Welcome Reader

Selamat Datang di blognya Kang Amroelz (Iin Amrullah Aldjaisya)

Menulis itu sehangat secangkir kopi

Hidup punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan.Menulis adalah salah satu cara untuk menebar kebaikan, berbagi inspirasi, dan menyebar motivasi kepada orang lain. So, menulislah!

Sepasang Kuntum Motivasi

Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan (Nasihat Kiai Rais, dalam Novel Rantau 1 Muara - karya Ahmad Fuadi)

Berawal dari selembar mimpi

#Karena mimpi itu energi. Teruslah bermimpi yang tinggi, raih yang terbaik. Jangan lupa sediakan juga senjatanya: “berikhtiar, bersabar, dan bersyukur”. Dimanapun berada.

Hadapi masalah dengan bijak

Kun 'aaliman takun 'aarifan. Ketahuilah lebih banyak, maka akan menjadi lebih bijak. Karena setiap masalah punya solusi. Dibalik satu kesulitan, ada dua kemudahan.

Saturday, 19 July 2014

Pulau Tobo-tobo diantara Dua Biru




Aku termenung di atas katinting. Dalam benakku terngiang nyanyian Izzis, salah satu grup nasyid asal Yogyakarta. “Ribuan langkah kau tapaki. Pelosok negeri kau sambangi. Tanpa kenal lelah jemu. Sampaikan firman Tuhanmu”. Motor laut yang yang hanya bisa ditumpangi 5 orang ini bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti arah ombak berdawai. Semburan air yang terseret ombak kerap kali menyambar. Ombak demi ombak saling bertabrakan menghiasi perjalanan penting ini. Satu tujuan, mengantarkan sepucuk surat undangan. Dari Pulau Dagasuli menuju Pulau Tobo-Tobo. Kurang lebih butuh waktu 1 jam perjalanan di atas lautan lepas.

            Diantara dua biru, aku duduk menulis goresan rasa yang tak menentu ini. Dua biru yang saling bertemu. Birunya langit yang menyilaukan. Birunya laut begitu menentramkan. Dua biru yang saling melengkapi.  Ibarat sepasang suami-istri. Dua biru yang membuatku terpana akan keindahan ciptaan-Nya. Subhanallah, ternyata aku sedang berada di tengah-tengah lautan lepas yang terletak diantara dua biru tersebut. Ternyata, betapa kecilnya diri ini berada di tengah-tengah samudera. Dua biru yang menari-nari di atas fatamorgana. Burung camar terlihat bertengger di atas bebukitan yang dikelilingi mangrove-mangrove penyelamat abrasi. Ku lihat akar pohon Rhizopora begitu kokoh menjaga lautan yang indah megah ini.

            Laut yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik ini memang asyik untuk kita nikmati perjalanannya. Terasa berjalan di atas akuarium raksasa. Karena lautnya sangat jernih. Karang-karang terlihat sangat jelas dengan mata telanjang. Aneka satwa laut ikut menghiasi wajah diantara dua biru ini. Sebiru hari ini, birunya bagai langit terang benderang. Birunya seperti laut yang tenang lagi berombak merdu. Sebiru hari ini seperti kaos biru dan celana hitam motif biru yang sedang aku pakai ini. Diantara dua biru, seperti berjalan di atas permadani. Desiran angin terasa menggetarkan adrenalin tatkala pasukan ombak besar menabrak bahu katinting. Dari kejauhan, Pulau Tobo-tobo tampak terlihat seperti pulau yang terapung di atas lautan lepas.

            Untaian ombak rupanya semakin membumbung tinggi yang menyebabkan katinting ini bergoyang tanpa henti. Lagu Seroja terdengar mendayu-dayu dari balik HP Pak Muda yang sedang tertidur didepanku ini. Beliau sangat santai dan tidur pulas, padahal berada di atas katinting yang lagi-lagi bergoyang ke kanan-kiri lantaran terpaan ombak. Lagu seroja tersebut membuat suasana semakin haru membiru diantara dua biru. Semakin ke tengah birunya laut semakin biru pekat, pertanda laut tersebut sangat dalam sekali. Untaian awan yang berkoloni seakan-akan membentuk display diantara dua biru tersebut. Diantara dua biru ini aku termenung di atas goresan pena. Diantara dua biru ini, aku mentadaburi alam. Bertafakur dengan penuh syukur. Khidmat. Dua biru yang luasnya terbentang tak terbatas. Hingga mata ini pun tak mampu memandang dimanakah batas pertemuan dua biru tersebut?

            Badha tasbih, tahmid dan takbir tak henti-hentinya aku lantunkan dalam perjalanan di atas katinting ini. Apalagi sesampainya di Pulau Tobo-tobo. Pulau yang terapung di atas lautan ini memang memiliki daya tarik yang menawan hati. Rasa was-was yang sempat menggelayuti saat ombak besar menabrak katinting, seperti hilang seketika  melihat keindahan pulau yang berada di atas lautan ini. Kepala Desa Tobo-tobo menyambut dengan baik kadatanganku mengantarkan sepucuk surat undangan kepada orang nomor 1 Tobo-tobo ini. Itulah perjalananku mengantarkan sebuah undangan kegiatan yang harus melewati dahsyatnya ombak di lautan lepas. Keindahan Pulau Tobo-tobo yang terapung di atas lautan mengobati rasa kekhawatiranku akan ombak yang mengancam.

Boboi vs Demam Piala Dunia



“Ini Halmahera Utara atau Brazil?” pertanyaan ini muncul kala pertama kali aku menginjakkan kaki di Tobelo, 16 Juni 2014. Bendera negara asing berada dimana-mana. Di rumah-rumah, pohon, mobil, kapal dan sepanjang jalan kota Tobelo yang aku lewati penuh dengan bendera negara fans masing-masing. Tapi, “dimana bendera Indonesia?” pikirku. Rupanya euforia piala dunia 2014 mengalahkan suasana pilpres yang tengah digelar di republik ini. Spanduk bakal calon presiden hanya terlihat di beberapa sudut saja, akan tetapi bendera Brazil, Argentina, Jerman, Belanda, Portugal dan sejumlah bendera negara pemain piala dunia terpampang dimana-mana. 

Sore hari, jalanan ibukota Halmahera Utara ini tampak ramai dengan pawai motor sekelompok orang. Awalnya aku mengira mereka adalah pendukung salah satu kandidat capres, ternyata mereka adalah fans pendukung tim samba Brazil dengan kaos berwarna kuning. Keesokan harinya pun tampak sama, rombongan muda mudi salah satu pendukung kesebelasan piala dunia, tim Argentina. Rupanya setiap kali mau ada pertandingan piala dunia, siang harinya digelar pawai keliling kota Tobelo. Suasana malam hari tampak lebih semarak tatkala pertandingan bola dimulai. Dimana-dimana ramai digelar acara nonton bersama.

Tak hanya Tobelo, di Loloda Kepulauan tempatku mengabdi menjadi relawan SGI pun tampak sama. Aroma piala dunia terasa di kapal yang saya tumpangi. Bendera negara tim piala dunia berkibar di awak kapal dan di sepanjang pulau yang aku lewati. Mulai dari Salube, Dama, Tuakara, Dagasuli, Dedeta dan Fitako tampak berkibar bendera fans negara masing-masing. Di Salube (Pulai Doi) meski desa ini cukup jauh dari kota tapi disini pun digelar acara nonton bersama dengan layar besar. Pemandangan unik yang aku temui di desa terpencil ini begitu ramai dan antusias. Walau di desa ini listrik hanya ada selama 6 jam (18.00-24.00), tapi mereka menggunakan mesin diesel untuk menonton pertandingan piala dunia 2014.

Lain bapak, lain anak. Jika bapak-bapak dan muda mudi terjangkit demam bola piala dunia, anak-anak desa Salube pun terkena sindrom si kulit bundar bernama bola. Bedanya, kalau anak-anak demam piala dunianya diekspresikan dengan permainan tradisional anak yang bernama “Boboi”. Memang, dunia anak tak lepas dari yang namanya permainan. Jika anak-anak di perkotaan asyik dengan permainan gadget, tapi di desa pesisir pantai ini anak-anak sangat senang dan menikmati bermain boboi. Hampir setiap sore di setiap sudut desa ini ramai anak-anak tampak asyik bermain boboi. Boboi adalah permainan tradisional anak-anak pesisir Loloda Kepulauan. Media yang digunakan dalam permainan ini adalah bola dan beberapa keping potongan tempurung kelapa. Bola dijadikan sebagai alat untuk memukul tumpukkan tempurung kelapa yang dijaga oleh sebuah tim, sementara tim yang melempar bola adalah kelompok yang harus memenangkan permainan ini. Entah apa yang membuat anak-anak sangat asyik dengan permainan ini? Mungkin sama asyiknya dengan demam piala dunia yang sedang dirasakan oleh orang dewasa.

Ikrar Guru Indonesia, di Kaki Gunung Gede Pangrao



Malam yang penuh dengan gemintang. Semua rasa tumpah ruah dalam kebersamaan yang begitu hangat ini. Semilir angin puncak Gunung Gede Pangrango begitu bersahabat di tengah-tengah aneka rasa yang sedang berkecamuk. Api unggun menjadi penghangat suasana yang semakin larut semakin tenang. Satu per satu surat cinta persahabatan kami dibacakan. Tak terasa 4,5 bulan sudah kita bersama. Padatnya agenda selama pembinaan di asrama selalu gayuh bersambut. Orientasi, Military Super Camp, perkuliahan, magang, SHARE (SGI Help and Care) di Garut terasa tak ada jeda. Ditambah 1 minggu menu pembekalan penempatan. Malam ini refreshing sejenak, bertukar rasa, berbagi kesan, dan bertafakur alam sebelum berangkat ke daerah penempatan selama 1 tahun.

Suka duka, canda tawa dan riang gembira. Sahabat, tibalah masanya. Bersua pasti ada berpisah. Bila nanti kita jauh berpisah, jadikan rabithah pengikatnya, dan jadikan do’a ekspresi rindu. Petikan lantunan lagu “Senandung Ukhuwah” memang sangat cocok menggambarkan suasana hati malam ini. Ah, entah rasa apa ini. Mantapkan hati. Bulatkan tekad. Sempurnakan dengan syukur dan tawakal kepada-Nya. Satu tahun ke depan adalah waktu yang akan penuh perjuangan. Mengabdi, mendidik dan berbagi ilmu di Halmahera Utara. Persahabatan 30 pejuang muda SGI VI ini akan dipisahkan oleh jarak dan waktu. Selamat berjuang kawan-kawan tim SGI Dompu-NTB, tim SGI Sambas-Kalimantan Barat, tim SGI Gorontalo, tim SGI Poliwalimandar dan tim SGI-Buton. Kita tunggu cerita-cerita menarik dari kalian. 1 tahun lagi.

“Ikrar Guru Indonesia” tegas Pak Agung. Direktur Sekolah Guru Indonesia ini membacakan ikrar tersebut dengan begitu lantang. Semua pejuang muda SGI VI terdengar membara mengucapkan ikrar ini secara bersama-sama.
Kami guru Indonesia, dengan ini berikrar:
1.      Berjanji menjadi pendidik sejati, teladan yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT
2.      Bertekad bulat mencerdaskan bangsa, berbakti kepada masyarakat dan negara
3.      Ikhlas mengemban amanah umat, menjadi cahaya untuk Indonesia berdaya

Maka, hari ini dan hari-hari ke depan, kami berusaha menjadi teladan, mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, untuk murid kami, untuk sekolah kami, untuk Negara kami dan untuk kehidupan kita bersama

Sunday, 18 May 2014

"Meraih Impian" Bersama Murid Kelas 6




“Apa cita-citamu?” tanyaku kepada anak-anak kelas 6 secara bergantian. “Menjadi guru” jawab Selvi Sufianti. “Kalau saya ingin menjadi dokter pak” jawab Marlisa. “Menjadi chef yang hebat” tambah siswa bernama Gustina Azahra. Rata-rata anak kelas 6 yang saya tanyakan tentang cita-cita, jawabannya adalah guru dan dokter untuk anak perempuan, sedangkan anak-anak lakinya rata-rata menjawab pemain sepakbola. Begitu pertanyaan pembuka yang saya ajukan satu per satu kepada anak kelas 6 dalam Training Motivasi kelas 6 SDN Tegal 01 (Rabu, 30 April 2014). Anak-anak kelas 6 rata-rata kurang memiliki semangat dan rasa percaya diri yang tinggi, itulah alasan diadakan training motivasi tersebut. Selain untuk mengupgrade motivasi, juga untuk memberi semangat belajar anak dan sebagai bekal mereka menghadapi dunia pasca lulus SD nanti.

Cita-cita setinggi langit itu "biasa". Punya cita-cita berguna juga sudah "biasa". Tapi, cita-cita yang yang tak terdengar seperti sebuah cita-cita dan berjuang dengan sepenuh hati untuk mewujudkannya, itu baru luar biasa. Begitu cuplikan kalimat motivasi dalam trailer Film “Cita-citaku Setinggi Tanah” yang saya putar di sela-sela training ini. Karena cita-cita itu bukan hanya untuk ditulis saja, tapi diperjuangkan dengan sepenuh hati, diraih dengan sepenuh tenaga dan daya. Semangat merenda cita, mengukir prestasi dengan iktiar, kerja keras dan didukung dengan do’a kepada Sang Maha Kuasa.


Pada pertemuan sebelumnya, saya juga pernah masuk ke kelas 6 (tanggal 17 April 2014) meminta anak-anak kelas 6 untuk menuliskan karangan tentang cita-cita. Gustina Azahra adalah anak yang paling berbeda cita-citanya dengan yang lainnya. Dia menuliskan cita-citanya adalah Chef. “Cita-cita saya ingin menjadi Chef, karena saya senang memasak, karena menjadi chef itu menyenangkan. Saya juga senang membuat kue, daging bakar, dan lain-lain. Saya bisa memasak karena diajari ibu saya. Saya sekarang baru kelas VI, setelah lulus kelas enam nanti saya ingin meneruskan sekolah sampai sarjana dan menjadi chef yang hebat” papar Gustina dalam tulisan yang dibuatnya.

Berbeda dengan Selvi yang bercita-cita ingin menjadi guru. Dalam karangan yang ditulisnya, Selvi menuturkan alasan yang sangat panjang tentang keinginannya menjadi seorang guru. “Cita-citaku adalah ingin menjadi guru” paparnya di paragraf pertama. Karena aku ingin mengajarkan dan memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak yang belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Jika nanti aku menjadi guru, aku harus menjadi guru yang baik dan kalau sedang mengajar harus sabar dan penyayang kepada murid-muridnya. Karena kalau mengajarnya penuh dengan kesabaran, murid-murid akan senang belajar, tapi kalau kalau kita mengajar dengan emosi yang tinggi, murid-muridnya menjadi takut. Apabila murid menjadi takut, biasanya akan sulit memahami penjelasan guru. Menjadi guru harus sabar, sabar dan sabar” jelasnya dalam tulisan tersebut. “Jika nanti aku berhasil menjadi seorang guru, aku akan mengajarkan dan memberikan ilmu kepada murid-muridku dengan penuh kesabaran, dan sungguh-sungguh sampai muridku menjadi pintar” tambahnya.


Seberapa pun tingginya cita-cita, dia harus diperjuangkan dengan kesungguhan dan kerja keras. Bukan hanya sekedar keinginan belaka, apalagi hanya diucapkan dalam lisan saja. Maka dari itu, cita-cita itu, impian itu, harus dituliskan dalam selembar dua lembar kertas. Itulah yang saya minta kepada semua anak kelas VI untuk menuliskan mimpi dan cita-cita terbaiknya dalam selembar kertas, lalu kertas tersebut ditempel di kamar masing-masing. “Suatu saat nanti, saat 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun hingga 10 tahun lagi saat Bapak bertemu lagi dengan kalian, bawa coretan mimpi kalian yang tertulis di kertas tersebut dan buktikan bahwa mimpi yang tertulis itu benar-benar telah menjadi kenyataan sesuai dengan apa yang kalian dapatkan” pesan pamungkasku mengakhiri acara training tersebut. Langkah utama setelah berani menuliskan mimpi adalah action, usaha, ikhtiar dan melaksanakan apa yang sudah dituliskan tersebut. Jangan lupa diiringi dengan do'a kepada Sang Maha Kuasa. Masih ingat kan, pesan Arai dalam film Laskar pelangi? Pada akhir sesi, ditutup dengan menyanyikan lagu laskar pelangi secara bersama-sama.



Tiga Semprul, Julukan dari Kelas 5



Rasa cemburu itu selalu ada. Itulah yang dirasakan kelas 5. Mereka merasa iri saat kelas 3 dan kelas 4 sudah melakukan kegiatan outing class ke Pusat Sumber Belajar Dompet Dhuafa. Padahal kelas 5 juga sudah ada jadwal tersendiri. Masalah tersebut akhirnya terjawab saat tim magang SDN Tegal 01 mengadakan kegiatan outbond bagi kelas 5. Outbond ini sebenarnya dijadwalkan bagi kelas 3, 4 dan 5 tapi dalam pelaksanaannya baru kelas 5 yang sudah melaksanakan kegiatan tersebut. Alasannya karena saat jadwal kegiatan outbond kelas 3 dan 4 bertabrakan dengan libur tanggal merah dan adanya agenda mendadak dari sekolah.

            Berawal dari outbond tersebut, kedekatan kami (tim magang) dengan kelas 5 menjadi semakin erat. Kehadiran kami serasa menjadi angin segar bagi mereka. Karena selama ini mereka diajarkan oleh seorang guru yang dikenal galak dan keras, sehingga mereka merasa tidak nyaman dengan kondisi kelas seperti itu. Akhirnya, lama kelamaan kedekatan kami bertiga dengan anak-anak kelas 5 selalu penuh dengan canda tawa. Saat jam istirahat atau di luar jam pelajaran, kami sering berinteraksi dengan mereka. Hingga mereka menjuluki kami bertiga dengan “Tiga Semprul” yang mengajar di SDN Tegal 01. Kami bertiga ada yang dijuluki sebagai Gading, Andika dan Narji.

Itulah Kelas 5. Mereka adalah kelas yang unik. Walau yang mengajar kelas 5 adalah pak Heru tapi ketika di luar kelas, kami bertiga juga sangat akrab dengan mereka. Mulai dari bermain games hingga melatih mereka bernyanyi seusai pulang sekolah bersama kami bertiga, tiga semprul yang selalu kompak bersama mereka.

To be continued......