Thursday, 30 March 2017

Meneladani “Ayah Bangsa” Bernama Buya Hamka

Cover Buku "Ayah... Kisah Buya Hamka"

Dibalik keluarga yang hebat, ada sosok ayah tangguh yang menjadi aktor utamanya. Kepemimpinan ayah selaku imam rumah tangga menjadi garda terdepan dalam membangun keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Ayah dan ibu merupakan madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Ayah sebagai kepala sekolahnya dan ibu sebagai gurunya. Keberhasilan pembelajaran di rumah tersebut tergantung pimpinannya, yaitu ayah. Selain itu, ayah juga merupakan ayah pejuang, kharismatik, cerdik, bersahaja, berjiwa besar dan pemimpin bagi masyarakat sekitarnya. Jiwa patriot dan kegigihannya memegang tauhid mengantarkan sosok ayah ini juga menjadi “ayah bangsa” yang patut menjadi teladan bagi generasi muda Indonesia. Ketahuilah, sosok teladan ayah bangsa ini bernama Buya Hamka.  

Tokoh kharismatik yang memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini lebih akrab dikenal dengan sebutan “Buya Hamka”. Beliau merupakan pribadi yang multitalenta. Ketokohan beliau bukan hanya dikenal sebagai ulama besar, melainkan juga sebagai sastrawan, budayawan, politisi, cendikiawan, pejuang dan pemimpin umat. Keteladanan hidup beliau dimulai dari membangun pondasi terkecil, yaitu keluarganya. Beliau menjadi sosok panutan bagi istri dan anak-anaknya. Hal itulah yang sangat dirasakan oleh Irfan Hamka (anak kelima Buya Hamka) yang dipaparkan sangat gamblang dalam bukunya yang berjudul “Ayah.... Kisah Buya Hamka”. Melalui buku tersebut, Irfan menceritakan serangkaian kisah ayahnya tersebut yang dikenangnya sejak Irfan berusia 5 tahun (1948, saat agresi II) hingga Buya Hamka wafat (24 Juli 1981).

Buku yang berbentuk novel biografi ini ditulis dengan gaya bahasa menarik, mudah dipahami dan sarat akan nasihat yang bisa kita jadikan teladan dalam kehidupan sekarang ini. Bagian pertama bercerita tentang tiga nasihat Buya Hamka, yaitu nasihat bagi rumah tangga, nasihat bagi tetangga dan nasihat untuk pembohong. Walaupun kejadian kisah tersebut sudah lampau terjadinya, namun ketiga nasihat tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini. Dalam keluarga, Buya Hamka juga menjadi sosok ayah teladan bagi kedua belas putra-putrinya, menjadi guru mengaji, guru silat (bela diri) hingga menjadi suami yang bijak. Akhlak Buya Hamka tercermin juga dalam diri akhlak Hajah Siti Raham Rasul (istrinya) yang cinta silaturahim dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Buya Hamka merupakan tokoh Indonesia pertama yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar. Beliau termasuk manusia pembelajar sejati, rajin membaca buku dan tekun dalam menulis. Dunia literasi sangat melekat dalam karakter pribadi beliau. Meski tidak tamat pendidikan formal, kegigihan semangat belajar Buya Hamka tak pernah pudar. Belajar secara otodidak ditekuninya dengan banyak membaca buku. Lalu belajar dengan tokoh dan ulama baik saat di Sumatera, Jawa hingga sampai ke Mekkah, Saudia Arabia. Kecintaannya beliau dalam menulis menghasilkan puluhan bahkan ratusan karya tulis baik dalam bentuk majalah, surat kabar hingga buku. Selain itu, ada lagi karya paling fenomenalnya yaitu tafsir Al-Qur’an 30 juz yang diberi nama Tafsir Al-Azhar yang dibuatnya saat beliau dalam penjara karena difitnah.

            Dalam buku ini juga diceritakan tentang kisah Buya Hamka berdamai dengan jin, kisah Si Kuning (kucing kesayangan beliau yang selalu mengikutinya), perjalanan haji ke Mekkah dengan Kapal Mae Abeto, perjalanan maut saat berada di Saudi Arabia, hasil karya dan beberapa kisah hingga kejadian wafatnya Buya Hamka. Semua itu penuh dengan hikmah dan nasihat.


*Resensi ini diikutsertakan dalam Literasi Award 2017 yang diadakan oleh BAZNAS dengan Republika.

0 comments: