Thursday, 11 April 2019

Guru 24 Jam



Guru adalah arsitek peradaban. Begitulah salah satu pepatah penting yang melekat pada sang pembangun insan cendekia ini. Keberhasilan seorang guru adalah ketika telah berhasil memberikan hati dan kepribadiannya dalam mendidik siswa-siswinya. Tapi, sudahkah menjadi guru yang terbaik bagi peserta didik? Karena tugas seorang guru bukan hanya sekedar mengajar materi dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’. Mendidik karakter, membimbing dengan penuh kasih sayang, dan membina peserta didik dengan penuh ketulusan juga merupakan tugas dari seorang guru. Karena menjadi guru itu butuh tekad, ketulusan hati dan komitmen yang tinggi dalam membimbing para peserta didiknya.

Peran guru juga tidak hanya sebagai pengajar di kelas, tapi guru juga memiliki banyak peran dalam mengemban amanahnya. Guru tidak hanya menjadi pendidik bagi anak didiknya, tapi guru juga harus bisa berperan sebagai orangtua, motivator, inspirator, konsultan, hingga sahabat bagi peserta didiknya. Guru harus menjadi insan pembelajar yang multitalenta dalam menjalankan tugasnya tersebut. Sosok yang cerdas intelektual, cerdas spiritual dan cerdas sosial yang menjadi teladan bagi peserta didiknya. Itulah nilai-nilai dan spirit keguruan yang aku dapatkan selama mengikuti Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. Mulai dari masa karantina asrama hingga penempatan di pelosok daerah terpencil.

Seusai penempatan SGI di Halmahera Utara (2014-2015), aku melanjutkan kiprah sebagai pendidik di SMA Plus Liwaul Furqon Bogor (2015-2017). Sekolah ini merupakan sekolah berbasis boarding school (sekolah berasrama) seperti pesantren. Ini adalah pengalamanku mengajar di SMA berbasis boarding school. Sekolah yang memiliki motto School of Moslem Leaders ini memfokuskan siswa-siswanya dengan tahfidz Qur’an, pengembangan bahasa, IT dan pengembangan karakter Islami. Selain itu, sekolah ini juga baru berdiri 3 tahun saat pertama kali aku bergabung dengan sekolah tersebut. Hal ini menjadi tantangan sekaligus perjuangan bagiku untuk mengembangkan sekolah yang baru meluluskan 1 angkatan tersebut.
Aku harus beradaptasi dengan tempat tugasku yang baru ini. Selain mendapatkan amanah sebagai guru Biologi dan guru PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup), aku juga menjadi wali kelas XII, pembina eskul KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), dan musyrif di asrama. Bisa dibilang tugasku selama 24 jam dalam mendidik para siswa. Tugasku bersama guru yang lain adalah mendidik siswa untuk hidup disiplin, bersih, mandiri dan mengembangkan jiwa leadershipnya. Mulai dari pagi hingga sore pembelajaran formal di sekolah, setelah itu habis maghrib hingga isya adalah pembelajaran diniyah. Badha isya belajar tentatif hingga pukul 21.00. Setelah itu siswa harus masuk asrama untuk istirahat. Pagi hari sekitar jam 03.30 anak-anak dibangunkan oleh musyrif atau petugas guru piket sesuai jadwal masing-masing. Guru yang tinggal di sekolah ini juga mendapat piket untuk membangunkan siswa dan mengarahkan untuk pergi ke masjid.

Sekilas Tentang Asramaku

Sekolahku tempat bertugas ini sangat asri dan sejuk. Setiap pagi rasanya dingin dan tenang. Pagi yang penuh dengan inspirasi. Aku duduk di balik asrama yang dikelilingi areal lingkungan yang hijau dan asri. Mau tahu suasana tempat tinggalku di sekolah ini? Begini gambarannya. Saat aku membuka jendela samping tampak terlihat bukit-bukit berjajar. Sawah membentang persis di depan asramaku ini. Celoteh aneka burung bersaut-sautan menyambut mentari yang mulai menampakkan wajahnya.  Beraneka jenis aves (burung) tersebut membentuk paduan suara yang elok nan merdu. Tak mau ketinggalan, para vokalis satwa lain pun saling berunjuk gigi dengan suara merdunya masing-masing. Jangkrik dan keluarga belalang mendominasi dalam penampilannya sebagai vokalis kedua. Sesekali kodok pun masih ada beberapa yang ikut menampilkan suaranya.

Foto: Asrama guru dan asrama siswa SMA Plus Liwaul Furqon

            Malam telah berlalu. Kunang-kunang malam yang berkerlap-kerlip di sekitar asramaku ini pun sedang istirahat. Bergatian tugas. Jenis fauna nokturnal lain pun sudah tak ada lagi. Mereka yang bertugas shift malam sudah berpamitan untuk istirahat. Kini saatnya pasukan shift pagi, siang hingga sore yang giliran bertugas. Tak hanya itu saja. Saat aku membuka pintu depan asramaku langsung tampak gagah perkasa bukit yang menjulang tinggi itu. Areal perkebunan yang luas dan rindang masih kelihatan merunduk dan terdiam sunyi. Tetesan embun masih menempel di balik dedaunan yang siap untuk berfotosintesis pagi ini. Di depan asrama ini pula sekumpulan pisces bersungut alias “ikan lele” tampak berlarian di empang kecil yang bersampingan dengan taman yang persis berada di depan asramaku ini. Sepertinya mereka pun sudah tahu kalau gelap telah berganti terang.

            Saat membuka pintu belakang asramaku, tampak gemericik sungai kecil (selokan) mengalir. Walau arusnya kecil, tapi pasukan H2O (air) tersebut secara istiqomah berjalan menuju areal persawahan yang ada di sebelah kanan asramaku. Sepertinya semua xylem (jaringan pada akar) yang dimiliki tumbuhan-tumbuhan itu menyambut dengan baik kedatangan segerombolan H2O tersebut. Setelah mengaliri semua areal persawahan tersebut. Jika kita telusuri hingga paling ujung akan bermuara ke sungai besar. Di sungai itulah batas wilayah komplek sekolah. Kalau kita mendongak ke atas sebelah kiri tampak terlihat gedung sekolah. Disitulah pusatnya pendidikan dan pembelajaran dilakukan. Setelah sarapan, anak-anak segera berangkat ke sekolah untuk apel pagi.

            Demikianlah deskripsi singkat tentang sekolahku yang berada di lahan yang memiliki luas sekitar 4,5 hektar. Sekolah yang dikelilingi dengan areal persawahan, perkebunan dan sungai besar. Di bagian atas terdapat gedung sekolah, masjid dan sarana olahraga. Sementara di bagian bawah terdapat asrama guru, asrama siswa, tempat makan, dapur, dan areal persawahan. Tempat tinggalku persis bersebelahan dengan asrama siswa kelas XII. Oleh karena itu, aku diamanahi sebagai wali kelas sekaligus wali asrama kelas XII. Selain menjalankan tugas tersebut, aku juga menemani siswa keluar asrama seperti ketika siswa mau belanja atau membeli keperluan keluar. Ketika ada siswa yang sakit pun aku harus mengantarkan siswa tersebut periksa ke rumah sakit atau klinik terdekat.

Kehadiran adalah Energi

Karena sekolahku berbasis boarding school, selama 24 jam siswa berada komplek sekolah ini. Termasuk aku juga sebagai gurunya harus mendampingi mereka selama 24 jam. Siswa dikasih waktu setiap dua minggu sekali boleh keluar asrama saat hari Minggu dari jam 07.00 hingga 15.00. Adapun untuk kepulangan hanya setiap liburan UTS, libur UAS dan libur panjang setelah kenaikan kelas. Ada juga pulang khusus diperbolehkan saat ada acara keluarga atau kepentingan yang mendesak. Selain waktu-waktu tersebut siswa harus berada di sekolah. Adapun orangtua boleh menjenguk setiap hari Minggu.

Khusus untuk kelas X saat 2 bulan pertama adalah masa basis pendidikan dasar asrama. Selama masa tersebut orangtua tidak boleh menjenguk maupun berkomunikasi langsung dengan anaknya. Orangtua jika ingin menanyakan anaknya hanya bisa lewat wali kelas. Hal ini bertujuan untuk melatih kemandirian dan adaptasi siswa saat tinggal di asrama. Setelah lewat 2 bulan masa basis tersebut, orangtua akan diundang ke sekolah untuk menghadiri acara parenting sekaligus penyampaian laporan perkembangan anaknya selama masa basis tersebut. Pada saat moment inilah, terjadi moment yang paling berkesan antara orangtua dengan anaknya setelah 2 bulan tidak bertemu dengan anaknya.

Pada saat moment parenting dan penutupan masa basis ini terjadi pertunjukan yang sangat menyentuh hati. Tentang sebuah pertemuan yang mempertautkan hati-hati yang saling merindu. Karena pertemuan yang mengobati rasa kangen setelah sekian lama tak bersua. Ah, pertemuan dan kehadiran memang anugerah terindah bagi mereka setelah 2 bulan berpisah.  Dalam hal apa pun, situasi, kondisi dan setiap kegiatan "kehadiran" adalah energi. Kehadiran adalah kekuatan. Kehadiran adalah bahagia yang tiada duanya. Bahkan kehadiran pun bisa memberi kekuatan magis. Karena kehadiran orang tua bagi anaknya adalah energi yang mampu membuat simpul tawa bahagia bagi anaknya. Rasanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Foto: Pertemuan orangtua dengan anaknya saat penutupan masa basis

Tak terasa air mataku ini pun ikut menetes saat menyaksikan kejadiann tersebut. Isak haru pun menghiasi seisi ruangan dan suasana lapangan gedung ini. Bahagia rasanya, setelah sekian lama tak berjumpa. Bahagia yang tiada tara, pertemuan seorang anak dengan ayah dan bundanya. Bahagia yang membuatku ikut menitikkan air mata bahagia. Hari ini pun aku merasa sangat bahagia. Bahagia akan memilih sebuah pilihan sebagai guru. Walau sedih, tapi kehadiran itu ternyata memang dahsyat. Walau hanya diam, tertawa dan berinteraksi tapi kehadiran adalah bahagia yang dirindukan.

Guru Bahagia. Orangtua Bahagia. Anak Bahagia. Siswa Bahagia. Karena hari ini adalah hari bahagia. Bagi siswa yang hari ini orangtuanya berhalangan hadir, jangan bersedih ya nak. Kita para guru disini semoga bisa menjadi orangtua kedua bagi kalian, meski rasa bahagia itu pasti berbeda dengan bertemu langsung dengan orangtua sendiri. Seperti dalam foto di atas, anak-anak yang orangtuanya berhalangan hadir dirangkul oleh para guru. Mereka yang berhalangan hadir biasanya yang berasal dari luar Jawa atau mungkin karena sedang sakit sehingga tidak bisa hadir dalam acara ini. Semoga kehadiran kami (para guru) bisa mengobati kerinduan kalian.

Menjadi Orangtua dan Sahabat Bagi Siswa

            Selama bertugas di sekolah ini aku banyak mendapat pelajaran berharga. Tidak hanya soal belajar mengajar di kelas, tapi aku juga mendapatkan ilmu baru tentang pengasuhan, kedisiplinan dan profesionalitas dalam bekerja. Karena sehari-hari selama 24 jam aku bertemu mereka maka keakraban aku dengan mereka pun sangat erat. Saat pembelajaran di kelas aku berperan sebagai guru yang mengajar dan mendidik mereka tentang pelajaran biologi dan PLH. Sore hingga malam aku menjadi orangtua bagi siswa, wali asuh, serta sahabat tempat curhat bareng mereka. Dari mulai membangunkan mereka, mengarahkan mereka ke masjid, menyuruh mereka untuk mandi, mengingatkan untuk sarapan, mengkondisikan untuk berangkat sekolah hingga mengkondisikan mereka untuk tidur saat malam hari adalah rutinitasku bersama mereka.

            Saat liburan pada hari Minggu, aku berolahraga bareng mereka. Setelah sarapan bagi siswa yang tidak keluar asrama maka seharian mereka berada di area sekolah atau asrama. Terkadang anak-anak minta masak bareng seperti membuat seblak. Hal ini menambah erat antara aku dengan mereka. Family time-ku bersama mereka. Persiapan bareng. Beli bahan, iris-iris, racik, dan dimasak bersama. Eksperimen masak pun berakhir dengan hidangan seblak yang siap disantap. Waktunya makan seblak rame-rame. Karena bersama-sama itulah yang melahirkan kebersamaan. Pedasnya seblak bikin perut bergelora. Keakraban antara aku dengan mereka pun semakin terjalin erat layaknya seperti hubungan orangtua dengan anaknya.

Ada tawa, ada ceria. Dibalik sebuah senyuman, ada kesan yang menawan. Seperti cinta yang tak bisa diekspresikan dengan kata, tapi hanya bisa dirasakan oleh hati. Balutan rasa bahagia bercampur haru penuh makna. Itulah untaian rasa yang tergores saat bersama-sama. Kebersamaan lahirkan sejuta kekuatan.  Apa pun kondisinya, bersama-sama itu hadirkan kesan yang mendalam. Seperti saat boutram (makan bareng dengan alas pakai daun) bersama mereka. Apa pun makanannya, apa pun lauknya jika dimakan bersama itu rasanya pasti enak, hehe. Entah mau senampan bersama atau sedaun bersama, rasanya penuh kenikmatan tiada tara. Ada banyak makna yang bisa kita petik saat boutram ini. Mulai dari persiapan bahan, bagi-bagi tugas, saling gotong royong saat masak nasi, bikin sambal, hingga bikin api buat bakar ayam hingga persiapan lainnya.

Foto: makan seblak bersama setelah memasak bersama-sama

Apa yang tergambar dalam foto di atas adalah ekspresi rasa setelah melewati proses panjang tadi. Betapa pentingnya sebuah proses. Dari persiapan dan kerjasama butuh kekompakkan dan gotong royong. Manisnya hasil terasa setelah melewati proses perjuangan. Betapa pentingnya arti sebuah kebersamaan. Lahirkan cinta dan kerinduan yang tak ternilai harganya. Sebuah kebersamaan antara guru dan para siswanya. Antara ustadz dengan para santrinya. Sebuah moment yang tak terlupakan. Sebuah pelajaran berharga tentang merajut cinta dan mengikat makna yang terjalin antara guru dan siswanya saat hari liburan.

Menjadi Problem Solver

Selain menjadi orangtua dan sahabat bagi siswa, tugasku sebagai wali kelas dan wali asrama harus bisa menjadi problem solver saat ada siswa yang bermasalah. Salah satu contoh kasus yang aku tangani adalah saat menangani siswa yang ketahuan membawa HP dan rokok, sampai kasus siswa kabur dari asrama. Apa pun masalahnya, pasti ada solusi. Problem siswa adalah ujian buat guru dan orangtua. Bukan fokus ke masalahnya. Bukan pula menghakimi sepihak, ke siswanya. Terkadang judgmen (meski kecil) juga berefek negatif. Butuh memahami dari hati ke hati. Butuh pendekatan khusus  kepada anak saat ada masalah yang menimpanya. Ngobrol dengan baik dan santun. Karena kalau kita keras, maka anak cenderung akan tertutup dan menutup diri.

Bagi pendidik, menguasai pedagogik saja tak cukup. Harus punya kepekaan hati, mengasah ketajaman nurani, dan yg terpenting punya iman yg kokoh. Punya empati, dan tak kalah penting lagi memahami psikologi. Derasnya hujan kemarin sore pun terkalahkan oleh derasnya perasaan yang saling berkecamuk diantara hati-hati yg sedang bertaut itu. Untaian rasa yang saling berbicara dalam bahasa hati antara siswa, orangtua, guru sekaligus wali kelas, wakasek beserta yayasan.

Aku sendiri selaku wali kelas tak sanggup untuk menyampaikan langsung kepada siswaku ini. Oleh karenanya dalam menyelesaikan masalah kali ini aku meminta yayasan langsung yang menyampaikan kepada anaknya. Kenapa yayasan? Karena beliau juga BK (Bimbingan Konseling) dan sangat ahli dalam psikologi. Hasil rundingan sebelumnya antara aku, wakasek dan yayasan memutuskan untuk menyampaikan langsung perkara tersebut kepada anaknya yang disaksikan bersama kedua orangtuanya. Kalau diceritain disini tentu akan sangat panjang jalan ceritanya.

Oke, singkat saja. Sehari sebelumnya aku sudah menghubungi kedua orangtua siswa tersebut. Keduanya bisa datang. Strateginya kami (aku, wakasek dan yayasan) bertemu dulu dengan kedua orangtuanya. Kita berlima ngobrol bersama. Poin penting yang disampaikan oleh yayasan adalah menghadirkan peran orang tua dalam mendidik anaknya. Bukan dengan marah-marah, tapi dengan rangkulan. Karena anak butuh dirangkul dan didampingi oleh kedua orangtuanya. Ketika ada anak bermasalah, dan ingin menyelesaikan problem tersebut, "jangan marah!". Itulah kesimpulan yang bisa diambil atas problem solving kasus anak yang cukup menguras energi selama sebulan ini.

Menjadi detektif, psikolog hingga jenderal dan tentunya belajar menjadi orang tua. Tak mudah memang, dunia remaja dan ABG memang tak luput dari problematika yang complicated. Aku jadi teringat dengan pesan Ayah Edy dalam bukunya yang berjudul "Menjawab Problematika Orangtua ABG dan Remaja". Beliau mengatakan: jangan marah! Ya, ingat selalu: jangan MARAH. Mengapa orang tua tidak boleh marah saat anaknya bermasalah? Karena marah hanya akan membuat anak jadi tertutup. Bila ia sudah tertutup, kita takkan tahu sejauh mana tentang masalah tersebut sebenarnya. Teknik kedua menurut Ayah Edy, buat anak terbuka pada kita dengan menceritakan kisah kita sendiri atau biasa disebut dengan teknik PACING (menyamakan).

Hari ini aku baru nyadar, ternyata yang dilakukan Umi Is (ketua yayasan) juga seperti itu. Jangan marah! Pendekatan dari hati ke hati. Aku belajar banyak dari Umi Is yang juga merupakan psikolog. Dan aku pun baru nyadar kalau upaya yang telah dilakukan Umi Is, kepsek dan aku juga selama ini adalah dengan teknik PACING juga. Owh, itulah kenapa orang tua (ayah ibu) diminta datang hari ini. Sekali lagi arti kehadiran sangatlah berarti. Hadir memberi energi, memantulkan spirit dan bagian dari sebuah perhatian.

Aku belajar banyak dari kasus ini. Belajar menjadi guru, wali kelas dan orang tua. Belajar menjadi psikolog, jenderal, detektif dan problem solver. Kita boleh lelah, tapi jangan pernah menyerah dan jangan pernah putus asa ketika ditimpa masalah. Kalau melihat latar belakang anak spesial ini, banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Berlatar belakang suram sewaktu SMP-nya, bergaul dengan anak punk dan terjerumus dunia jalanan. Ijazah SMPnya pun paket B. Tapi sekarang perkembangannya cukup drastis, sudah hafal 2,5 juz. Walau dia masih minder, kurang pede, merasa tidak bisa mengikuti pelajaran dan hafalan. Sikapnya yang cenderung introvert (tertutup), tapi punya jiwa sosial yang tinggi. Itulah potensinya. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.

Gara-gara HP, dia berbohong. Ketahuan merokok lewat telusuri Facebooknya. Tapi dia tidak mau mengakuinya. Sampai akhirnya dia kabur dari asrama dan meninggalkan sepucuk surat.
"Sorry semuanya, gw pergi dulu untuk beberapa hari, untuk menyelesaikan masalah ini. Entah dikeluarin apa gak! Gue lagi mau sendiri dulu. Jaga diri luh baik-baik. Jangan luh kangen gue. Gue bukan sahabat luh yang bisa nerima apa adanya!!! " begitu ujarnya dalam selembar kertas yang ditinggalkan di kamar asramanya.

Hampir 3 hari gak ada kabar, ditelepon HP-nya aktif tapi tidak diangkat. Disms tidak dibales. Orang tuanya tentu panik. Aku pun terus berkoordinasi dengan orang tuanya. Dia sekarang dimana? Makannya gimana? Tidurnya dimana? Pertanyaan yang dirasakan oleh orang tuanya. Setelah hampir 5 hari gak ada kabar. Dia pulang ke rumah. Hanya beberapa jam saja, makan, dan mandi lalu pergi lagi, cerita ibunya. Dia kabur lagi. Entah kemana? Ayahnya marah sekali. Tapi akhirnya setelah 7 hari dia kabur, akhirnya dia kembali ke sekolah lagi. Aku mengundang kedua orangtuanya lagi untuk menyelesaikan masalah ini bersama-sama. Akhirnya setelah ditelusuri kronologisnya, dan dimusyawarahkan bersama menghasilkan titik terang penyelesaian yang tepat.

Demikianlah cerita singkat perjalananku menjadi guru 24 jam di SMA Plus Liwaul Furqon. Guru yang sehari-hari selama 24 jam berada di sekolah dan tinggal di asrama sekolah tersebut. Sebenarnya masih banyak cerita menarik lainnya baik suka maupun duka selama berjuang di sekolah ini. Semua kisah yang aku alami tersebut banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Sebagai guru memang harus terus belajar, refleksi diri dan senantiasa meningkatkan kualitas diri. Bahagialah menjadi guru, karena setiap langkahnya menjadi amal yang mulia. Bangga jadi guru. Guru berkarakter, menggenggam Indonesia.



0 comments: