Guru adalah arsitek peradaban. Begitulah
salah satu pepatah penting yang melekat pada sang pembangun insan cendekia ini.
Keberhasilan seorang guru adalah ketika telah berhasil memberikan hati dan
kepribadiannya dalam mendidik siswa-siswinya. Tapi, sudahkah menjadi guru yang
terbaik bagi peserta didik? Karena tugas seorang guru bukan hanya sekedar
mengajar materi dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’. Mendidik karakter, membimbing
dengan penuh kasih sayang, dan membina peserta didik dengan penuh ketulusan
juga merupakan tugas dari seorang guru. Karena menjadi guru itu butuh tekad,
ketulusan hati dan komitmen yang tinggi dalam membimbing para peserta didiknya.
Peran guru juga tidak hanya sebagai
pengajar di kelas, tapi guru juga memiliki banyak peran dalam mengemban
amanahnya. Guru tidak hanya menjadi pendidik bagi anak didiknya, tapi guru juga
harus bisa berperan sebagai orangtua, motivator, inspirator, konsultan, hingga
sahabat bagi peserta didiknya. Guru harus menjadi insan pembelajar yang
multitalenta dalam menjalankan tugasnya tersebut. Sosok yang cerdas
intelektual, cerdas spiritual dan cerdas sosial yang menjadi teladan bagi
peserta didiknya. Itulah nilai-nilai dan spirit keguruan yang aku dapatkan
selama mengikuti Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. Mulai dari masa
karantina asrama hingga penempatan di pelosok daerah terpencil.
Seusai penempatan SGI di Halmahera Utara
(2014-2015), aku melanjutkan kiprah sebagai pendidik di SMA Plus Liwaul Furqon
Bogor (2015-2017). Sekolah ini merupakan sekolah berbasis boarding school (sekolah berasrama) seperti pesantren. Ini adalah
pengalamanku mengajar di SMA berbasis boarding
school. Sekolah yang memiliki motto School
of Moslem Leaders ini memfokuskan siswa-siswanya dengan tahfidz Qur’an,
pengembangan bahasa, IT dan pengembangan karakter Islami. Selain itu, sekolah
ini juga baru berdiri 3 tahun saat pertama kali aku bergabung dengan sekolah
tersebut. Hal ini menjadi tantangan sekaligus perjuangan bagiku untuk
mengembangkan sekolah yang baru meluluskan 1 angkatan tersebut.
Aku harus beradaptasi dengan tempat
tugasku yang baru ini. Selain mendapatkan amanah sebagai guru Biologi dan guru PLH
(Pendidikan Lingkungan Hidup), aku juga menjadi wali kelas XII, pembina eskul
KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), dan musyrif di asrama. Bisa dibilang tugasku
selama 24 jam dalam mendidik para siswa. Tugasku bersama guru yang lain adalah
mendidik siswa untuk hidup disiplin, bersih, mandiri dan mengembangkan jiwa
leadershipnya. Mulai dari pagi hingga sore pembelajaran formal di sekolah,
setelah itu habis maghrib hingga isya adalah pembelajaran diniyah. Badha isya
belajar tentatif hingga pukul 21.00. Setelah itu siswa harus masuk asrama untuk
istirahat. Pagi hari sekitar jam 03.30 anak-anak dibangunkan oleh musyrif atau
petugas guru piket sesuai jadwal masing-masing. Guru yang tinggal di sekolah
ini juga mendapat piket untuk membangunkan siswa dan mengarahkan untuk pergi ke
masjid.
Sekilas Tentang Asramaku
Sekolahku
tempat bertugas ini sangat asri dan sejuk. Setiap pagi rasanya dingin dan
tenang. Pagi yang penuh dengan inspirasi. Aku duduk di balik asrama yang
dikelilingi areal lingkungan yang hijau dan asri. Mau tahu suasana tempat
tinggalku di sekolah ini? Begini gambarannya. Saat aku membuka jendela samping
tampak terlihat bukit-bukit berjajar. Sawah membentang persis di depan asramaku
ini. Celoteh aneka burung bersaut-sautan menyambut mentari yang mulai
menampakkan wajahnya. Beraneka jenis
aves (burung) tersebut membentuk paduan suara yang elok nan merdu. Tak mau
ketinggalan, para vokalis satwa lain pun saling berunjuk gigi dengan suara
merdunya masing-masing. Jangkrik dan keluarga belalang mendominasi dalam
penampilannya sebagai vokalis kedua. Sesekali kodok pun masih ada beberapa yang
ikut menampilkan suaranya.
Foto:
Asrama guru dan asrama siswa SMA Plus Liwaul Furqon
Malam telah berlalu. Kunang-kunang
malam yang berkerlap-kerlip di sekitar asramaku ini pun sedang istirahat.
Bergatian tugas. Jenis fauna nokturnal lain pun sudah tak ada lagi. Mereka yang
bertugas shift malam sudah berpamitan untuk istirahat. Kini saatnya pasukan
shift pagi, siang hingga sore yang giliran bertugas. Tak hanya itu saja. Saat
aku membuka pintu depan asramaku langsung tampak gagah perkasa bukit yang
menjulang tinggi itu. Areal perkebunan yang luas dan rindang masih kelihatan
merunduk dan terdiam sunyi. Tetesan embun masih menempel di balik dedaunan yang
siap untuk berfotosintesis pagi ini. Di depan asrama ini pula sekumpulan pisces
bersungut alias “ikan lele” tampak berlarian di empang kecil yang bersampingan
dengan taman yang persis berada di depan asramaku ini. Sepertinya mereka pun
sudah tahu kalau gelap telah berganti terang.
Saat membuka pintu belakang
asramaku, tampak gemericik sungai kecil (selokan) mengalir. Walau arusnya
kecil, tapi pasukan H2O (air) tersebut secara istiqomah berjalan
menuju areal persawahan yang ada di sebelah kanan asramaku. Sepertinya semua xylem
(jaringan pada akar) yang dimiliki tumbuhan-tumbuhan itu menyambut dengan baik
kedatangan segerombolan H2O tersebut. Setelah mengaliri semua areal
persawahan tersebut. Jika kita telusuri hingga paling ujung akan bermuara ke
sungai besar. Di sungai itulah batas wilayah komplek sekolah. Kalau kita
mendongak ke atas sebelah kiri tampak terlihat gedung sekolah. Disitulah
pusatnya pendidikan dan pembelajaran dilakukan. Setelah sarapan, anak-anak
segera berangkat ke sekolah untuk apel pagi.
Demikianlah deskripsi singkat
tentang sekolahku yang berada di lahan yang memiliki luas sekitar 4,5 hektar. Sekolah
yang dikelilingi dengan areal persawahan, perkebunan dan sungai besar. Di
bagian atas terdapat gedung sekolah, masjid dan sarana olahraga. Sementara di
bagian bawah terdapat asrama guru, asrama siswa, tempat makan, dapur, dan areal
persawahan. Tempat tinggalku persis bersebelahan dengan asrama siswa kelas XII.
Oleh karena itu, aku diamanahi sebagai wali kelas sekaligus wali asrama kelas
XII. Selain menjalankan tugas tersebut, aku juga menemani siswa keluar asrama
seperti ketika siswa mau belanja atau membeli keperluan keluar. Ketika ada
siswa yang sakit pun aku harus mengantarkan siswa tersebut periksa ke rumah
sakit atau klinik terdekat.
Kehadiran adalah
Energi
Karena sekolahku berbasis boarding school, selama 24 jam
siswa berada komplek sekolah ini. Termasuk aku juga sebagai gurunya harus
mendampingi mereka selama 24 jam. Siswa dikasih waktu setiap dua minggu sekali
boleh keluar asrama saat hari Minggu dari jam 07.00 hingga 15.00. Adapun untuk
kepulangan hanya setiap liburan UTS, libur UAS dan libur panjang setelah
kenaikan kelas. Ada juga pulang khusus diperbolehkan saat ada acara keluarga
atau kepentingan yang mendesak. Selain waktu-waktu tersebut siswa harus berada
di sekolah. Adapun orangtua boleh menjenguk setiap hari Minggu.
Khusus untuk kelas X saat 2 bulan pertama adalah masa basis
pendidikan dasar asrama. Selama masa tersebut orangtua tidak boleh menjenguk
maupun berkomunikasi langsung dengan anaknya. Orangtua jika ingin menanyakan
anaknya hanya bisa lewat wali kelas. Hal ini bertujuan untuk melatih
kemandirian dan adaptasi siswa saat tinggal di asrama. Setelah lewat 2 bulan
masa basis tersebut, orangtua akan diundang ke sekolah untuk menghadiri acara
parenting sekaligus penyampaian laporan perkembangan anaknya selama masa basis
tersebut. Pada saat moment inilah, terjadi moment yang paling berkesan antara orangtua
dengan anaknya setelah 2 bulan tidak bertemu dengan anaknya.
Pada saat moment parenting dan penutupan masa basis ini
terjadi pertunjukan yang sangat menyentuh hati. Tentang sebuah pertemuan yang
mempertautkan hati-hati yang saling merindu. Karena pertemuan yang mengobati
rasa kangen setelah sekian lama tak bersua. Ah, pertemuan dan kehadiran memang
anugerah terindah bagi mereka setelah 2 bulan berpisah. Dalam hal apa
pun, situasi, kondisi dan setiap kegiatan
"kehadiran" adalah energi. Kehadiran adalah kekuatan. Kehadiran
adalah bahagia yang tiada duanya. Bahkan kehadiran pun bisa memberi kekuatan
magis. Karena kehadiran orang tua bagi anaknya adalah energi yang mampu membuat
simpul tawa bahagia bagi anaknya. Rasanya tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata.
Foto: Pertemuan
orangtua dengan anaknya saat penutupan masa basis
Tak terasa air
mataku ini pun ikut menetes saat menyaksikan kejadiann tersebut. Isak haru pun
menghiasi seisi ruangan dan suasana lapangan gedung ini. Bahagia rasanya,
setelah sekian lama tak berjumpa. Bahagia yang tiada tara, pertemuan seorang
anak dengan ayah dan bundanya. Bahagia yang membuatku ikut menitikkan air mata
bahagia. Hari ini pun aku merasa sangat bahagia. Bahagia akan memilih
sebuah pilihan sebagai guru. Walau sedih, tapi kehadiran itu ternyata memang
dahsyat. Walau hanya diam, tertawa dan berinteraksi tapi kehadiran adalah
bahagia yang dirindukan.
Guru Bahagia.
Orangtua Bahagia. Anak Bahagia. Siswa Bahagia. Karena hari ini adalah hari
bahagia. Bagi siswa yang hari ini orangtuanya berhalangan hadir, jangan
bersedih ya nak. Kita para guru disini semoga bisa menjadi orangtua kedua bagi
kalian, meski rasa bahagia itu pasti berbeda dengan bertemu langsung dengan orangtua
sendiri. Seperti dalam foto di atas, anak-anak yang orangtuanya berhalangan
hadir dirangkul oleh para guru. Mereka yang berhalangan hadir biasanya yang
berasal dari luar Jawa atau mungkin karena sedang sakit sehingga tidak bisa
hadir dalam acara ini. Semoga kehadiran kami (para guru) bisa mengobati
kerinduan kalian.
Menjadi Orangtua
dan Sahabat Bagi Siswa
Selama
bertugas di sekolah ini aku banyak mendapat pelajaran berharga. Tidak hanya
soal belajar mengajar di kelas, tapi aku juga mendapatkan ilmu baru tentang
pengasuhan, kedisiplinan dan profesionalitas dalam bekerja. Karena sehari-hari
selama 24 jam aku bertemu mereka maka keakraban aku dengan mereka pun sangat
erat. Saat pembelajaran di kelas aku berperan sebagai guru yang mengajar dan
mendidik mereka tentang pelajaran biologi dan PLH. Sore hingga malam aku
menjadi orangtua bagi siswa, wali asuh, serta sahabat tempat curhat bareng
mereka. Dari mulai membangunkan mereka, mengarahkan mereka ke masjid, menyuruh
mereka untuk mandi, mengingatkan untuk sarapan, mengkondisikan untuk berangkat
sekolah hingga mengkondisikan mereka untuk tidur saat malam hari adalah
rutinitasku bersama mereka.
Saat liburan
pada hari Minggu, aku berolahraga bareng mereka. Setelah sarapan bagi siswa
yang tidak keluar asrama maka seharian mereka berada di area sekolah atau
asrama. Terkadang anak-anak minta masak bareng seperti membuat seblak. Hal ini
menambah erat antara aku dengan mereka. Family time-ku bersama mereka.
Persiapan bareng. Beli bahan, iris-iris, racik, dan dimasak bersama. Eksperimen
masak pun berakhir dengan hidangan seblak yang siap disantap. Waktunya makan
seblak rame-rame. Karena bersama-sama itulah yang melahirkan kebersamaan.
Pedasnya seblak bikin perut bergelora. Keakraban antara aku dengan mereka pun
semakin terjalin erat layaknya seperti hubungan orangtua dengan anaknya.
Ada tawa, ada ceria. Dibalik sebuah senyuman, ada kesan yang
menawan. Seperti cinta yang tak bisa diekspresikan dengan kata, tapi hanya bisa
dirasakan oleh hati. Balutan rasa bahagia bercampur haru penuh makna. Itulah
untaian rasa yang tergores saat bersama-sama. Kebersamaan lahirkan sejuta
kekuatan. Apa pun
kondisinya, bersama-sama itu hadirkan kesan yang mendalam. Seperti saat boutram (makan bareng dengan alas pakai daun) bersama mereka. Apa pun
makanannya, apa pun lauknya jika dimakan bersama itu rasanya pasti enak, hehe.
Entah mau senampan bersama atau sedaun bersama, rasanya penuh kenikmatan tiada
tara. Ada banyak makna yang bisa kita petik saat boutram ini. Mulai dari persiapan bahan, bagi-bagi tugas, saling
gotong royong saat masak nasi, bikin sambal, hingga bikin api buat bakar ayam
hingga persiapan lainnya.
Foto: makan seblak bersama setelah memasak bersama-sama
Apa yang tergambar
dalam foto di atas adalah ekspresi rasa setelah melewati proses panjang tadi.
Betapa pentingnya sebuah proses. Dari persiapan dan kerjasama butuh kekompakkan
dan gotong royong. Manisnya hasil terasa setelah melewati proses perjuangan.
Betapa pentingnya arti sebuah kebersamaan. Lahirkan cinta dan kerinduan yang
tak ternilai harganya. Sebuah kebersamaan antara guru dan para siswanya.
Antara ustadz dengan para santrinya. Sebuah moment yang tak terlupakan. Sebuah
pelajaran berharga tentang merajut cinta dan mengikat makna yang terjalin
antara guru dan siswanya saat hari liburan.
Menjadi Problem Solver
Selain menjadi orangtua dan sahabat bagi siswa, tugasku sebagai wali
kelas dan wali asrama harus bisa menjadi problem solver saat ada siswa yang
bermasalah. Salah satu contoh kasus yang aku tangani adalah saat menangani
siswa yang ketahuan membawa HP dan rokok, sampai kasus siswa kabur dari asrama.
Apa pun masalahnya, pasti ada solusi. Problem siswa adalah ujian buat guru dan
orangtua. Bukan fokus ke masalahnya. Bukan pula menghakimi sepihak, ke
siswanya. Terkadang judgmen (meski kecil) juga berefek negatif. Butuh memahami
dari hati ke hati. Butuh pendekatan khusus
kepada anak saat ada masalah yang menimpanya. Ngobrol dengan baik dan
santun. Karena kalau kita keras, maka anak cenderung akan tertutup dan menutup
diri.
Bagi pendidik, menguasai pedagogik saja tak cukup. Harus punya kepekaan
hati, mengasah ketajaman nurani, dan yg terpenting punya iman yg kokoh. Punya
empati, dan tak kalah penting lagi memahami psikologi. Derasnya hujan kemarin
sore pun terkalahkan oleh derasnya perasaan yang saling berkecamuk diantara
hati-hati yg sedang bertaut itu. Untaian rasa yang saling berbicara dalam
bahasa hati antara siswa, orangtua, guru sekaligus wali kelas, wakasek beserta
yayasan.
Aku sendiri selaku wali kelas tak sanggup untuk menyampaikan langsung
kepada siswaku ini. Oleh karenanya dalam menyelesaikan masalah kali ini aku
meminta yayasan langsung yang menyampaikan kepada anaknya. Kenapa yayasan?
Karena beliau juga BK (Bimbingan Konseling) dan sangat ahli dalam psikologi.
Hasil rundingan sebelumnya antara aku, wakasek dan yayasan memutuskan untuk
menyampaikan langsung perkara tersebut kepada anaknya yang disaksikan bersama
kedua orangtuanya. Kalau diceritain disini tentu akan sangat panjang jalan
ceritanya.
Oke, singkat saja. Sehari sebelumnya aku sudah menghubungi kedua
orangtua siswa tersebut. Keduanya bisa datang. Strateginya kami (aku, wakasek
dan yayasan) bertemu dulu dengan kedua orangtuanya. Kita berlima ngobrol
bersama. Poin penting yang disampaikan oleh yayasan adalah menghadirkan peran
orang tua dalam mendidik anaknya. Bukan dengan marah-marah, tapi dengan
rangkulan. Karena anak butuh dirangkul dan didampingi oleh kedua orangtuanya.
Ketika ada anak bermasalah, dan ingin menyelesaikan problem tersebut,
"jangan marah!". Itulah kesimpulan yang bisa diambil atas problem
solving kasus anak yang cukup menguras energi selama sebulan ini.
Menjadi detektif, psikolog hingga jenderal dan tentunya belajar menjadi
orang tua. Tak mudah memang, dunia remaja dan ABG memang tak luput dari
problematika yang complicated. Aku
jadi teringat dengan pesan Ayah Edy dalam bukunya yang berjudul "Menjawab
Problematika Orangtua ABG dan Remaja". Beliau mengatakan: jangan marah!
Ya, ingat selalu: jangan MARAH. Mengapa orang tua tidak boleh marah saat
anaknya bermasalah? Karena marah hanya akan membuat anak jadi tertutup. Bila ia
sudah tertutup, kita takkan tahu sejauh mana tentang masalah tersebut
sebenarnya. Teknik kedua menurut Ayah Edy, buat anak terbuka pada kita dengan
menceritakan kisah kita sendiri atau biasa disebut dengan teknik PACING
(menyamakan).
Hari ini aku baru nyadar, ternyata yang dilakukan Umi Is (ketua yayasan)
juga seperti itu. Jangan marah! Pendekatan dari hati ke hati. Aku belajar
banyak dari Umi Is yang juga merupakan psikolog. Dan aku pun baru nyadar kalau
upaya yang telah dilakukan Umi Is, kepsek dan aku juga selama ini adalah dengan
teknik PACING juga. Owh, itulah kenapa orang tua (ayah ibu) diminta datang hari
ini. Sekali lagi arti kehadiran sangatlah berarti. Hadir memberi energi,
memantulkan spirit dan bagian dari sebuah perhatian.
Aku belajar banyak dari kasus ini. Belajar menjadi guru, wali kelas dan
orang tua. Belajar menjadi psikolog, jenderal, detektif dan problem solver. Kita
boleh lelah, tapi jangan pernah menyerah dan jangan pernah putus asa ketika
ditimpa masalah. Kalau melihat latar belakang anak spesial ini, banyak sekali
hikmah yang bisa diambil. Berlatar belakang suram sewaktu SMP-nya, bergaul
dengan anak punk dan terjerumus dunia jalanan. Ijazah SMPnya pun paket B. Tapi
sekarang perkembangannya cukup drastis, sudah hafal 2,5 juz. Walau dia masih
minder, kurang pede, merasa tidak bisa mengikuti pelajaran dan hafalan.
Sikapnya yang cenderung introvert (tertutup), tapi punya jiwa sosial yang
tinggi. Itulah potensinya. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.
Gara-gara HP, dia berbohong. Ketahuan merokok lewat telusuri
Facebooknya. Tapi dia tidak mau mengakuinya. Sampai akhirnya dia kabur dari
asrama dan meninggalkan sepucuk surat.
"Sorry semuanya, gw pergi dulu untuk beberapa hari, untuk menyelesaikan masalah ini. Entah dikeluarin apa gak! Gue lagi mau sendiri dulu. Jaga diri luh baik-baik. Jangan luh kangen gue. Gue bukan sahabat luh yang bisa nerima apa adanya!!! " begitu ujarnya dalam selembar kertas yang ditinggalkan di kamar asramanya.
"Sorry semuanya, gw pergi dulu untuk beberapa hari, untuk menyelesaikan masalah ini. Entah dikeluarin apa gak! Gue lagi mau sendiri dulu. Jaga diri luh baik-baik. Jangan luh kangen gue. Gue bukan sahabat luh yang bisa nerima apa adanya!!! " begitu ujarnya dalam selembar kertas yang ditinggalkan di kamar asramanya.
Hampir 3 hari gak ada kabar, ditelepon HP-nya aktif tapi tidak diangkat.
Disms tidak dibales. Orang tuanya tentu panik. Aku pun terus berkoordinasi
dengan orang tuanya. Dia sekarang dimana? Makannya gimana? Tidurnya dimana? Pertanyaan
yang dirasakan oleh orang tuanya. Setelah hampir 5 hari gak ada kabar. Dia
pulang ke rumah. Hanya beberapa jam saja, makan, dan mandi lalu pergi lagi,
cerita ibunya. Dia kabur lagi. Entah kemana? Ayahnya marah sekali. Tapi
akhirnya setelah 7 hari dia kabur, akhirnya dia kembali ke sekolah lagi. Aku
mengundang kedua orangtuanya lagi untuk menyelesaikan masalah ini bersama-sama.
Akhirnya setelah ditelusuri kronologisnya, dan dimusyawarahkan bersama
menghasilkan titik terang penyelesaian yang tepat.
Demikianlah cerita singkat perjalananku menjadi guru 24 jam di SMA Plus
Liwaul Furqon. Guru yang sehari-hari selama 24 jam berada di sekolah dan
tinggal di asrama sekolah tersebut. Sebenarnya masih banyak cerita menarik
lainnya baik suka maupun duka selama berjuang di sekolah ini. Semua kisah yang
aku alami tersebut banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Sebagai guru
memang harus terus belajar, refleksi diri dan senantiasa meningkatkan kualitas
diri. Bahagialah menjadi guru, karena setiap langkahnya menjadi amal yang
mulia. Bangga jadi guru. Guru berkarakter, menggenggam Indonesia.
0 comments:
Post a Comment