Ada
satu kata yang menjadi kebutuhan mutlak semua orang, yaitu “sehat”. Kehadiran
sehat ibarat pelita yang mampu menerangi kehidupan. Semua aktivitas bisa kita
lakukan kalau kita sehat. Punya harta yang melimpah, mobil mewah, rumah yang
megah dan semua keinginan dapat diraih dengan mudah, tapi kalau tidak sehat
semua itu menjadi seperti fatamorgana, terlihat ada tapi tak ada artinya
lantaran kita tak bisa menikmatinya. Sehat tak bisa dibeli, dijual, atau
diganti dengan bentuk yang lain, karena sehat adalah karunia ilahi. Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kesehatan merupakan kebutuhan semua
orang, kebutuhanku, kebutuhanmu dan kebutuhan kita semua. Karena sehat milik
semua. Akan tetapi sehat masih menjadi sesuatu yang “mahal” bagi sebagian masyarakat,
khususnya kaum dhuafa atau fakir miskin. Hal ini terjadi karena kondisi ekonomi
mereka tak bisa menjangkau mahalnya biaya berobat/periksa di rumah sakit. Kenapa
hal ini terjadi? Padahal pemerintah sudah melakukan program jamkesmas, jamkesda
dan jaminan kesehatan lainnya. Kenapa biaya berobat mahal, padahal
rempah-rempah bahan obat tersedia melimpah ruah di negeri yang kaya ini. Beberapa
waktu yang lalu saya pernah melakukan survey kecil-kecilan lewat facebook,
dengan pertanyaan: "Mengapa biaya berobat/periksa di rumah sakit itu mahal (khususnya di Indonesia)?"
Menurut Sadam Husein Saputra (alumni Kedokteran Unsoed), faktor yang menentukan harga obat tergantung dari apakah menggunakan asuransi (askes, dan lain-lain), mau dijamin oleh pemerintah (jamkesmas, jamkesda, dan lain-lain) atau menggunakan uang pribadi. Jika menggunakan asuransi, obat yang diberikan terbatas tidak semua ditanggung dan dari jaminan pemerintah pun kebanyakan itu obat generik, di luar hal tersebut pasien harus bayar sendiri. Penentuan obat yang diberikan itu tergantung sama dokter yang memberikan dan selalu menanyakan apakah menggunakan suransi, jaminan pemerintah maupun umum. Jadi, sebaiknya cobalah diskusi dengan dokter untuk obat yang diberikan dari efek obat dan harga.
Hal senada juga diungkapkan oleh Nena Fauzia (alumni Kesehatan Masyarakat Unsoed) bahwa untuk warga miskin sebenarnya sudah ada jaminan kesehatan (jamkes) dari pemerintah, tapi karena yang namanya program gratis, tentu tetap ada keterbatasan, salah satunya dari segi obat yg biasanya terbatas pada obat generik. Keterbatasan lain, karena anggaran kesehatan dari APBN masih jauh dari standar, maka jamkespun tidak bisa sepenuhnya mengcover semua warga miskin di Indonesia. Dari sisi penyebaran jamkes, tidak dipungkiri banyak kekeliruan aplikasi karena keterbatasan pemerintah menjangkau seluruh masyarakat Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa (bandingkan dengan Singapura yang layanan kesehatannya terkenal bagus). Di aplikasi, banyak warga menengah ke atas yang dapat jamkes, sedangkan masih banyak warga miskin yang belum dapat, akhirnya masalah tidak tuntas terselesaikan. Warga miskin yang tidak dapat jamkes berteriak di sana-sini dengan mahalnya biaya pengobatan. Itu mungkin karena human error, pendataan & penentuan kriteria miskin masih ambigu sehingga jamkes tidak tepat sasaran.
Menurut Sadam Husein Saputra (alumni Kedokteran Unsoed), faktor yang menentukan harga obat tergantung dari apakah menggunakan asuransi (askes, dan lain-lain), mau dijamin oleh pemerintah (jamkesmas, jamkesda, dan lain-lain) atau menggunakan uang pribadi. Jika menggunakan asuransi, obat yang diberikan terbatas tidak semua ditanggung dan dari jaminan pemerintah pun kebanyakan itu obat generik, di luar hal tersebut pasien harus bayar sendiri. Penentuan obat yang diberikan itu tergantung sama dokter yang memberikan dan selalu menanyakan apakah menggunakan suransi, jaminan pemerintah maupun umum. Jadi, sebaiknya cobalah diskusi dengan dokter untuk obat yang diberikan dari efek obat dan harga.
Hal senada juga diungkapkan oleh Nena Fauzia (alumni Kesehatan Masyarakat Unsoed) bahwa untuk warga miskin sebenarnya sudah ada jaminan kesehatan (jamkes) dari pemerintah, tapi karena yang namanya program gratis, tentu tetap ada keterbatasan, salah satunya dari segi obat yg biasanya terbatas pada obat generik. Keterbatasan lain, karena anggaran kesehatan dari APBN masih jauh dari standar, maka jamkespun tidak bisa sepenuhnya mengcover semua warga miskin di Indonesia. Dari sisi penyebaran jamkes, tidak dipungkiri banyak kekeliruan aplikasi karena keterbatasan pemerintah menjangkau seluruh masyarakat Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa (bandingkan dengan Singapura yang layanan kesehatannya terkenal bagus). Di aplikasi, banyak warga menengah ke atas yang dapat jamkes, sedangkan masih banyak warga miskin yang belum dapat, akhirnya masalah tidak tuntas terselesaikan. Warga miskin yang tidak dapat jamkes berteriak di sana-sini dengan mahalnya biaya pengobatan. Itu mungkin karena human error, pendataan & penentuan kriteria miskin masih ambigu sehingga jamkes tidak tepat sasaran.
Lebih lanjut Nena menambahkan bahwa dari
segi rumah sakit, mereka juga sebenarnya melayani peserta jamkes sebagaimana
mestinya. Hanya saja, klaim biaya pengeluaran oleh rumah sakit untuk 'nomboki'
para peserta jamkes yang tidak bisa dibilang sedikit itu prosesnya lama. Ada sebuah
rumah sakit di Banyumas yang dulu (sekitar 1-2 tahun yang lalu) menyatakan bahwa
pemerintah masih berhutang pada rumah sakit itu
sekitar 1 miliar terkait klaim jamkes. Padahal yang menggratiskan itu sebenarnya
pemerintah, bukan rumah sakit. Tapi ketika rumah sakit mengklaim tombokkannya ternyata
prosesnya lama. Mau tidak mau, mungkin ini mempengaruhi psikologi para tenaga
rumah sakit sendiri ketika memberikan pelayanan pada pasien, terutama mereka yang
termasuk peserta jamkes. Di rumah sakit juga sebenarnya sudah ada mekanisme
subsidi silang. Jadi pemasukan yang besar dari kelas VVIP, VIP, dan seterusnya
dapat menutup pemasukan yang kecil dari kelas 3 misalnya. Tapi yang namanya
masyarakat, ketika sakit pasti inginnya disembuhkan dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan dengan sistem kelas seperti itu, pastilah ada perbedaan pelayanan
antara kelas VVIP sampai kelas 3. Akhirnya kadang ada yang menuntut naik kelas,
tapi berteriak dengan mahalnya biaya. Sebenarnya mekanisme kelas seperti ini ada
baiknya dari segi subsidi silang itu, tapi menjadi kurang baik ketika
masyarakat kurang mampu merasa disepelekan akibat kualitas pelayanan yang
berbeda dari kelas di atasnya. Sempat ada usulan untuk menyamaratakan kelas
pelayanan bagi pasien, tapi kurang tahu sudah ada rumah sakit yang menerapkan
atau belum.
Kalau kembali ke pertanyaan kenapa biaya
rumah sakit mahal? Ya, memang tidak dipungkiri layanan kesehatan juga butuh
modal untuk beli obat, alat periksa (bukan cuma stetoskop dan sejenisnya yang
murah-murah itu, tapi juga alat CT Scan, MRI, rontgen yang harganya bisa
selangit). Masalahnya adakah yang bisa menjamin untuk mensubsidi biaya itu dengan
tepat? Sedangkan pemerintah menganggarkan APBN saja sangat sedikit. Padahal
itupun sekian besar persennya sudah dicurahkan untuk kuratif (subsidi biaya
pengobatan). Untuk anggaran kesehatan preventif (pencegahan)? Lebih mengenaskan
lagi. Padahal pencegahan penyakit juga tidak bisa disepelekan. Bukankah kalau
kita sukses mencegah berarti kita tidak perlu sakit dan berobat? Ya, meskipun
kemungkinan sakit/celaka karena takdir Allah juga selalu ada, sehingga anggaran
untuk kuratif juga tetap penting.
Memang banyak faktor yang menyebabkan biaya
berobat/periksa di rumah sakit masih sangat mahal, khususnya bagi kaum dhuafa
atau fakir miskin. Padahal mereka juga butuh untuk hidup yang sehat walafiat. Terlepas
dari minimnya alokasi anggaran kesehatan dari APBN (kurang dari 3%), yang
berdampak pada penyebaran jamkes yang kurang merata dan tidak tepat sasaran, masalah
utama yang perlu diperhatikan adalah ketersediaannya rumah sakit yang murah dan
terjangkau bagi masyarakat ekonomi lemah, khususnya di pedesaan. Jumlah rumah
sakit di Indonesia hanya terdapat di kota-kota besar, masih sangat jarang
bahkan tidak ada rumah sakit besar yang berdiri di pedesaan, padahal warga
masyarakat desa yang sakit dan enggan berobat ke rumah sakit yang letaknya jauh
harus ke kota, butuh biaya ongkos transportasi dari desa ke kota, belum lagi
biaya ubtuk berobat itu sendiri yang dirasa masyarakat masih sangat mahal
karena adanya jamkesmas pun belum tepat sasaran dan masih banyak warga miskin
yang tidak menerima jamkes.
Sederhananya begini, warga yang tinggal
di desa pun sangat membutuhkan adanya rumah sakit desa yang murah, aksesnya
mudah dan biayanya terjangkau. Memang, di desa sudah ada puskesmas (Pusat
Kesehatan Masyarakat), akan tetapi puskesmas hanya bisa mengatasi masalah
penyakit yang ringan, terkendala minimnya sarana prasarana dan kurangnya
sumberdaya tenaga medis yang bertugas. Tapi kalau sakit-sakit berat, tetap saja
masyarakat desa harus pergi ke rumah sakit yang ada di kota. Kapan yah masyarakat desa memiliki rumah sakit
yang murah dan terjangkau dengan kualitas pelayanan prima seperti rumah sakit
elit yang ada di perkotaan? Andai saja saya punya dana yang banyak, saya akan
mendirikan rumah sakit tersebut. Persoalan dana (seperti yang terjadi pada minimnya
anggaran kesehatan di negeri kita) memang selalu menjadi kendala yang
menerjang, apakah hal itu akan terus dibiarkan terjadi? Tapi, masalah kesehatan
bukan tanggung jawab pemerintah saja, tapi aku, kamu dan kita semua pun mempunyai
andil yang besar untuk menciptakan kesehatan yang murah dan terjangkau. Tahun 2014
katanya akan ada program baru dari pemerintah yang bernama JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional) atau nama lainnya SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)
yang dikelola oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Semoga tahun depan BPJS dapat berjalan dengan lancar, sehingga masyarakat bisa menikmati pelayanan kesehatan yang setara (kaya maupun miskin). Apakah dengan adanya BPJS akan menciptakan "sehat yang murah dan terjangkau"? kita lihat saja nanti. Sekali lagi, kesehatan bukan hanya tugas pemerintah saja, akan tetapi aku, kamu, kalian dan kita semua juga memiliki peran serta untuk mewujudkan layanan kesehatan yang terbaik, murah dan terjangkau bagi semua masyarakat. Dengan cara apa? Sesuai dengan kemampuan masing-masing, bisa mencurahkan ide, gagasan atau tips-tips tentang kesehatan lewat tulisan yang diposting di blog atau website masing-masing, jejaring sosial, aksi nyata di lembaga-lembaga kesehatan dan lain sebagainya. Salah satunya seperti yang sudah dilakukan oleh Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhuafa. Semoga akan lahir lagi LKC-LKC yang lainnya untuk mengatasi masalah kesehatan di Indonesia. Let's go, tak action with your passion.
*Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Posting Blog "Sehat Milik Semua" yang diselenggarakan oleh LKC Dompet Dhuafa dan BLOGdetik.
*Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Posting Blog "Sehat Milik Semua" yang diselenggarakan oleh LKC Dompet Dhuafa dan BLOGdetik.
0 comments:
Post a Comment