“Ini
Halmahera Utara atau Brazil?” pertanyaan ini muncul kala pertama kali aku
menginjakkan kaki di Tobelo, 16 Juni 2014. Bendera negara asing berada
dimana-mana. Di rumah-rumah, pohon, mobil, kapal dan sepanjang jalan kota
Tobelo yang aku lewati penuh dengan bendera negara fans masing-masing. Tapi,
“dimana bendera Indonesia?” pikirku. Rupanya euforia piala dunia 2014
mengalahkan suasana pilpres yang tengah digelar di republik ini. Spanduk bakal
calon presiden hanya terlihat di beberapa sudut saja, akan tetapi bendera
Brazil, Argentina, Jerman, Belanda, Portugal dan sejumlah bendera negara pemain
piala dunia terpampang dimana-mana.
Sore
hari, jalanan ibukota Halmahera Utara ini tampak ramai dengan pawai motor
sekelompok orang. Awalnya aku mengira mereka adalah pendukung salah satu
kandidat capres, ternyata mereka adalah fans pendukung tim samba Brazil dengan
kaos berwarna kuning. Keesokan harinya pun tampak sama, rombongan muda mudi
salah satu pendukung kesebelasan piala dunia, tim Argentina. Rupanya setiap
kali mau ada pertandingan piala dunia, siang harinya digelar pawai keliling
kota Tobelo. Suasana malam hari tampak lebih semarak tatkala pertandingan bola
dimulai. Dimana-dimana ramai digelar acara nonton bersama.
Tak
hanya Tobelo, di Loloda Kepulauan tempatku mengabdi menjadi relawan SGI pun
tampak sama. Aroma piala dunia terasa di kapal yang saya tumpangi. Bendera
negara tim piala dunia berkibar di awak kapal dan di sepanjang pulau yang aku
lewati. Mulai dari Salube, Dama, Tuakara, Dagasuli, Dedeta dan Fitako tampak
berkibar bendera fans negara masing-masing. Di Salube (Pulai Doi) meski desa
ini cukup jauh dari kota tapi disini pun digelar acara nonton bersama dengan
layar besar. Pemandangan unik yang aku temui di desa terpencil ini begitu ramai
dan antusias. Walau di desa ini listrik hanya ada selama 6 jam (18.00-24.00),
tapi mereka menggunakan mesin diesel untuk menonton pertandingan piala dunia
2014.
Lain
bapak, lain anak. Jika bapak-bapak dan muda mudi terjangkit demam bola piala
dunia, anak-anak desa Salube pun terkena sindrom si kulit bundar bernama bola.
Bedanya, kalau anak-anak demam piala dunianya diekspresikan dengan permainan
tradisional anak yang bernama “Boboi”. Memang, dunia anak tak lepas dari yang
namanya permainan. Jika anak-anak di perkotaan asyik dengan permainan gadget,
tapi di desa pesisir pantai ini anak-anak sangat senang dan menikmati bermain
boboi. Hampir setiap sore di setiap sudut desa ini ramai anak-anak tampak asyik
bermain boboi. Boboi adalah permainan tradisional anak-anak pesisir Loloda
Kepulauan. Media yang digunakan dalam permainan ini adalah bola dan beberapa
keping potongan tempurung kelapa. Bola dijadikan sebagai alat untuk memukul
tumpukkan tempurung kelapa yang dijaga oleh sebuah tim, sementara tim yang
melempar bola adalah kelompok yang harus memenangkan permainan ini. Entah apa
yang membuat anak-anak sangat asyik dengan permainan ini? Mungkin sama asyiknya
dengan demam piala dunia yang sedang dirasakan oleh orang dewasa.
0 comments:
Post a Comment