Sebuah desa yang penuh dengan kenangan, alam yang hijau, udara yang segar dan masyarakat yang penuh dengan toleransi dan gotong royong. Disinilah tempat kelahiranku. Tempat yang masih banyak populasi burung berkicau, belalang yang berdendang dan pepohonan rindang yang berderet rapi. Namaku Lukman, lebih lengkapnya adalah Lukmanul Taufiki Aldjaisya. Sejak kecil kehidupanku penuh dengan pendidikan dari kedua orangtuaku. Mereka mendidikku penuh dengan perhatian dan kasih sayang. Kedisiplinan selalu yang ditekankan setiap hari. Kebersihan dan kerapihan harus selalu ada di rumahku. Begitulah orangtuaku mendidikku seperti itu sejak kecil. Mereka menginginkan aku menjadi orang yang baik dimanapun berada. “Khoirunnas anfauhum linnas, sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain”, begitulah pesan kedua orang tuaku yang sering diutarakan kepadaku. Masyarakat di desaku pun merupakan masyarakat yang hebat, penuh dengan toleransi dan saling bahu membahu. Setiap sebulan sekali di desaku selalu ada kerja bakti bersama membersihkan lingkungan sekitar. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak semua ikut serta. Ibu-ibu menyiapkan makanan. Bapak-bapak ada yang membersihkan selokan, ada yang menyapu dan ada yang memotongi rumput. Sungguh indahnya kebersamaan yang seperti itu. Jalan-jalan menjadi bersih, lingkungan menjadi enak dipandang mata dan sejuk di hati. Rutinitas seperti ini sudah ada sejak dahulu, sejak aku belum lahir.
Sejak kecil aku selalu bercita-cita ingin menjadi orang yang sukses dan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain seperti pesan orangtuaku itu. Padahal aku hanya tamatan MTs (SMP) saja. Maklum, karena faktor ekonomi aku tidak bisa melanjutkan ke pendidikan tingkat lanjut. Pendidikan umum memang penting, tapi itu bukan segala-galanya yang menjadi faktor utama menjadi orang yang sukses, kataku. Berbekal pengetahuanku dari MTs dan nasihat-nasihat yang sering orangtuaku sampaikan merupakan modal awalku untuk melangkah di kehidupan ini. Setelah lulus MTs, orang tuaku akan mengantarkanku masuk ke pesantren. Sejak dulu orangtuaku menginginkan aku untuk masuk ke pesantren. Aku akan pergi meninggalkan desaku yang permai. Berat rasanya dan sepertinya tidak mau pisah jauh dengan keluarga. Maklum, mungkin karena usiaku yang masih 15 tahun belum mau pisah dengan orangtuaku. Tapi orangtuaku bilang, “kamu harus berangkat nak, carilah ilmu sebanyak mungkin dan kelak diamalkan di masyarakat”. Kurang satu hari lagi aku mau berangkat ke Pesantren di Jawa Timur. Aku harus pamitan terlebih dahulu ke semua sanak keluargaku. Kebetulan sore itu kakek dan nenek lagi ada dirumah dua-duanya. Aku mau minta pamitan ke mereka. Begitu masuk rumah, nenek langsung memelukku dengan penuh haru, dan seolah-olah seperti tidak mau melepaskanku untuk pergi jauh dari sampingnya. “Hati-hati yah man ntar kalau sudah di pesantren, sinau sing sregep” kata nenekku. “Nggih, budhe” jawabku.
Berbeda dengan nenek yang enggan untuk melepaskan kepergianku ke pesantren, kakekku lebih banyak memberikan ceramah dan nasihat-nasihat untukku. “Mencari ilmu itu adalah kewajiban, jangan seperti kakek yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, tapi kakek selalu mengamalkan apa yang dibilang sang kyai” kata kakekku. Dulu kakek, hanya ikut pengajian di mushola dan sering dekat juga dengan kyai, sehingga kakek juga banyak dapat ilmu dari kyai Tohirin di kampung kakek dulu. Sebelum kamu berangkat ke pesantren, kakek hanya bisa berpesan, “dalam kita menuntut ilmu pasti banyak godaan dan tantangan. Ada 3 perkara yang harus kamu ingat, yaitu teman, perempuan, dan biaya” kata kakek. “Maksud tiga perkara itu apa kek?” tanyaku kepada kakek. “Teman: maksudnya hati-hati dalam berteman, jangan sembarang berteman karena karakter orang berbeda-beda, pilihlah teman yang baik-baik saja. Tapi tetaplah berteman dengan semuanya, tapi ada batasnya” kata kakek. “Terus yang kedua adalah perempuan. Maksudnya adalah masalah cinta, karena dia pasti akan datang menggodamu. Makanya hati-hati jangan sampai kamu tergoda, belajar dulu yang rajin” tambah kakek. “ketiga adalah biaya, biaya menjadi penting juga dalam bekal untuk menuntut ilmu. Pergunakanlah bekal yang diberikan orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Kakek hanya bisa berpesan seperti itu dan tidak bisa memberi bekal kamu apa-apa, semoga kamu diberi kemudahan dalam menuntut ilmu di pesantren dan kakek akan selalu mendoakanmu disini” tambah kakek lagi. Sesudah pamitan dengan mereka, besoknya aku berangkat ke pesantren.
Senen pagi yang cerah, mentari pun penuh memancarkan senyum cahayanya yang menawan. Desaku yang asri dan sejuk dengan hembusan udara yang segar ini akan segera aku tinggal. Aku berangkat ke pesantren. Aku berangkat dengan kedua orangtuaku naik kereta. Perjalanan yang lumayan panjang, dan melelahkan setelah melewati berbagai kota dan suasana yang penuh sesak di kereta. Kami telah menempuh perjalanan selama delapan jam, akhirnya sampai juga di Jawa Timur. Aku naik angkot menuju tempat pesantren yang akan aku tuju. Sampai juga di pesantren. Aku dan kedua orangtuaku menemui sang kyai pengasuh pesantren itu. Kami tidak lama di rumahnya pak kyai, kedua orangtuaku hanya ‘memasrahkan’ atau istilahnya mendaftarkan dan menitipkan aku untuk belajar di pesantren kepada pak kyai itu. Setelah itu, aku langsung diantarkan ke tempat pesantren tempatku akan menetap disini untuk beberapa tahun ke depan. Aku masuk ke bilik 9 (bilik adalah istilah kamar dalam pesantren). Kedua orangtuaku pun akhirnya pulang dan berpamitan denganku. Isak tangispun sempat terteteskan dari ibuku yang tak mau meninggalkanku disini. “Ibu masih kangen nak” kata ibuku. Setelah cukup lama ibu memelukku dengan penuh kehangatan, ibu memberi nasihat dan pesan kepadaku untuk berhati-hati dan belajar yang baik disini. Ayah pun mencoba menenangkan hati ibu, kami pun harus berpisah untuk sementara. Kedua orangtuaku akhirnya pulang. “Sebuah semangat, pesan dan doa dari ibu dan ayahku yang penuh dengan makna, semoga aku bisa memberikan senyuman indah untuk mereka suatu saat kelak” kataku dalam hati. Aku akan bersungguh-sungguh menuntut ilmu disini dengan baik, dan kelak akan aku amalkan untuk masyarakat nanti.
Kehidupanku yang baru di pesantren, aku sangat sedih tiada orangtua disini, keluarga jauh disana dan teman-temanku juga tidak ada yang disini. Aku harus beradaptasi. Aku merasakan hal yang sangat berbeda sekali dibandingkan dengan saat di rumah dulu. Mandiri dan berbaur hidup dengan santri-santri lain. Ternyata apa yang telah diajarkan orangtuaku sejak dulu, kini sangat berarti sekali disini. Mandiri dan kemandirian hidup. Pesantren adalah miniatur sebuah kehidupanku. Aku masih warga biasa, karena disini pun ada lurah juga ternyata. Tapi bukan seperti lurah pada umumnya, lurah disini adalah yang mengkoordinir semua santri yang ada di pesantren ini. Namanya kang Jalal lurah di pesantren ini. Beliau sudah 7 tahun sebagai santri disini. Biliknya kang jalal ada di paling pojok. “Dibawah lurah, juga masih ada jajaran pengurus pesantren, sehingga bilik ini pun disebut bilik pengurus” kata kang Jalal kepadaku. “Selain itu, tiap-tiap bilik juga ada ketua biliknya masing-masing” tambah kang Jalal. “kalau ketua bilik 9 siapa kang” tanyaku pada kang Jalal. “Ketua bilik 9 adalah kang Marzuki, kebetulan orangnya lagi ngaji di jerambah” kata kang Jalal. Maklum, waktu itu lagi ada pengajian dan kang Jalal masih menemaniku dan mengenalkan keadaan di pesantren ini, jadi beliau tidak mengikuti pengajian. Aku dapat informasi banyak dari kang Jalal tentang pesantren ini.
Sudah sebulan aku di pesantren. Aku sudah terbiasa dengan kegiatan dan rutinitas pengajian yang ada di pesantren ini. Mulai sejak ba’da shubuh hingga ba’da isya rutinitasku adalah mengikuti pengajian di jerambah dengan sang kyai. Akan tetapi ada jeda beberapa jam buat aktivitas lain, sedangkan hari Jum’at dan Minggu juga ada kegiatan lain di pesantren. Suatu ketika, tiba-tiba aku dipanggil untuk menemui pak kyai di rumahnya. Suatu hal yang tak disangka-sangka sebelumnya, padahal tadinya sempat kaget karena biasanya santri kalau dipanggil pak kyai itu santri yang bermasalah. Akan tetapi ternyata justru sebaliknya, aku disuruh jadi ‘abdi dalem’ di rumahnya pak kyai. ‘Abdi dalem’ adalah sebutan untuk santri yang diangkat oleh kyai untuk mengabdi dan membantu di rumahnya pak kyai. “Alhamdulillah, mungkin karena kyai sudah mengenalku cukup jauh, jadi aku diangkat jadi abdi dalem oleh beliau” kataku dalam hati. Sejak saat itu juga aku sering bolak balik dari pesantren ke rumahnya pak kyai. Di rumahnya pak kyai, aku membantu pekerjaan yang ada di rumah pak kyai. Mencuci piring, menyapu halaman dan ruangan, membersihkan pekarangan, belanja makanan sampai ikut berjualan dengan pak kyai dan bu nyai. Begitu aktivitasku setelah menjadi abdi dalem di rumahnya pak kyai. Terkadang aku sering mendapat tugas dari pak kyai untuk belanja di pasar, sehingga aku pun jadi hafal harga bahan-bahan makanan di pasar dan tahu bagaimana cara membeli dan memilih bahan yang dibutuhkan untuk keperluan belanjanya pak kyai. Pak kyai juga mempunyai toko besar yang menjual aneka kue dan roti yang merupakan hasil produksi sendiri. Memang sebenarnya sudah ada karyawan disana juga, tapi terkadang para santri juga ikut membantu berdagang disana. Tapi, aku yang lebih sering mendapat tugas untuk menjaga toko setiap hari jumat. Hari demi haripun terus berlalu, aku mendapatkan banyak ilmu dari pak kyai, selain ilmu agama yang telah banyak aku dapatkan, ilmu berdagang dan jual beli pun aku sudah cukup menguasai dan menjadi termotivasi untuk berdagang juga.
Banyak ilmu dan pengalaman yang telah aku dapatkan di pesantren ini. Sudah 6 tahun aku disini dan besok adalah acara wisudaku (wisuda Diniyah Ulya). Nadhom alfiyah pun akhirnya aku hafal semua. “Apakah besok impianku akan tercapai, menjadi santri terbaik dalam Lailatul Firoq?” tanyaku dalam hati. Besok adalah puncak acara dan akan diumumkan santri terbaik juga. Lailatul firoq nama acara wisuda itu. Semua orang tua santri yang mau wisuda turut diundang juga dalam acara lailatul firoq nanti. Kedua orangtuaku pun besok akan datang kesini. Sebuah panggung besar pun kini sudah berdiri di depan halaman pesantren. Tak ketinggalan juga sound system sudah bergema dan semua kursi buat tamu undangan dan hadirin sudah tertata dengan rapi. Rasanya begitu menggetarkan hati, berdebar dan berdetak terus jantung ini, ketika namaku dipanggil untuk maju ke atas panggung. Kedua orangtuaku pun sudah duduk di bangku tengah dengan penuh senyum haru dari kedua orang tuaku itu. Satu per satu wisudawan dan wisudawati akhirnya sudah berada di atas panggung semua. Tibalah waktu yang paling ditunggu-tunggu. Pak ustadz Nirwan pun akhirnya membacakan santri terbaik dari tiap tingkatan (diniyah wustho dan diniyah Ulya). “Untuk santri terbaik diniyah Ulya dengan total nilai 90,27 (dengan predikat jayid jiddan) adalah ananda…..” ucap pak ustadz Nirwan. Begitu gemuruhnya suasana itu, semua terdiam dan penasaran dengan nama yang akan diucapkan oleh pak Ustadz Nirwan. “…..adalah ananda Lukmanul Taufiki Aldjaisya bin bapak Syamsudin” ucap pak ustadz Nirwan dan hentakan tepuk tangan pun bergema di tempat itu. Begitu senangnya hatiku, seakan-akan terbang dan melayang hati ini mendegar kata pak ustadz Nirwan menyebutkan namaku. “Alhamdulillahirobbil’alamin” ucapku sambil mengusapkan ke tangan dan seketika itu pula aku langsung sujud syukur. Kedua orang tuaku pun terlihat bahagia sekali mendengar namaku disebut dan mendapatkan predikat santri terbaik diniyah ulya. Malam ini merupakan malam yang paling berharga dalam hidupku dan akan ku kenang terus.
Selesai sudah aku menimba ilmu di pesantren, aku berpamitan kepada sang kyai untuk izin pulang ke rumah. Tadinya pak kyai menghalangiku untuk pulang, “Man, kamu mengabdi lagi disini 1 tahun”, kata pak kyai. Akan tetapi akhirnya kedua orangtuaku menjelaskan kepada pak kyai bahwa aku harus pulang ke rumah karena masarakat disana sangat menantikan, jelas orangtuaku kepada pak kyai. Akhirnya aku dan kedua orangtuaku berpamitan dengan pak kyai untuk kembali ke rumahku. “Hati-hati man, dan jangan lupa ilmu yang telah kau dapatkan untuk diamalkan” kata pak kyai. “Insya allah pak kyai” jawabku mengakhiri pertemuanku dengan pak kyai.
Roda kehidupan terus berputar. Sudah 6 bulan aku di rumah setelah kepulanganku dari pesantren. Sudah banyak yang aku lakukan di rumah. “Tapi sepertinya masih ada yang kurang dalam hidupku ini” kataku kepada ibu. “Bu, Lukman ingin berpenghasilan sendiri dan ingin membantu ibu. Lukman ingin berdagang dan mencari nafkah untuk bekal kehidupan Lukman nanti” tambahku. Ibu akhirnya mengizinkanku untuk berdagang. “Minggu depan Mas Yanto paman kamu akan pergi ke Jakarta, kamu ikut paman saja nak” kata ibuku. Aku langsung ke rumah paman untuk menanyakan tentang keberangkatanku ke Jakarta. Aku harus meninggalkan desaku lagi. Minggu depan aku berangkat ke Jakarta.
Panas sang surya begitu menyengat di kepala. Tidak jauh beda, dengan bis ekonomi yang baru saja aku tumpangi tadi. Penuh sesak berjejalan. Ditambah lagi pedagang asongan dan pengamen kerap kali memenuhi bis yang baru saja aku tumpangi tadi. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Jakarta. Sambil membawa koper besar, aku dan pamanku turun dari bis. Ramai, gemerlap dan penuh sesak berjejalan. “Ternyata kota Jakarta memang ramai sekali dan banyak bangunan yang menjulang tinggi sepanjang perjalanan tadi, seperti berita yang aku tonton di televisi pada waktu lalu”, kataku pada paman. Maklum, hari ini merupakan hari pertamaku menginjakkan kaki di ibukota. Setelah sekian lama aku hidup di desa dan selama 6 tahun terakhir aku hidup di pesantren di Jawa Timur. Pamanku sudah lama kerja di Jakarta dan beliau sudah sangat hafal dengan suasana ibukota. Paman bekerja sebagai pedagang nasi goreng. Dari terminal, aku dan paman naik angkot menuju ke kontrakan.
Tersentak kaget, begitu aku turun di komplek kontrakan paman. Suasana yang sangat berbeda dengan kehidupanku sebelumnya. “Ya jelas bedalah, ini bukan pesantren” kataku dalam hati. Semuanya seperti kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Mulai dari cara berpakaian, cara bersikap, bertutur kata sampai bergaul semuanya terbawa arus lingkungan yang ada. “Beginilah kehidupan di kota besar, banyak para pendatang dari seantero dan pelosok nusantara, juga banyak budaya-budaya asing dan kebiasaan yang buruk pun ikut hadir disini” kata paman. Jadi, mereka pun mengikut dan mengalir ditengah-tengah budaya yang ada dan berbaur menjadi kebiasaan sehari-hari, tambah paman. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan pun seperti tiada batas dan sangat bebas. ‘‘Saya miris dan kasihan paman melihat mereka’’ kataku pada paman. Terkadang paman juga kasihan melihat mereka yang hanya ikut-ikutan tapi tidak melihat dampak negatifnya bagi diri mereka sendiri, tambah paman.
“Lingkungan memang berpengaruh besar terhadap karakter seseorang” pikirku dalam hati. “Mereka telah terwarnai oleh lingkungan globalisasi, aku harus mewarnai mereka” tambahku sambil tersenyum miris melihat mereka. Nilai dan pesan pendidikan yang telah orang tua berikan padaku dan ilmu dari pesantren yang telah aku dapatkan harus aku sampaikan kepada mereka. Tekad dan kemauanku untuk berbagi ilmu dengan mereka sangat tinggi. Setiap kali aku bertemu mereka, aku selalu mengucapkan salam dan menyapa mereka terlebih dahulu. Memberikan contoh yang baik terlebih dahulu kepada mereka dengan cara yang baik juga merupakan metode yang tepat untuk menyampaikan kebaikan kepada mereka. Sambil berdagang nasi goreng dengan paman, aku pun jadi mengenal mereka, baik warga komplek kontrakan pamanku maupun para pembeli dari komplek lain. Paman mulai berjualan nasi goreng sehabis ashar, biasanya sampai jam 8 malam sudah selesai kalau lagi laris.
Masyarakat sekitar pun sudah mengenal tentang diriku dan mengetahui kalau aku menyampaikan sesuatu yang baik bagi mereka. Aku mendapat sambutan yang positif dari warga disini dan mereka meminta aku untuk mengajarkan agama kepada anak-anak mereka, karena mereka sangat membutuhkan ilmu itu. Kontrakan paman yang hanya berukuran kecil itu, kini menjadi tempat mengaji bagi anak-anak warga komplek setiap jam 1 siang sampai menjelang ashar sekitar jam 3 sore. Awalnya hanya 5 orang yang mengikuti belajar dengan aku di tempat ini, akhirnya setelah satu tahun berjalan jumlah anak yang mengikuti pengajian dengan aku bertambah banyak, dan ada salah seorang warga sekitar yang memperbolehkan rumahnya sebagai tempat untuk pengajian Al-Qu’an dan ilmu agama Islam. Ternyata ilmu yang telah aku dapatkan dari pesantren dulu, sekarang sangat bermanfaat sekali untuk mereka. Selain aku mendapat penghasilan dari menjual nasi goreng dengan paman, aku juga sedikit mendapat rejeki dari mengajar anak-anak warga sekitar. Dan kini sekarang aku mendapat julukan sebagai ustadz Lukman sang penjual nasi goreng.
Saturday, 17 September 2011
Home »
» JEJAK SANTRIPRENEURSHIP
JEJAK SANTRIPRENEURSHIP
15:41
No comments
0 comments:
Post a Comment