“Kiprah Dompet Dhuafa seperti ‘menyalip zaman’.
Sosoknya lahir saat banyak orang masih berwacana. Program-programnya menembus
benak, melangkahi batas geografis, dan hinggap di pelosok negeri yang terkecil.
Sunyinya jalan setapak mengetuk relung hikmah. Ada dua ruyakan merembes di
sanubari. Pertama, apakah sentuhan pada mustahik memang signifikan? Kedua, apa
yang sesungguhnya dicari?” (kutipan dari buku DD Way karya Erie Sudewo)
Kutipan
tersebut selaras dengan yang pernah saya alami saat bertugas sebagai relawan
Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. “Kenapa saya ditugaskan di Loloda
Kepulauan ini?”, “Kenapa tidak di tempat lain?, “Apa yang saya cari di pulau
yang tak bersinyal dan tak berlistrik ini? Dan sejumlah pertanyaan lainnya
muncul dalam benak pikiranku saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau
Rempah tersebut. Salah satu misi yang saya lakukan saat itu adalah menebar
kebaikan. Apa yang sudah saya dapatkan selama masa karantina SGI, itulah bekal
dan materi yang akan saya bagikan kepada masyarakat Desa Fitako, Loloda
Kepulauan. Berbagi senyum kebahagiaan kepada mereka, melalui jalan pendidikan.
Menebar ilmu kepada anak-anak, guru dan masyarakat sekitar.
Petikan kalimat di atas memang betul adanya.
Kiprah perjalanan Dompet Dhuafa dalam menebar kebaikan dan berbagi senyum
kebahagiaan kepada masyarakat memang begitu memukau dan menginspirasi banyak
pihak. Dari awal berdirinya hingga memasuki usianya ke-31 tahun ini DompetDhuafa selalu konsisten dan berada di garda terdepan dalam setiap aksi
kemanusiaan. Yang keren dari Dompet
Dhuafa adalah masterpiece programnya yang selalu kreatif, inovatif dan
bermanfaat untuk masyarakat. Tak sekedar memberi materi, tapi memberdayakan
kualitas manusianya. Ratusan "Program Berdayakan Umat" telah dirintis
dan diterapkan Dompet
Dhuafa baik skala lokal, nasional hingga
internasional. Program yang relevan, tepat sasaran dan sangat dibutuhkan oleh
para penerima manfaatnya.
Kini, Dompet Dhuafa bukan hanya sekedar lembaga kemanusiaan semata. Bukan pula sekedar
lembaga zakat, infak dan sedekah semata. Lebih dari itu semua. Lembaga
filantropi ini terus tumbuh dan berkembang dalam membentang kebaikan, dan
memberdayakan umat di berbagai sektor. Jika dianalogikan seperti tumbuhan, Dompet Dhuafa ibarat pohon
yang tinggi menjulang, berbatang besar, berdaun lebat membentuk kanopi raksasa,
rantingnya bercabang banyak dan tumbuh dengan subur menghasilkan jutaan buah
yang kaya manfaat. Akarnya yang kokoh karena dilandasi dengan value-value dan
blue print yang terkonsep dengan sistematis dan terukur. Ranting utamanya yang
terdiri atas ranting ekonomi, ranting kesehatan, ranting pendidikan, ranting sosial, serta ranting dakwah dan budaya tumbuh dengan lebat menghasilkan anak
ranting dan daun yang beraneka ragam. Sebagai
contoh ranting pendidikan melahirkan beberapa program unggulan yaitu Smart
Ekselensia Indonesia (Islamic Leadership Boarding School), Beastudi Indonesia
(BI), Makmal Pendidikan, Komunitas Filantropi Pendidikan, School For Refugees
(SFR), TK & PAUD Pengembangan Insani, Institut Kemandirian, Jampang English
Village, Pusat Belajar Anti Korupsi (PBAK), Sekolah Smart Cibinong (SSC),
Perguruan Islam AlSyukro Universal, Dompet Dhuafa University (DDU), Institut
Manajemen Zakat (IMZ), Sekolah Guru Indonesia (SGI), Kampus Bisnis Umar
Usman. Semua
bidang tersebut telah menghasilkan ratusan
bahkan jutaan alumni (penerima manfaat) dan masing-masing alumni menebarkan
kembali benih-benih kebaikan di seluruh penjuru tanah air.

Dalam tulisan ini, saya akan sedikit menceritakan pengalaman yang
pernah saya alami dari salah satu cabang/ranting pendidikan dari Dompet Dhuafa
tersebut yaitu Sekolah Guru Indonesia (SGI). Berawal dari sinilah saya mengenal lebih dekat dengan Dompet
Dhuafa. SGI yang awalnya bernama Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (SGEI) ini
berdiri lebih awal dibandingkan Indonesia Mengajar (IM) yang dirintis oleh pak
Anis Baswedan maupun SM-3T yang dirintis oleh pemerintah. SGI yang memiliki tagline "awaken the teacher within"
ini telah mengokohkan jiwa para aktivisnya menjadi guru berkarakter. Kami
dikarantina 5 bulan dengan pelatih handal mulai dari pedagogik, sosial,
spiritual, dan profesional. Karantina dan pelatihan selama di asrama yang super
ketat dan super disiplin. Hingga ketahanan mental dan fisik yang dilatih oleh
tentara angkatan darat dalam military SuperCamp di kawasan gunung Salak.
Kepekaan sosial dan kekompakan pun dilatih langsung dengan terjun dan tinggal
bersama masyarakat dhuafa sebulan dalam SGI Help and Care di wilayah Garut,
Jawa Barat. Usai menjalani beragam
program karantina selama 5 bulan tersebut barulah kami diterjunkan ke pelosok
daerah terpencil, terdepan dan terluar Indonesia selama 1 tahun. Waktu itu saya
ditempatkan di Halmahera Utara, Maluku Utara (2014-2015).
Apa yang dilakukan aktivis SGI saat di penempatan? Menjadi guru
transformatif yang mengemban amanah sebagai guru pengajar, guru pendidik dan
guru pemimpin. Tugas kami tidak
hanya mengajar di kelas, tapi juga memberikan pelatihan kepada guru-guru di
sana melalui program lesson study,
training of teacher dan memberdayakan KKG. Iya, guru-guru di daerah 3T juga
harus meningkat kualitasnya. Meski ditempatkan di daerah yang akses terbatas,
sarana dan prasarana yang sangat minim, tantangan geografis yang sulit medannya
dan etnografis yang berbeda, kami harus profesional dalam merancang kelas
menjadi kelas hidup dengan display, pojok baca dan menghidupkan iklim literasi
di sekolah kita tugas. Pembiasan
disiplin kepada guru pun harus ditingkatkan, dimulai dari aktivis SGI tersebut
sebagai role model bagi guru-guru di daerah dan menjadi teladan bagi seluruh
siswa. Peningkatan karakter siswa tidak hanya dilakukan di sekolah, tapi juga
pembiasaan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Menyemai Kejujuran Dalam Tindakan
Rona perjalanan selama
menjadi relawan SGI-DD penuh kesan yang mendalam. Meski harus berhadapan dengan
dengan lautan yang membentang, kesunyian yang mencekam dan lika-liku kehidupan
yang menantang di Loloda Kepulauan. Alhamdulillah, semua proses itu saya
lakukan dengan penuh tekad membara. Pengalaman yang sangat berharga, episode
hidup yang penuh makna dan mendewasakan diri agar lebih bijak dan peduli dengan
sesama. Pahit manis dan asam asinnya perjalanan disana terajut menjadi memori
yang tak terlupakan. Salah satu hal yang masih melekat hingga sekarang ini
adalah nilai kejujuran yang harus dipegang teguh dalam tindakan dan membentang
kebaikan dimanapun kaki ini berpijak. Semboyan SGI yang digaung-gaungkan sejak
masa karantina asrama di LPI (Lembaga Pengembangan Insani) Dompet Dhuafa yaitu
semboyan #BanggaJadiGuru #GuruBerkarakter #MenggenggamIndonesia telah merasuk
hingga ke relung hati yang terdalam.
Setiap kali melakukan
perjalanan laut dari pulau ke pulau, baik tugas individu maupun tugas kelompok
kita tim SGI Halmahera Utara yang beranggotakan 5 orang (saya, Fauzi, Nuril, Novi
dan Sipat) sering berdiskusi di atas kapal. Karena kita berlima ditugaskan di
desa/pulau yang berbeda, sehingga moment ketemu hanya sebulan sekali saat
hendak menuju ke kota Tobelo untuk mengirimkan laporan kegiatan sekaligus
belanja bulanan. Butuh waktu sekitar 7-8 jam naik kapal dari Loloda Kepulauan
ke Tobelo (ibukota Halmahera Utara). Dari obrolan demi obrolan, terkadang secara
tidak sadar kita menemukan jawaban sendiri tentang “kenapa ya kita ditugaskan
di pulau ini?”. Dan yang tak kalah sering kita obrolkan dan saling mengingatkan
satu dengan yang lainnya adalah kalimat berikut ini “ingat kedatangan kita
bertugas di pulau ini karena dana zakat, jangan sekali-kali disalahgunakan”.
Sekecil apapun yang kita keluarkan meski Rp.500,- harus kita laporkan secara
transparan kepada Dompet Dhuafa. Sehingga ketika belanja ke warung pasti kita
meminta nota/kuitansi untuk dibuat laporan bulanan. Presensi kehadiran kita saat
di sekolah pun kita isi sendiri dan diisi sesuai dengan waktu kedatangan dan
waktu kepulangan dari sekolah. Setiap bulan data tersebut juga kita laporkan yang
dikirimkan melalui email yang hanya bisa dilakukan di kota yang ada akses
internetnya.
Saat memasuki purnama
ke-8 penugasan, tepatnya di bulan Februari 2015 di sekolah akan diadakan tryout
Ujian Nasional (saat itu UN masih menjadi penentu kelulusan). Saat pelaksanaan
tryout semua kelas sudah dikondisikan dengan pengaturan kursi-meja yang rapi. Anak-anak
masuk ruang ujian dengan tertib dan guru yang mengawas kegiatan tryout pun
melakukan pengawasan dengan teliti. Setelah ujian tryout selesai semua siswa
pulang ke rumah. Tiba-tiba kepala sekolah mengintruksikan semua guru untuk
rapat di ruang guru, termasuk saya pun saat itu diundang untuk mengikuti rapat
terbatas tersebut. Kepala sekolah langsung membagikan lembar jawaban siswa
kepada semua guru. Saat itu lembar jawaban tersebut dikerjakan menggunakan
pensil 2B.
“Bapak/Ibu, silahkan dicek ya jawaban anak-anak, jika ada yang salah
mohon bisa diperbaiki” pinta sang kepala sekolah.
“Besok, lembar jawabnya akan saya bawa ke Dinas” tambahnya.
Mendengar intruksi dari kepala sekolah, hatiku langsung memberontak dan
geram melihat kejadian tersebut. Usai kepala sekolah menyampaikan intruksinya
kepada guru, saya langsung mengangkat tangan dan menyampaikan keberatan dengan tindakan tersebut.
“Mohon maaf Bapak kepala sekolah, kalau seperti ini saya tidak bisa
melakukannya. Karena kita tidak jujur namanya. Kalau tetap dilakukan, saya
mohon izin pamit pulang duluan” jawabku kepada kepala sekolah. Saya mencoba
menyampaikannya dengan bahasa yang sopan tapi tegas dan mencoba menasehati
kepala sekolah dan rekan-rekan guru yang ada di ruangan tersebut. Itulah salah
satu prinsip kejujuran yang saya pegang erat dan saya lakukan saat menghadapi
adanya tindakan kecurangan di sekolah. Padahal saat itu baru tryout, gimana
saat UN benar-benar berlangsung? Apalagi UN tersebut nantinya akan dilaksanakan
di kecamatan.
Keesokan harinya saya pun terus mencoba berdiskusi dengan kepala sekolah
dan guru tentang pentingnya pendidikan karakter, yang harus dicontohkan
terlebih dahulu oleh guru sebagai teladan bagi semua siswa di sekolah. Selain kepada
guru, saya pun mencoba pendekatan ke orangtua dengan mengadakan parenting di
sekolah dengan tema pendidikan karakter. Semua orangtua diundang ke sekolah dan
saya bertindak sebagai narasumbernya. Mendidik karakter (terutama kejujuran)
tidak semudah membalikkan tangan. Harus dimulai dari diri sendiri. Meski saya
waktu itu adalah guru yang paling muda dan juga pendatang (relawan SGI), saya
mencoba memulai dari diri saya dahulu yaitu dengan datang ke sekolah lebih
awal. Pulang sekolah pun paling akhir dan mengajak anak-anak untuk sholat
berjama’ah di masjid. Main bersama dan belajar bersama di sore hari bersama
anak-anak baik di rumah tempat tinggal saya, di taman baca yang saya rintis bersama
masyarakat maupun di seluruh tempat yang ada di desa tersebut adalah tempat
pembelajaran yang saya lakukan kepada anak-anak dan masyarakat sekitar.
Mengubah “Rotan” Menjadi Teladan
“Buat apa rotan itu berada di dalam kelas?
Bukankah itu lebih baik digunakan buat kayu bakar saja” pikirku. Setiap kelas
ada rotan / kayu yang biasanya digunakan untuk menghukum siswa. Siswa salah, itu wajar! Namanya juga anak-anak. Mereka masih perlu banyak
belajar. Tapi, kalau guru salah? Apalagi guru yang tak mau sadar akan
profesinya yang mulia itu. Ada lagi, guru yang suka datangnya telat, dan maunya
pulang lebih awal. Sementara muridnya disuruh datang pagi-pagi, tepat waktu.
Tapi, gurunya sendiri yang melanggar. Alhasil guru tersebut seperti memakan
ludahnya sendiri. Parahnya lagi, masih ada pula guru-guru yang suka menghukum
siswanya dengan hukuman fisik seperti memukul dengan rotan, menampar pipi,
mencubit hidung, menjewer telinga, memutar kepala atau disuruh memukul tembok
dengan sekuat-kuatnya. Sungguh kasihan siswa-siswinya, jika berada dalam
sekolah yang penuh dengan hukuman fisik seperti itu.
Hukuman fisik, apakah memberikan efek jera bagi siswa yang bersalah? Anak yang
tak masuk sekolah, hukumannya adalah pukulan. Anak yang membolos, siap-siap
mendapat pukulan rotan. Anak-anak yang tidak menurut pada gurunya, siap-siap
mendapat cubitan atau tamparan. Anak-anak yang dikenal pahe (keras
kepala) dan melanggar aturan juga siap-siap menerima hadiah istimewa seperti
itu. Apalagi anak-anak yang suka bikin ulah (baku dusuh), atau membuat
temannya menangis maka siap-siap terpaan rotan mengenai dirinya. Siapa yang
salah sebenarnya. Siswa? Atau guru yang tak pernah mau menyadari akan kesalahan
dirinya. Guru yang tak mau pernah introspeksi dan refleksi diri akan tindak
tanduknya itu. Sekali lagi ketika siswa salah, apakah meski harus dihukum dengan
hukuman fisik seperti itu? Bukankah rotan juga bisa menjadi emas jika
dipergunakan dengan baik?
Alasannya sepele. Kata mereka (guru-guru) tersebut, anak-anak disini pahe (keras
kepala) dan beda dengan anak-anak Jawa atau daerah lain. Makanya mesti
dikerasin dan dihukum dengan hukuman tersebut. Hampir semua gurunya pernah
melakukan hukuman fisik yang serupa tersebut. Miris memang…! Padahal guru-guru
tersebut tahu bahwa hukuman fisik itu dilarang dan tidak boleh lagi diterapkan
di sekolah. Tapi begitulah kondisinya. Mungkin karena sudah menjadi budaya yang
turun temurun, jadi susah dihilangkan. Kenapa meski dengan pukulan, rotan dan
hukuman-hukuman tersebut? Apakah tak ada hukuman lain yang lebih mendidik dan
berperasaan? Akhirnya anak-anak pun menjadi kebal dengan tempaan pukulan yang
sudah sering dialaminya itu.
Alhasil, saya
selaku guru baru dan hanya bertugas 1 tahun di sekolah tersebut, anak-anaknya
meminta saya untuk memukul mereka jika ada yang salah.
“Pak guru, ngoni pukul
torang sudah”,
“Pukul saja ke dia pak guru
dengan rotan”,
“pak guru, pukul saja anak
itu dengan rotan yang ada di kelas”.
Begitulah pinta anak-anak
kepada saya tatkala mereka ada yang salah atau bikin ulah. Mungkin karena
mereka sudah terbiasa dengan pukulan bahkan sudah kebal dengan hukuman
tersebut.
“Kalau pak guru tak akan
memukul kalian, karena pak guru sayang sama kalian” kataku kepada anak-anak.
Kalau kalian ada salah, pak guru juga akan menghukum kalian tapi tidak dengan
rotan.
Pernah waktu itu anak kelas 5
ada PR (Pekerjaan Rumah), tapi sebagian besar tidak mengerjakan. Alasannya
rata-rata lupa, dan tidak belajar jika malamnya. Saya waktu itu memarahi
mereka, karena beberapa kali mereka kerap tidak mengerjakan PR. Saya merefleksikan
mereka dengan menyadarkan hati mereka menggunakan metode hipnoteaching.
Perlahan, saya memutar instrumen. Refleksi diri dimulai. Orangtua kalian telah
bekerja keras. Ayah kalian tiap hari ada yang mengail di laut dan ibu berkebun
mencari kayu bakar untuk keperluan kalian. Tapi, apa balasan kalian bagi
mereka. Jika kalian tak serius belajar, PR tidak dikerjakan, maka siapa yang
rugi? Tentu orangtua kalian pun ikut rugi. Kurang lebih seperti itu isi
refleksi yang saya berikan kepada anak-anak. Beberapa anak ada yang menangis.
Pendekatannya dari hati ke hati. Saya mencoba menyadarkan kesalahan mereka.
Anak-anak kelas 5
di sekolah tempat saya mengajar memang terkenal rata-rata anaknya hiperaktif.
Seringkali ribut dan baku dusuh lantaran hal-hal sepele atau karena ucapan yang
menyinggung hati mereka. Tapi itulah uniknya anak-anak. Mungkin karena modalitas
gaya belajar mereka yang tipe kinestetik. Perlu pendekatan khusus bagi mereka
tatakala ada kesalahan. Dalam kasus lain. Tepatnya Rabu, 4 Maret 2015. Jam
istirahat telah usai. Karena mau ada persiapan ruangan ujian try out, siswa
kelas lain akan dipulangkan lebih awal. Tiba-tiba ada salah seorang anak
melapor kepadaku.
“Pak guru ada anak baku
dusuh(berkelahi) di kelas 5” lapor anak tersebut. Kebetulan waktu itu
jadwal mengajarku di kelas tersebut.
“Ifon dan Rifka berkelahi pak
di dalam kelas” ujar salah seorang siswa yang lain. Saat saya masuk kelas
tersebut, beberapa murid kelas 6 sudah melerai keduanya. Rifka dan Ifon
terlihat masih menangis tersedu-sedu dengan menunjukkan muka marah membara di wajah
masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara bel, tanda pulang. Anak-anak kelas 1-4
tampak berlarian dengan riang karena dipulangkan lebih awal. Khusus kelas 6
sedang menata ruangan buat ujian try out esok hari dan sedikit ada pengarahan
dari kepala sekolah.
Saya harus
selesaikan dulu masalah kelas 5 ini, pikirku yang tak menghiraukan bunyi bel
kepulangan siswa. Mungkin jika guru lain yang menyelesaikan masalah ini, pasti
sudah dihukum dengan pukulan rotan bagi kedua belah pihak, batinku menganalisa
lebih jauh. Saya tidak akan menerapkan pukulan rotan tapi saya mencoba
pendekatan dari hati ke hati dalam menghukum kedua anak yang berkelahi
tersebut. Saya meminta kedua anak tersebut maju ke depan kelas, tapi keduanya
enggan. Okelah, kalau begitu silahkan lanjutkan berkelahi kalian biar Bapak
yang jadi wasitnya, candaku kepada mereka. Sejenak anak-anak yang lain bersorak
mendukung ideku ini.
“Eits, stop….” tegasku
menenangkan suasana kelas. Ifon dan Rifka masih merengut dan air matanya
terlihat masih membasahi pipi mereka.
Pak guru hanya ingin
mendengar kalian bercerita di depan kelas. Setelah dibujuk beberapa kali,
akhirnya luluh juga hati mereka dan mau maju ke depan kelas. Rifka berdiri di
sebelah kananku dan Ifon di sebelah kiri. “Coba ceritakan kronologinya, kenapa
kalian bertengkar?” pintaku. Keduanya diam dengan muka masih memerah dan
menangis tersedu. “Tadi Yusnia yang mulai duluan pak” celetuk salah seorang
siswa. Oke, kalau begitu Yusnia juga silahkan maju ke depan. Saat Yusnia
menceritakan kronologi masalahnya, Ifon dan Rifka saling ribut. Mereka saling
adu mulut, saling menyalahkan dan tidak mau disalahkan. Saya melerai keduanya.
Rupanya masalahnya sangat sepele, seperti biasa masalah ucapan yang menyinggung
perasaan masing-masing. “Kalau begitu sekarang semuanya berdiam dulu, Pak guru
yang akan bercerita dulu, mau?” pintaku. “Mau… mau….. mau….” jawab anak-anak
serempak.
Pak guru akan
bercerita tentang kisah Nabi Adam. Belum selesai bercerita, saya menghentikan
cerita kisah nabi tersebut dan membuka cerita lain. Anak-anak tampak penasaran.
Rifka dan Ifon masih berdiam berdiri disampingku. Yusnia berdiri di belakangku,
hanya dia tidak menangis dan merasa tak bersalah. “Ada segumpal daging, jika
daging itu baik maka anggota tubuh yang lainnya juga akan baik. Sebaliknya,
jika daging itu buruk, maka buruk pula yang lainnya” ceritaku dengan nada
mendayu. Kalian tahu, segumpal daging itu apa? tanyaku memancing penasaran
mereka. “Daging hewan Pak guru” ujar Julfit. Sontak anak-anak yang lain tertawa
mendengar jawaban Julfit. “Daging manusia pak” jawab Fikram. Iya betul, tapi
daging yang mana? tanyaku balik. Lama tak ada jawaban. Tiba-tiba ada yang
berucap. “Hati, pak guru” jawab Faisal. Iya betul, 100 buat Faisal. Saya
kembali melanjutkan cerita tersebut. “Hati itulah ibarat pilot bagi pesawat,
ibarat nahkoda bagi sebuah kapal atau sopir bagi sebuah mobil. Bagi manusia,
hatilah yang menjadi kendali utama” kisahku kepada anak-anak. Ifon dan Rfka
mulai diam dan merenung.
Saya lanjutkan
dengan cerita ketiga. Ngomong-ngomong soal pilot pesawat, kemarin Pak guru
habis jalan-jalan bertualang luar angkasa bersama kelas 6. Kalian juga mau
kesana? tanyaku dengan penuh ajakan. ”Mau…. mau…. mau…. pak guru” jawab
anak-anak serempak. Ifon yang tadinya diam, tiba-tiba mulai tersenyum dan
mengacungkan tangan. “Saya juga ikut pak guru” seru Ifon dengan penuh
penasaran. Rifka juga sudah tampak tidak ada air mata lagi di wajahnya. “Kapan
kita berangkat kesana Pak guru?” tanya Fikram penuh semangat.”Nanti ke luar
angkasa naik apa kesananya Pak guru?” tanya siswa yang lain. Rupanya ceritaku
yang ketiga ini cukup menarik penasaran hati mereka. Padahal cerita petualangan
luar angkasa kemarin adalah skenario pembelajaran tentang tata surya yang aku
terapkan di kelas 6. Suasana kelas yang tadinya ramai karena pertengkaran, kini
berangsur-angsur penuh dengan canda tawa anak-anak.
Sebuah
pertengkaran terjadi karena hatinya sedang tidak baik. Jika hati kita kurang
baik,maka semua ikut tidak baik, tangan mudah menampar, mulut asal bicara tanpa
dikontrol, kaki mudah menendang dan kita mudah marah (sambil bergaya marah),
jelasku pada anak-anak. Oleh karena itu, jagalah hati kalian agar saling
menghormati dan berbuat baik sesama teman, ujarku sembari bercerita. Kalau
kalian mau keluar angkasa, maka harus baik-baik dengan teman, rajin belajar,
tekun mengaji dan beribadah, itu syaratnya, tambahku. Semua anak tampak bahagia
mendengarkan ceritaku. Ending (akhir) dari penanganan masalah pertengkaran anak
ini adalah tawa senyum dan berjabat tangan. Ifon, Rifka dan Yusnia saling
memaafkan satu sama lainnya, diiringi dengan senyum persahabatan. “Rifka, Ifon
minta maaf yah” pinta Ifon sembari menjabat erat tangan Rifka. Begitu juga
sebaliknya yang dilakukan oleh Rifka kepada Ifon. Kini wajah ceria tampak dari
mereka berdua. Begitulah salah satu kisah menghukum anak yang saya lakukan di
kelas.
Permasalahan
siswa tak selamanya harus diselesaikan dengan cara hukuman fisik. Berilah
hukuman yang mendidik bagi siswa-siswi kita tatkala mereka berbuat kesalahan.
Kalau saat kita mengajar dan mendidik mereka harus dengan hati, maka menghukum
anak (saat mereka salah) juga harus dengan hati. Saya jadi teringat dengan
pendapatnya Setiawan dalam bukunya yang berjudul Anak Juga Manusia, mengatakan
bahwa “anak bukan barang yang dipesan dari katalog yang disertai buku
panduan. Dia adalah titipan Tuhan yang sudah sepatutnya diperlakukan dengan
baik. Anak juga bukan robot yang tinggal plug and play. Dia punya
hati dan perasaan, karena anak juga manusia”. Iya, karena anak juga punya
hati dan perasaan, maka masukilah dunia dan hati mereka supaya riang gembira.
Jika hukuman fisik terus dilakukan kepada siswa tentu akan berdampak pada
kondisi psikologis mereka. Oleh karenanya, ketika anak (siswa-siswi) kita
bermasalah, hukumlah dengan hati.
Demikianlah sedikit cuplikan cerita yang bisa
saya bagikan tentang kiprah Dompet Dhuafa dalam melayani masyarakat yang
bersumber dari pengalaman yang saya alami selama menjadi relawan Sekolah Guru
Indonesia (SGI) di bumi hibualamo, Halmahera Utara. Senoktah kisah menyemai
kebaikan di ujung kepulauan, tepatnya di Loloda Kepulauan.
- #DompetDhuafa31tahun
- #BelajarMelayani
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog 31 Tahun Dompet Dhuafa Melayani Masyarakat”