Sunday, 17 March 2013

Membidik Mimpi dengan Anyaman Pena


Mimpi itu sederhana, “simple tapi kompleks” pikirku sembari mengajak diskusi dengan diriku sendiri.  Kombinasi antara “rencana, usaha, dan hasil” itulah mimpi, definisi menurut otak kiriku. Kata mulut mimpi itu bukan hanya sekedar mengatakan “aku punya mimpi ingin menjadi………. meraih prestasi……… atau mendapatkan……….”. Tangan pun tak mau kalah berargumen, dia berkata “mimpi juga bukan hanya sekedar rangkaian kata yang tertulis di buku diari, kertas, atau papan saja yang biasanya ditempel dan dipasang di dalam kamar”. Pena yang sedang bersama tangan pun ikut berkomentar, “sekali lagi bukan sekedar tulisan belaka” tegas pena. Hati yang menjadi moderator dalam diskusi ini pun angkat pendapat, “iya, memang betul semua, dan yang terpenting adalah mimpi itu harus dibarengi dengan tindakan yang nyata, usaha yang maksimal, ikhtiar yang berkobar dan tentunya juga harus dibarengi dengan do’a”. Membidik mimpi harus fokus dan serius walaupun banyak sekali rintangan yang menghadang. Jangan hanya sekedar membidik dan bermimpi saja, tapi yang terpenting adalah “take action with your passion and spirite must Go ON to get your dreams” kata hati mengakhiri perdebatan ini dengan tegas tatkala aku mencanangkan mimpi-mimpiku ketika pertama kali menjadi mahasiswa di kampus Sang Jenderal berbintang lima, Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Impianku ketika pertama kali menyandang gelar status sebagai “mahasiswa” adalah aku ingin menjadi aktivis kampus, asisten dosen, dan memenangkan lomba karya tulis tingkat nasional. “Hey Iin, kamu mimpi atau berkhayal?” tanyaku pada diri sendiri. “Kamu punya bekal apa untuk menjadi aktivis?” tanya hati. “Waktu di SMA saja kamu hanyalah siswa biasa-biasa saja (tidak ikut PRAMUKA, OSIS, PMR, atau pun organisasi yang lainnya), masa kamu mau menjadi aktivis?” kata hati sedikit meremehkan keberanianku. “Apalagi menjadi asisten dosen dan memenangkan lomba??? Ini namanya khayalan tingkat tinggi, kamu juga tidak punya prestasi apa-apa ketika SMA. Satu-satunya prestasi ketika SMA hanyalah mendapat predikat rangking 1 saat semester 1 kelas X-2. Hanya itu saja prestasimu sewaktu SMA (karena setelah semester 2 dan seterusnya hingga kelas XII tidak ada lagi sistem rangking dalam rapot), prestasi yang lain pun kamu tidak punya” tegas hati. Aku tak peduli apa kata hati, yang jelas aku punya keberanian bermimpi untuk meraih semua impianku itu. Semangatku terus berkobar. “Pasti bisa” kataku. Mimpi-mimpiku itu aku tanam dalam hati, aku siram dan perkuat dengan ikhtiar serta sebagian aku tulis dalam kertas yang aku tempel di mading dalam kamar kosanku.

Semester pertama merupakan momentum paling penting untuk mewujudkan mimpiku yang pertama, yaitu menjadi aktivis. Tidak tanggung-tanggung aku memberanikan diri bergabung dengan 3 organisasi sekaligus, yaitu UKMI (organisasi tingkat fakultas), UKKI dan Racana Soedirman (organisasi tingkat universitas). Semester kedua, aku kembali bergabung dengan organisasi lain yaitu UPI (organisasi tingkat fakultas) dan semester 3 aku bergabung dengan IKAHIMBI Jawa 2 (organisasi tingkat Jateng-DIY). Lengkap sudah aktivitasku. Rasanya  seperti gado-gado, manis asam asin seperti permen nano-nano. Ketika masih menjadi anggota memang biasa-biasa saja, tapi setelah menjadi pengurus kesibukanku luar biasa. Tak ada waktu senggang, apalagi tidur siang. Aku menjadi jarang di kos, kecuali untuk mandi dan istirahat di waktu malam. Harus bisa manajemen diri, manajemen waktu dan manajemen hati. Harus bisa seimbang antara akademik (kuliah dan praktikum) dengan aktivitas organisasi. Semester 1 hingga semester 3 merupakan masa-masa kekebalan ekstra tinggi, adaptasi dari nol hingga menjadi 100 derajat. “Alhamdulillah bisa melewati semua itu” kataku dengan penuh rasa syukur.

Empat kali empat enam belas, sempat tidak sempat harus tetap selaras. Semester 4 datang membawa sejuta peluang. “Iya, inilah saatnya untuk mewujudkan impianku yang kedua yaitu menjadi asisten” tekadku ketika mengisi KRS semester 4. Peluang pertama gagal ketika aku mendaftar dan mengikuti semua proses seleksi sebagai asisten SPT (Struktur Perkembangan Tumbuhan). “Mungkin belum waktunya dan bukan jodohku menjadi asisten SPT” rintih hatiku menghibur diri. Gagal satu, coba sekali lagi di tempat lain. Tak perlu menunggu lama lagi, kebetulan waktu itu masih ada lowongan pendaftaran asisten Mikrobiologi. Akhirnya aku putuskan untuk mendaftar. Walau secara teori Mikrobiologi itu lebih sulit dibandingkan dengan SPT, kata teman-temanku. “Wah, kamu berani mendaftar menjadi asisten Mikrobiologi yang terkenal super ketat dalam seleksinya itu?” kata salah seorang temanku. “Siapa takut?” jawabku dengan penuh percaya diri, padahal waktu itu harus bersaingan juga dengan beberapa kakak angkatanku yang juga ikut mendaftar. Tahap demi tahap aku ikuti seleksi asisten itu dengan penuh antusias. Tibalah waktu pengumuman itu datang. “Congratulation, selamat bergabung asisten baru yang lolos seleksi menjadi keluarga asisten Mikrobiologi Fakultas Biologi Unsoed” tulisan ini tertulis di papan pengumuman depan bapendik dan di bawahnya tertulis ada 4 orang yang dinyatakan lolos, termasuk namaku juga terpampang di pengumuman tersebut. “Alhamdulillah wasyukurillah akhirnya diterima juga menjadi asisten” ucapku dengan penuh rasa syukur. Kini semakin padat aktivitasku harus bercengkerama dengan kuliah, praktikum, menjadi aktivis dan asisten Mikrobiologi. Harus semakin pandai mengatur waktu, diri, pikiran, hati, dan orang lain. Berangkat pagi sebelum mentari terbit, menjadi rutinitas asisten ketika harus pengamatan maupun rapat asisten. Jam 05.30 sudah nangkring di laboratorium. Hingga pulang pun ketika rembulan sudah muncul. Pulang jam 22.00 bahkan lebih malam juga sudah terbiasa ketika harus pengamatan malam dan mempersiapkan kebutuhan praktikum. Rupanya kesibukan asisten Mikrobiologi bisa dikatakan mengalahkan kesibukan dosen. “Ternyata semakin banyak kesibukan, kita akan semakin pandai mengatur waktu dan diri kita” pikirku waktu itu.

Dua buah impianku sudah tercapai. Kesibukanku tiada tara. Kini aku kembali menyiapkan strategi untuk meraih impianku yang ketiga, yaitu memenangkan sebuah lomba karya tulis tingkat nasional. “Memang rasanya berat sekali untuk meraih impianku yang ketiga ini” kata hati agak pesimis dan mengeluh. Aktivitas akademik, aktivis organisasi, dan asisten saja sudah menyita banyak waktu. Pagi hari kuliah, siang sampai sore praktikum, malam hari masih di laboratorium sebagai asisten, dan akhir pekan pun terkadang selalu padat dengan agenda aktivis. “Mana sempat kamu ikut lomba-lomba?” tanya hati penuh sangsi. “Kan belum dicoba dan belum berusaha?” jawabku dengan nada meyakinkan diri. Sedikit demi sedikit aku mencoba menyiapkan strategi agar bisa mengikuti suatu perlombaan tatkala memasuki semester 5.

 “Okelah kalau begitu” menjadi jargon semester 5 yang merupakan masa dimana kebangkitanku memuncak. Untuk menuju tingkat nasional rupanya tak semudah membalikkan telapak tangan, banyak tantangan, harus banyak belajar, banyak membaca, mencari informasi, dan ternyata harus memulai dulu dari bawah (tingkat lokal). “Okelah kalau begitu, aku putuskan memulai dari lomba tingkat lokal dulu” kataku dengan bijak. Setelah berburu info lomba tingkat fakultas dan universitas, aku tulis informasi lomba tersebut beserta impianku yang ketiga dan aku pasang di papan dalam kamar kosan. “Waktunya membidik prestasi dengan lomba” tekadku begitu membara. Aku mencoba mengikuti lomba menulis surat dengan tema “Aku Cinta Lingkungan” tingkat Fakultas Biologi Unsoed yang diadakan oleh LPM Bioma. Tiada ku sangka sebelumnya, pada waktu pengumuman pemenang aku dinyatakan meraih juara 2 dalam lomba tersebut. “Alhamdulillah luar biasa, ternyata kalau ada kemauan dan niat yang kuat, usaha dan ikhtiar yang maksimal, Allah pun akan memudahkan langkah-langkah kita” ucap rasa syukurku penuh haru. Tepat sebulan kemudian aku kembali mengikuti lomba yaitu Lomba Cerdas Tepat (LCT) Islamic Fair 2010 tingkat Universitas Jenderal Soedirman. Setelah mengikuti babak penyisihan hingga masuk babak final, aku berhasil menjadi juara 1 dalam perlombaan LCT ini. Rasa syukur tak henti-hentinya kembali aku lantunkan atas apa yang telah aku raih ini.

Tak mau berhenti sampai disini saja, semester 6 pun datang dengan jargon semangatku yang baru yaitu “Zettai Dekiru” (artinya: pasti bisa). Setelah berhasil meraih prestasi dalam lomba tingkat lokal, kini waktunya mewujudkan impianku meraih juara lomba di tingkat nasional. “Aku harus berusaha keras, tidak boleh malas, dan raih dengan tuntas untuk menuju GO nasional” kata-kataku penuh optimis. Melacak informasi dengan berselancar lewat dunia maya, akhirnya ketemu juga sebuah lomba karya tulis tingkat nasional yang diadakan oleh Universitas Airlangga. Setelah menemukan ide yang sesuai dengan tema, tahap selanjutnya adalah mencari data, referensi, mencari dosen pembimbing, dan membuat abstrak. Dari 350 abstrak yang masuk ke panitia, hanya diambil 30 abstrak yang lolos seleksi dan berhak menyusunnya menjadi sebuah karya tulis serta mengikuti grand final presentasi di Universitas Airlangga Surabaya, begitulah informasi dari panitia yang dikirim lewat email. Tiada aku duga sebelumnya, abstrakku termasuk dari 30 besar yang lolos itu. Aku pun berangkat ke Surabaya untuk mengikuti grand final dan mempresentasikan karya tulisku. Ini merupakan pertama kalinya aku lolos lomba karya tulis tingkat nasional sekaligus pertama kalinya ke Surabaya. Setelah mengikuti rangkaian acara, presentasi, tanya jawab, bersaing dengan tim lain dan penjurian oleh dewan juri, kini tibalah waktunya pengumuman pemenang. “Inilah waktu yang ditunggu-tunggu oleh para peserta finalis Lomba Karya Tulis Call for Paper Communication Students Summit UNAIR 2011” kata pembawa acara itu dengan penuh menegangkan. Suasana hening seketika, menanti suara dan juara yang akan diumumkan oleh sang MC. “Juara ketiga diraih  oleh tim dengan  karya tulis berjudul “Optimalisasi Jejaring Sosial Kayakiye Sebagai Media Untuk Melestarikan  Bahasa dan Budaya Banyumasan” dari Universitas  Jenderal Soedirman Purwokerto” suara pembawa acara itu membahana seisi ruangan. Betapa terkejut dan kagetnya perasaanku. “Itu adalah karyaku, aku mendapatkan juara 3” hatiku seolah-olah luluh seketika mendengar pengumuman itu. Senang bercampur haru penuh suka cita terpancar dari wajahku, ditambah lagi dengan ucapan selamat sambil berjabat tangan dari para peserta lain semakin membuat bahagia ini semakin membara. Impianku memenangkan lomba karya tulis tingkat nasional akhirnya tercapai juga.

Prestasi juara 3 karya tulis di Universitas Airlangga tersebut membuatku semakin mantap untuk menorehkan kembali tinta emas dengan mengikuti lomba-lomba karya tulis selanjutnya. Selang dua bulan kemudian, aku kembali mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional. Kali ini aku berhasil menjadi finalis Lomba Karya Tulis Penunjang PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) tahun 2011 di Universitas Hasanudin Makassar. Aku berangkat dari Purwokerto naik kereta eksekutif menuju stasiun Gambir Jakarta (ini merupakan pertama kalinya aku naik kereta eksekutif, biasanya naik kereta ekonomi). Kemudian menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk naik pesawat Batavia Air menuju Bandara Internasional Sultan Hasannudin Makassar (ini juga merupakan pertama kalinya aku naik pesawat). “Alhamdulillah, sungguh luar biasa nikmat-Mu ini Ya Robbi” kataku ketika berada di dalam pesawat. Semangatku terus melaju hingga semester 7 pun aku kembali berhasil menjadi juara 1 lomba karya tulis tingkat Universitas Jenderal Soedirman dan menjadi finalis lagi dalam lomba karya tulis tingkat nasional Youth Power 2011 yang diadakan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Semester 8 merupakan puncak prestasiku berkibar, aku kembali mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional dan berhasil menjadi juara 2 dalam lomba karya tulis ilmiah Konferensi Ilmuan Muda Indonesia (KIMI) yang diadakan oleh FMIPA Universitas Indonesia. Betapa riang gembiranya hatiku ini.

Alhamdulillahi robbil’alamin. Semua bidikan mimpiku akhirnya tercapai juga. Semua ini adalah atas kehendak-Mu Ya Allah, Ya Rokhman, Ya Rokhim. Begitu agung nikmat-Mu ini. Syukur alhamdulillah, lantunan rasa syukur ini tak henti-hentinya aku ucapkan. “Jika ada kemauan dan tekad yang kuat, jika kita mau berusaha keras dengan penuh sungguh-sungguh pasti Allah akan memudahkan jalan hidup kita” kata hati nuraniku. Tentunya semua itu diraih tak semudah dengan bermimpi saja. Perlu waktu. Butuh proses. Bidikan mimpi-mimpiku yang berawal dari coretan-coretan kecil yang aku tempel di kamar kosan, kini telah membuahkan hasil yang luar biasa. Kombinasi antara “rencana, usaha, dan hasil” yang dulunya bernama mimpi, kini benar-benar membuahkan hasil yang sangat mengagumkan. Kalau kita punya tekad yang kuat jangan lupa juga untuk senantiasa bertawakal, agar mimpi kita benar-benar menjadi nyata. “Faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin ~ Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal” (Q.S. Ali Imran: 159). Inilah kuncinya untuk meraih sebuah impian. Kini aku kembali membidik mimpi-mimpi baru dengan anyaman pena yang tajam untuk menyambut masa pasca lulus S1 nanti yaitu melanjutkan S2, menjadi dosen, membuka lapangan pekerjaan tentang bidang biologi, dan membangun sebuah komunitas tentang sains berbasis masyarakat. Bismillah, pasti bisa.

#Tulisan ini sedang diikutkan dalam lomba menulis cerpen impian terbaikku yang diadakan oleh Public Speaking University dengan link tulisan: LMC_Membidik Mimpi dengan Anyaman Pena_In Amullah

4 comments:

L.R.A said...

subhanalloh,,
semangat akh, semoga impiannya terwujud, amin

L.R.A said...

subhanalloh,,
semangat akh, semoga impiannya terwujud,amin

L.R.A said...

subhanalloh,,
semangat akh, semoga impiannya terwujud, amin

Iin Amrullah Aldjaisya said...

Oke.... Aamiin, alhamdulillah sebagian dari impian di atas telah terwujud. Kini tinggal menjemput impian2 selanjutnya