari-hari. Karena hidup adalah perjalanan, sudahkah
sampai ke tujuan? Sudahkah menemukan hasil atas jerih payah yang telah
dilakukan selama ini? Sudahkah menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih
bermanfaat? Jika belum, maka coba tengok sekali lagi kaca spion selama
perjalanan setahun yang lalu. Lihatlah sejenak dengan diri ini sejak 12 purnama
yang lalu hingga detik ini. Manakah yang lebih besar bobotnya antara manfaat
(kebaikan) yang dilakukan dengan mudhorot (keburukan) yang diperbuat? “Astaghfiullah...”
ucap nurani membisikanku.
Jika tepat
setahun yang lalu (27/08/2016) diri ini meghadiri acara Awarding Gramedia Reading
Comunity Competition (GRCC) 2016 di Gedung Teater A Perpustakaan RI mewakili
Komunitas Saung Ilmu. Maka, untuk hari ini (27/08/2017) berada dalam barisan
bersama para pemuda-pemudi hebat seantero negeri dalam acara Indonesia Youth
Festival Forum (IYEF) Camp yang diselenggarakan oleh tim SGI (Sekolah Guru Indonesia)
angkatan 21. Melewati perjalanan sejak kemarin siang dari Depok, Jakarta, lalu
ke Bogor. Penuh rasa dan penuh sensasi yang menggetarkan hati hingga sore hari
di hari ini ditutup dengan berkunjung ke sekolah lama dan bertemu dengan
anak-anakku disana. Rasanya complicated dibuatnya.

Oke, tak perlu
panjang kali lebar lagi menuangkan sebait unek-unek yang dari tadi pagi
berseliweran di antara synaps dan ganglion dalam otakku ini. Sejenak diri ini
teringat kembali dengan petuah pengingat diri. "Khaasibuu, qobla an
tukhaasaabuu" begitu nasihat Sahabat Umar ini tiba-tiba teringat. Hisablah
(dirimu), sebelum engkau dihisab (kelak). Introspeksi diri. Evaluasi diri.
Syukuri. Mantapkan. Bismillah. Cemerlangkan diri menatap masa depan. Karena hari
ini adalah hari dimana munculnya sebuah ide bernama “Dua Rasa, Tujuh Asa”. Apa
itu? Secara filosofi sebenarnya sudah tersirat pada dua kata yang dibold
(dicetak tebal), yaitu dua dan tujuh.
Dua rasa yang
saling berlawanan (bertolak belakang
atau berantonim), tapi selalu datang beriringan. Seperti yang terjadi dalam
diri setiap insan. Setiap langkah perjalanan hidup selalu menghadirkan
suka-duka, pahit-manis, susah-senang dan aneka lawan kata lainnya. Satu tahun
telah berlalu, bulan demi bulan terus berjalan dan hari demi hari terus silih
berganti. Lantas apa yang sudah saya lakukan selama ini? Apa yang telah saya
perbuat? Apa yang sudah saya kontribusikan? Apakah langkah hidupku sudah dalam
koridor yang benar? Ahh, rasanya begitu banyak beraneka macam pertanyaan yang
ingin ditanyakan dalam diriku yang penuh dengan salah dan khilaf ini.
Dibalik dua rasa yang berantonim tadi, juga ada
lagi dua rasa yang selalu bersama-sama. Yaitu Dua rasa yang saling berpasangan. Dua rasa tersebut adalah SYUKUR
dan SABAR. Satu hal yang pasti adalah syukuri manakala mendapat suatu
kebahagiaan atau kenikmatan yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Iya
itulah yang harus selalu lisan ini ucapkan, hati ini rasakan dan perbuatan ini
amalkan dengan penuh kesyukuran kepada-Nya. Alhamdulillah wasyukurillah. Temannya
syukur adalah sabar. Sabar manakala mendapat suatu cobaan dalam hidup,
halangan, rintangan dan problematika hidup lainnya yang terkadang menguras
tenaga da pikiran. Tapi, manakala ada rasa sabar maka akan ada kelapangan dada
dalam menyikapi setiap badai permasalahan yang datang. Sabar bukan berarti
diam, tapi harus sabar yang aktif, sabar yang kreatif dan sabar yang inovatif
dalam menemukan solusi atas problematika tersebut. Ishbiru washobiru
waroobithu.
Tentang pencapaian dalam hidup, apakah hanya
sekedar tumbuh? Atau juga berkembang selama ini? Sungguh sangat rugi jika
selama ini hanya tumbuh saja, bertambah secara usia, bertambah berat badannya
atau bertambah tingginya. Iya, jika hanya itu saja, maka sungguh merugi. Tumbuh
harus dibarengi dengan berkembang secara kualitas. Karena perkembangan berbeda
dengan pertumbuhan, tapi keduanya berjalan seiringan. Perkembangan adalah soal kedewasaan,
kematangan berpikir, ketakwaan yang meningkat dan yang jelas kualitas yang
meningkat. Kualitas diri, kualitas iman, kualitas fikriyah, dan kualitas
ruhiyah kita. Resapi, renungi, hayati dan refleksikan dalam diri dan hati
nurani yang terdalam. Bismillah, laa khaula walaa quwwata illa billah.
Memasuki gerbang ke-27 ini jadi teringat dengan coretan-coretan
lama yang sudah pernah ditulis sebelumnya. Gimana kabar mimpi-mimpiku? Gimana
kabar target dan capaian yang ingin diraih? Tak terasa hampir dua bulan ini
berada di tempat berjuang yang baru. Proses aklimatisasi masih berlangsung. Menganalisis
diri memang perlu banyak perenungan. Belajar, berkarya dan berkontribusi.
Menjadi pembelajar adalah terus mengevaluasi diri, kembangkan dan tingkatkan
terus menerus. Insya Allah tekad itu akan terus menyala, semangat ini akan
terus membara, cerminan diri hari ini pancarkan visi masa depan. Maka, sebagai
pembelajar teruslah “ukur diri” dan “ukir prestasi” untuk meraih 7 asa yang
ingin diraih dalam usia ke-27 ini. Apa saja ketujuh asa tersebut? (Tertulis
dalam buku diariku....hehehe).
Inspirasi tanpa titik. Refleksi tanpa henti. Ganbareba,
zettai dekiru....!! Percayalah semakin banyak amanah, akan menjadikan diri ini
semakin profesional. Semakin banyak kesibukan, menjadikan kita semakin pandai
mengelola waktu. Jadi, teruslah bertumbuh dan berkembang. Pantaskan diri,
mantapkan pribadi untuk menggapai ridho-Nya. Let’s go Kang Amrul....!!! @^,^
Dua
Rasa Tujuh Asa di Usia 27
1. Menikah
2. Lolos Toefl min 475
3. Lolos Beasiswa LPDP-S2
4. Nerbitin buku (solo)
5. Beliin adik laptop baru (√ akhir desember 2017)
6. Traveling ke luar pulau Jawa
7. Memenangkan event kompetisi nasional (√ november
2017)
Jakarta Timur, 27 Agustus 2017