
Mimpi itu sederhana, “simple tapi kompleks” pikirku sembari
mengajak diskusi dengan diriku sendiri. Kombinasi
antara “rencana, usaha, dan hasil” itulah mimpi, definisi menurut otak kiriku.
Kata mulut mimpi itu bukan hanya sekedar mengatakan “aku punya mimpi ingin
menjadi………. meraih prestasi……… atau mendapatkan……….”. Tangan pun tak mau kalah
berargumen, dia berkata “mimpi juga bukan hanya sekedar rangkaian kata yang
tertulis di buku diari, kertas, atau papan saja yang biasanya ditempel dan
dipasang di dalam kamar”. Pena yang sedang bersama tangan pun ikut berkomentar,
“sekali lagi bukan sekedar tulisan belaka” tegas pena. Hati yang menjadi
moderator dalam diskusi ini pun angkat pendapat, “iya, memang betul semua, dan
yang terpenting adalah mimpi itu harus dibarengi dengan tindakan yang nyata,
usaha yang maksimal, ikhtiar yang berkobar dan tentunya juga harus dibarengi
dengan do’a”. Membidik mimpi harus fokus dan serius walaupun banyak sekali
rintangan yang menghadang. Jangan hanya sekedar membidik dan bermimpi saja,
tapi yang terpenting adalah “take action
with your passion and spirite must Go ON to get your dreams” kata hati
mengakhiri perdebatan ini dengan tegas tatkala aku mencanangkan mimpi-mimpiku
ketika pertama kali menjadi mahasiswa di kampus Sang Jenderal berbintang lima,
Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Impianku ketika pertama
kali menyandang gelar status sebagai “mahasiswa” adalah aku ingin menjadi
aktivis kampus, asisten dosen, dan memenangkan lomba karya tulis tingkat
nasional. “Hey Iin, kamu mimpi atau berkhayal?” tanyaku pada diri sendiri.
“Kamu punya bekal apa untuk menjadi aktivis?” tanya hati. “Waktu di SMA saja
kamu hanyalah siswa biasa-biasa saja (tidak ikut PRAMUKA, OSIS, PMR, atau pun
organisasi yang lainnya), masa kamu mau menjadi aktivis?” kata hati sedikit
meremehkan keberanianku. “Apalagi menjadi asisten dosen dan memenangkan
lomba??? Ini namanya khayalan tingkat tinggi, kamu juga tidak punya prestasi
apa-apa ketika SMA. Satu-satunya prestasi ketika SMA hanyalah mendapat predikat
rangking 1 saat semester 1 kelas X-2. Hanya itu saja prestasimu sewaktu SMA
(karena setelah semester 2 dan seterusnya hingga kelas XII tidak ada lagi
sistem rangking dalam rapot), prestasi yang lain pun kamu tidak punya” tegas
hati. Aku tak peduli apa kata hati, yang jelas aku punya keberanian bermimpi
untuk meraih semua impianku itu. Semangatku terus berkobar. “Pasti bisa”
kataku. Mimpi-mimpiku itu aku tanam dalam hati, aku siram dan perkuat dengan
ikhtiar serta sebagian aku tulis dalam kertas yang aku tempel di mading dalam
kamar kosanku.
Semester pertama
merupakan momentum paling penting untuk mewujudkan mimpiku yang pertama, yaitu
menjadi aktivis. Tidak tanggung-tanggung aku memberanikan diri bergabung dengan
3 organisasi sekaligus, yaitu UKMI (organisasi tingkat fakultas), UKKI dan
Racana Soedirman (organisasi tingkat universitas). Semester kedua, aku kembali
bergabung dengan organisasi lain yaitu UPI (organisasi tingkat fakultas) dan
semester 3 aku bergabung dengan IKAHIMBI Jawa 2 (organisasi tingkat
Jateng-DIY). Lengkap sudah aktivitasku. Rasanya
seperti gado-gado, manis asam asin seperti permen nano-nano. Ketika
masih menjadi anggota memang biasa-biasa saja, tapi setelah menjadi pengurus
kesibukanku luar biasa. Tak ada waktu senggang, apalagi tidur siang. Aku
menjadi jarang di kos, kecuali untuk mandi dan istirahat di waktu malam. Harus
bisa manajemen diri, manajemen waktu dan manajemen hati. Harus bisa seimbang
antara akademik (kuliah dan praktikum) dengan aktivitas organisasi. Semester 1
hingga semester 3 merupakan masa-masa kekebalan ekstra tinggi, adaptasi dari
nol hingga menjadi 100 derajat. “Alhamdulillah bisa melewati semua itu” kataku
dengan penuh rasa syukur.
Empat kali empat enam
belas, sempat tidak sempat harus tetap selaras. Semester 4 datang membawa
sejuta peluang. “Iya, inilah saatnya untuk mewujudkan impianku yang kedua yaitu
menjadi asisten” tekadku ketika mengisi KRS semester 4. Peluang pertama gagal
ketika aku mendaftar dan mengikuti semua proses seleksi sebagai asisten SPT
(Struktur Perkembangan Tumbuhan). “Mungkin belum waktunya dan bukan jodohku
menjadi asisten SPT” rintih hatiku menghibur diri. Gagal satu, coba sekali lagi
di tempat lain. Tak perlu menunggu lama lagi, kebetulan waktu itu masih ada
lowongan pendaftaran asisten Mikrobiologi. Akhirnya aku putuskan untuk
mendaftar. Walau secara teori Mikrobiologi itu lebih sulit dibandingkan dengan SPT,
kata teman-temanku. “Wah, kamu berani mendaftar menjadi asisten Mikrobiologi
yang terkenal super ketat dalam seleksinya itu?” kata salah seorang temanku.
“Siapa takut?” jawabku dengan penuh percaya diri, padahal waktu itu harus
bersaingan juga dengan beberapa kakak angkatanku yang juga ikut mendaftar.
Tahap demi tahap aku ikuti seleksi asisten itu dengan penuh antusias. Tibalah
waktu pengumuman itu datang. “Congratulation, selamat bergabung asisten baru
yang lolos seleksi menjadi keluarga asisten Mikrobiologi Fakultas Biologi
Unsoed” tulisan ini tertulis di papan pengumuman depan bapendik dan di bawahnya
tertulis ada 4 orang yang dinyatakan lolos, termasuk namaku juga terpampang di
pengumuman tersebut. “Alhamdulillah wasyukurillah akhirnya diterima juga
menjadi asisten” ucapku dengan penuh rasa syukur. Kini semakin padat
aktivitasku harus bercengkerama dengan kuliah, praktikum, menjadi aktivis dan
asisten Mikrobiologi. Harus semakin pandai mengatur waktu, diri, pikiran, hati,
dan orang lain. Berangkat pagi sebelum mentari terbit, menjadi rutinitas
asisten ketika harus pengamatan maupun rapat asisten. Jam 05.30 sudah nangkring
di laboratorium. Hingga pulang pun ketika rembulan sudah muncul. Pulang jam
22.00 bahkan lebih malam juga sudah terbiasa ketika harus pengamatan malam dan
mempersiapkan kebutuhan praktikum. Rupanya kesibukan asisten Mikrobiologi bisa
dikatakan mengalahkan kesibukan dosen. “Ternyata semakin banyak kesibukan, kita
akan semakin pandai mengatur waktu dan diri kita” pikirku waktu itu.
Dua buah impianku sudah
tercapai. Kesibukanku tiada tara. Kini aku kembali menyiapkan strategi untuk
meraih impianku yang ketiga, yaitu memenangkan sebuah lomba karya tulis tingkat
nasional. “Memang rasanya berat sekali untuk meraih impianku yang ketiga ini”
kata hati agak pesimis dan mengeluh. Aktivitas akademik, aktivis organisasi,
dan asisten saja sudah menyita banyak waktu. Pagi hari kuliah, siang sampai
sore praktikum, malam hari masih di laboratorium sebagai asisten, dan akhir
pekan pun terkadang selalu padat dengan agenda aktivis. “Mana sempat kamu ikut
lomba-lomba?” tanya hati penuh sangsi. “Kan belum dicoba dan belum berusaha?” jawabku
dengan nada meyakinkan diri. Sedikit demi sedikit aku mencoba menyiapkan
strategi agar bisa mengikuti suatu perlombaan tatkala memasuki semester 5.
“Okelah kalau begitu” menjadi jargon semester
5 yang merupakan masa dimana kebangkitanku memuncak. Untuk menuju tingkat
nasional rupanya tak semudah membalikkan telapak tangan, banyak tantangan,
harus banyak belajar, banyak membaca, mencari informasi, dan ternyata harus
memulai dulu dari bawah (tingkat lokal). “Okelah kalau begitu, aku putuskan
memulai dari lomba tingkat lokal dulu” kataku dengan bijak. Setelah berburu
info lomba tingkat fakultas dan universitas, aku tulis informasi lomba tersebut
beserta impianku yang ketiga dan aku pasang di papan dalam kamar kosan.
“Waktunya membidik prestasi dengan lomba” tekadku begitu membara. Aku mencoba
mengikuti lomba menulis surat dengan tema “Aku Cinta Lingkungan” tingkat
Fakultas Biologi Unsoed yang diadakan oleh LPM Bioma. Tiada ku sangka
sebelumnya, pada waktu pengumuman pemenang aku dinyatakan meraih juara 2 dalam
lomba tersebut. “Alhamdulillah luar biasa, ternyata kalau ada kemauan dan niat
yang kuat, usaha dan ikhtiar yang maksimal, Allah pun akan memudahkan
langkah-langkah kita” ucap rasa syukurku penuh haru. Tepat sebulan kemudian aku
kembali mengikuti lomba yaitu Lomba Cerdas Tepat (LCT) Islamic Fair 2010
tingkat Universitas Jenderal Soedirman. Setelah mengikuti babak penyisihan
hingga masuk babak final, aku berhasil menjadi juara 1 dalam perlombaan LCT
ini. Rasa syukur tak henti-hentinya kembali aku lantunkan atas apa yang telah aku
raih ini.
Tak mau berhenti sampai
disini saja, semester 6 pun datang dengan jargon semangatku yang baru yaitu “Zettai Dekiru” (artinya: pasti bisa).
Setelah berhasil meraih prestasi dalam lomba tingkat lokal, kini waktunya
mewujudkan impianku meraih juara lomba di tingkat nasional. “Aku harus berusaha
keras, tidak boleh malas, dan raih dengan tuntas untuk menuju GO nasional”
kata-kataku penuh optimis. Melacak informasi dengan berselancar lewat dunia
maya, akhirnya ketemu juga sebuah lomba karya tulis tingkat nasional yang
diadakan oleh Universitas Airlangga. Setelah menemukan ide yang sesuai dengan
tema, tahap selanjutnya adalah mencari data, referensi, mencari dosen
pembimbing, dan membuat abstrak. Dari 350 abstrak yang masuk ke panitia, hanya diambil
30 abstrak yang lolos seleksi dan berhak menyusunnya menjadi sebuah karya tulis
serta mengikuti grand final presentasi di Universitas Airlangga Surabaya,
begitulah informasi dari panitia yang dikirim lewat email. Tiada aku duga
sebelumnya, abstrakku termasuk dari 30 besar yang lolos itu. Aku pun berangkat
ke Surabaya untuk mengikuti grand final dan mempresentasikan karya tulisku. Ini
merupakan pertama kalinya aku lolos lomba karya tulis tingkat nasional
sekaligus pertama kalinya ke Surabaya. Setelah mengikuti rangkaian acara, presentasi,
tanya jawab, bersaing dengan tim lain dan penjurian oleh dewan juri, kini
tibalah waktunya pengumuman pemenang. “Inilah waktu yang ditunggu-tunggu oleh
para peserta finalis Lomba Karya Tulis Call
for Paper Communication Students Summit UNAIR 2011” kata pembawa acara itu dengan penuh menegangkan. Suasana hening
seketika, menanti suara dan juara yang akan diumumkan oleh sang MC. “Juara
ketiga diraih oleh tim dengan karya tulis berjudul “Optimalisasi
Jejaring Sosial Kayakiye Sebagai Media Untuk Melestarikan Bahasa dan
Budaya Banyumasan” dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto”
suara pembawa acara itu membahana seisi ruangan. Betapa terkejut dan kagetnya
perasaanku. “Itu adalah karyaku, aku mendapatkan juara 3” hatiku seolah-olah
luluh seketika mendengar pengumuman itu. Senang bercampur haru penuh suka cita
terpancar dari wajahku, ditambah lagi dengan ucapan selamat sambil berjabat
tangan dari para peserta lain semakin membuat bahagia ini semakin membara. Impianku
memenangkan lomba karya tulis tingkat nasional akhirnya tercapai juga.
Prestasi juara 3 karya
tulis di Universitas Airlangga tersebut membuatku semakin mantap untuk
menorehkan kembali tinta emas dengan mengikuti lomba-lomba karya tulis
selanjutnya. Selang dua bulan kemudian, aku kembali mengikuti lomba karya tulis
tingkat nasional. Kali ini aku berhasil menjadi finalis Lomba Karya Tulis
Penunjang PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) tahun 2011 di Universitas
Hasanudin Makassar. Aku berangkat dari Purwokerto naik kereta eksekutif menuju
stasiun Gambir Jakarta (ini merupakan pertama kalinya aku naik kereta
eksekutif, biasanya naik kereta ekonomi). Kemudian menuju Bandara
Soekarno-Hatta untuk naik pesawat Batavia Air menuju Bandara Internasional Sultan
Hasannudin Makassar (ini juga merupakan pertama kalinya aku naik pesawat). “Alhamdulillah,
sungguh luar biasa nikmat-Mu ini Ya Robbi” kataku ketika berada di dalam
pesawat. Semangatku terus melaju hingga semester 7 pun aku kembali berhasil menjadi
juara 1 lomba karya tulis tingkat Universitas Jenderal Soedirman dan menjadi
finalis lagi dalam lomba karya tulis tingkat nasional Youth Power 2011 yang diadakan
oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Semester 8 merupakan puncak
prestasiku berkibar, aku kembali mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional
dan berhasil menjadi juara 2 dalam lomba karya tulis ilmiah Konferensi Ilmuan
Muda Indonesia (KIMI) yang diadakan oleh FMIPA Universitas Indonesia. Betapa
riang gembiranya hatiku ini.
Alhamdulillahi
robbil’alamin. Semua bidikan mimpiku akhirnya tercapai juga. Semua ini adalah
atas kehendak-Mu Ya Allah, Ya Rokhman, Ya Rokhim. Begitu agung nikmat-Mu ini.
Syukur alhamdulillah, lantunan rasa syukur ini tak henti-hentinya aku ucapkan. “Jika
ada kemauan dan tekad yang kuat, jika kita mau berusaha keras dengan penuh
sungguh-sungguh pasti Allah akan memudahkan jalan hidup kita” kata hati
nuraniku. Tentunya semua itu diraih tak semudah dengan bermimpi saja. Perlu
waktu. Butuh proses. Bidikan mimpi-mimpiku yang berawal dari coretan-coretan
kecil yang aku tempel di kamar kosan, kini telah membuahkan hasil yang luar
biasa. Kombinasi antara “rencana, usaha, dan hasil” yang dulunya bernama mimpi,
kini benar-benar membuahkan hasil yang sangat mengagumkan. Kalau kita punya
tekad yang kuat jangan lupa juga untuk senantiasa bertawakal, agar mimpi kita
benar-benar menjadi nyata. “Faidza
‘azamta fatawakkal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin ~ Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal” (Q.S. Ali Imran: 159).
Inilah kuncinya untuk meraih sebuah impian. Kini aku kembali membidik
mimpi-mimpi baru dengan anyaman pena yang tajam untuk menyambut masa pasca
lulus S1 nanti yaitu melanjutkan S2, menjadi dosen, membuka lapangan pekerjaan
tentang bidang biologi, dan membangun sebuah komunitas tentang sains berbasis
masyarakat. Bismillah, pasti bisa.