Saturday, 17 September 2011

METAMORFOSIS CINTA

METAMORFOSIS CINTA

Saya dilahirkan di sebuah desa yang cerah ceria dan segar udaranya. Tepatnya desa Cerih, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal. Sejak kecil saya mendapat banyak julukan dari teman-teman, yaitu ‘bule kampung’, ‘putu landa’ (cucunya belanda) dan ‘putu harto’ (cucunya pak harto) karena pada waktu itu saya orangnya cukup gemuk, berkulit putih dan berambut pirang. Saat saya masih duduk di bangku MI (SD) teman-teman beranggapan bahwa saya itu orangnya ganteng, baik, pintar dan rajin. Sehingga pada waktu itu banyak yang tertarik dengan saya, akan tetapi saya tidak pernah menghiraukannya. Berbicara masalah cinta, mungkin saya termasuk orang yang katro dengan istilah tersebut, akan tetapi kerap kali ia menghampiri dan menghiasi dalam setiap rona perjalanan hidupku ini. Saya mulai mengenal istilah cinta pada waktu MTs (SMP) dan waktu itu saya beranggapan bahwa cinta adalah kasih antara dua insan (laki-laki dan perempuan) saling mengenal satu sama lain. Selain karena faktor pubertas usia remaja, faktor lingkungan sangat menentukan akan hidup seseorang. Banyak teman-teman saya yang sudah mengenal istilah pacaran, mungkin karena pengaruh sinetron (film) di televisi juga. Akan tetapi, saya tidak pernah mau tahu tentang urusan itu. Banyak juga yang katanya naksir sama saya, akan tetapi saya tidak menanggapinya. Saya orangnya memang penurut dengan nasihat orang tua, ‘selagi masih sekolah jangan pacaran dulu, belajar yang rajin’ begitu kata orang tuaku. Sehingga saya pun berusaha untuk ingat pesan itu.
Pernah waktu itu ada adik kelas yang menyurati saya dan mengatakan dalam surat itu kalau dia suka sama saya, akan tetapi saya tak menghiraukan isi surat itu dan menanggapinya dengan biasa saja. Seiring berjalannya waktu, saya pun akhirnya mulai mengerti akan istilah cinta karena lantaran teman-teman yang selalu mendorongku kearah sana. Waktu itu bertepatan dengan kemah jambore ranting Jatinegara memperingati hari pramuka tahun 2004. Mulai dari SD sampai SMA se-kecamatan Jatinegara mengikuti kemah di lapangan desa Cerih. Disinilah benih-benih awal saya mulai mengenal yang namanya cinta. Saat itu merupakan awal saya di kelas 3 MTs dan saya menjadi pimpinan regu (pinru) dari penggalang MTs Al-Falah Cerih. Setiap kali kegiatan, pinru selalu yang diundang untuk berkumpul di sekretariat lapangan. Semua pinru dari tiap-tiap regu pun berkumpul semua. Saya bertemu dengan seorang pinru putri dari SMP 2 Jatinegara. Sebelumnya saya belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi saya pernah mendengar namanya, karena kakaknya dia dulu sekolah di MTs saya dan pernah menceritakannya kepada saya. Setiap kali kegiatan, baik di lapangan maupun di dekat tenda saya sering menghampirinya. Dia menampakkan senyumnya itu. Dia memang beda diantara temannya yang lain, kataku dalam hati. Dia berjilbab, padahal teman yang lainnya tidak ada yang berjilbab. Lantaran seringnya bertemu dengannya membuat saya seakan-akan ingin mengenal lebih dekat dengannya. Ada pepatah mengatakan ‘witing tresno jalaran soko kulino’. Benih cinta tumbuh seiring dengan tingginya intensitas pertemuan. Mungkin pepatah ini menggambarkan suasana hatiku waktu itu. Tapi apa boleh buat, hati ini hanya bisa merasa dan saya tidak berani terus terang dengannya. Saya masih ingat dengan pesan orang tuaku itu.
Perkemahan itu pun telah lama usai, tapi perasaan ini sepertinya tak mau pergi dari hati ini. Senyumannya masih terngiang di benakku. Hingga akhirnya saya pun mencoba menuangkan perasaanku lewat tulisan dalam secarik surat. Maklum saya masih belum berani terus terang mengungkapkan langsung dengannya. Saya menitipkan surat itu lewat teman sekelasnya dia yang satu SMP dengannya. Hari itu merupakan pertama kalinya saya menulis surat buat seorang perempuan. Tak selang waktu lama, akhirnya dia pun membalas suratku dan jawabannya begitu mengejutkanku. Dia belum bisa memutuskan karena ada dilema di hatinya. Ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya. Ternyata ada juga salah satu teman dekatnya dia yang suka dengan saya dan sangat berharap pada saya. Akan tetapi saya tidak begitu tertarik dengan temannya itu. Selain itu, dia juga menambahkan dalam suratnya bahwa ternyata teman dekat saya juga katanya ada yang suka dengan dia. Makanya dia tidak mau persahabatan diantara temannya dia ataupun persahabatan diantara temanku jadi berantakan gara-gara masalah saya dengan dirinya itu. Suatu keputusan yang bijak darinya. ‘Bila ada jarum patah jangan disimpan di peti, bila ada kata yang salah jangan diambil hati’, begitu kata terakhir menutup suratnya itu. Saya pun memahami maksudnya itu. Mungkin belum saatnya dan belum waktunya saya untuk dekat dengannya, pikirku. Persahabatan itu lebih penting daripada pacar dan belajar juga jauh lebih penting buat masa depanku, apalagi sebentar lagi saya juga mau menghadapi ujian nasional. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi bertemu dan berurusan dengannya lagi. Suratnya dia merupakan sejarah penting dalam hidup saya, maka dari itu suratnya saya simpan baik-baik hingga sampai sekarang pun masih tersimpan di dalam lemari.
Sekilas peristiwa itu pun berlalu. Akhirnya pada tahun 2005 saya lulus dari MTs dan melanjutkan sekolahku merantau ke kota seberang, tepatnya di SMAN 3 Pemalang. Pada awalnya saya disuruh melanjutkan di MA (Madrasah Aliyah) yang ada di daerahku karena sejak awal saya berasal dari MI dan MTs. Akan tetapi saya ingin suasana sekolah yang baru tapi bukan madrasah, melainkan SMA dan orangtuaku akhirnya setuju asalkan kalau seperti itu harus menempat juga di pesantren. Akhirnya saya pun menempat di salah satu pesantren di Pemalang. Awalnya saya merasa asing tinggal di pesantren karena belum terbiasa dan dari teman-teman MTs, hanya saya yang melanjutkan di Pemalang. Saya pun harus mampu beradaptasi dan membagi waktu antara di SMA dan di pesantren. Pagi saya sekolah di SMA sampai jam setengah 2, habis itu madrasah di pesantren dari jam 2 sampai jam 5 sore, terus kegiatan malam ba’da maghrib dan ba’da isya adalah kajian kitab kuning sampai jam 10 malam. Selesai itu baru saya bisa belajar yang lainnya. Biasanya sampai larut malam kalau lagi banyak tugas. Jam 4 pagi saya harus sudah bangun lagi. Ba’da subuh adalah kajian lagi sampai jam setengah 7, setelah sarapan baru saya berangkat ke SMA. Aktivitas ini berlangsung selama 3 tahun.
Hari pertama masuk SMA pun akhirnya tiba juga. Akhirnya bisa mengenakan seragam putih abu-abu juga. Tiada yang saya kenal dan belum sama sekali punya kenalan. Saya masuk ruang kelas X-2 dan menempati bangku di belakang karena bangku barisan depan sudah terisi semua. Tak lama kemudian, dua orang perempuan datang menghampiriku dan duduk di meja sebelah yang masih kosong. Salas satu perempuan itu sempat bilang permisi padaku. Saya belum tahu siapa nama perempuan itu. Semua bangku kelas pun sudah terisi semua, seorang guru masuk ke ruang kelasku, lalu memulai dengan perkenalan dan pelajaran pertama untuk hari itu. Tak lama setelah pelajaran dimulai, tiba-tiba perempuan tadi yang duduk di meja sebelahku itu melempariku dengan sebuah kertas. Tersentak saya kaget seketika itu. Lalu saya buka kertas itu dan isinya adalah “hai kamu, kamu bukan orang jawa yah, kok rambut kamu pirang?”. Saya pun menjawab lewat kertas itu’ “saya orang jawa asli dan rambut saya memang pirang dari sananya”, “emangnya kenapa?” saya balik nanya lewat kertas itu. “Tidak apa-apa, soalnya mirip banget rambutnya dengan keponakanku, hehehe. Owh tak kirain kamu berasal dari luar jawa?” jawab dia lewat kertas itu. Terus dia kembali bertanya, ‘memangnya rumah kamu dimana?’ Tanya dia lagi. “Rumah saya di negeri seberang sana” jawabku di kertas itu. Dia terus bertanya-tanya kepadaku lewat kertas kecil itu. Aneh sekali, mau kenalan saja lewatnya tulisan. Kejadian ini berlangsung hingga satu minggu sejak pertama kali masuk SMA. Hingga akhirnya saya dan dia pun sudah saling mengenal satu sama lain. Pernah waktu itu dia menanyakan nomer HPku lewat kertas kecil juga. Saya menjawab lewat kertas itu, ‘saya belum punya, karena HP saya juga masih dalam proses produksi di Cina’ jawabku sambil becanda. Awalnya dia tidak percaya kalau saya belum punya HP, tapi akhirnya setelah saya menjelaskan kepadanya bahwa di pesantren saya dilarang membawa HP jadi saya pun tidak membawanya.
Hari demi hari pun berlalu, saya dan dia sudah sering bercerita tentang pribadinya masing-masing walau dalam sebatas teman. Dia telah membuatku semangat dan memberiku motivasi dalam mengawali kegiatan di SMA waktu itu. Teman-teman sekelas pun mengetahuinya, dan mereka beranggapan bahwa saya sudah jadian sama dia. Padahal saya hanya berteman biasa dengannya. Ada seorang teman pernah bilang pada saya, katanya sebenarnya dia itu suka dengan saya dan dia katanya sangat mengharapkan saya terus terang bilang kepadanya. Akan tetapi saya tidak berani terus terang dengan dia. Saya masih ingat pesan orangtuaku. Pernah waktu itu saat jam pelajaran sejarah dan yang mengajar adalah wali kelasku. Dia menulis sesuatu di kertas kecil dan dikasihkan ke saya. Saya pun membalasnya. Sampai pada akhirnya dia membalas lagi di kertas itu, tapi tiba-tiba saat mau dikasihkan ke saya, kertas itu tertiup kipas angin yang ada di kelasku dan terbang ke arah depan, lalu diambil oleh guruku itu. Betapa kagetnya dia dan saya pun ikut cemas. Kertas itu dibaca oleh guruku yang merupakan wali kelasku juga dan teman-teman sekelas pun pada tahu semua isi dalam kertas itu. Wali kelasku hanya bilang ‘hayo kalian jangan main-main dan jangan diulangi lagi’ sambil bergurau dengan canda tawa.’Iya bu’ jawabku dan jawab dia juga. Untung saja wali kelasku baik hati dan tidak marah. Sejak saat itu saya dan dia jarang lagi menulis pesan lewat kertas di dalam kelas.
Ketika di pesantren, saya pun tetap menjalani rutinitas yang ada. Dan tidak begitu memikirkan dirinya. Pernah waktu itu sehabis sholat maghrib di Masjid Agung Pemalang, tiba-tiba saya dipanggil ustadz saya dan kami mengobrol di beranda masjid. Awalnya saya sempat kaget seketika itu. Setelah berbicara panjang, beliau mengamanatkan sebuah pesan kepada saya. Yang inti pesannya itu adalah beliau menyuruh saya untuk mengawasi teman-teman saya yang di pesantren yang juga sekolah di SMA, apabila ada anak santri yang pacaran tolong laporkan pada saya’ kata ustadzku itu. ‘Saya percaya betul dengan kamu, dan saya percaya kamu bisa mengawasi gerak gerik mereka’, tambah ustadzku. Saya pun mengiyakannya, tadinya saya sempat terkejut. Tak kira ustadz saya tahu hubunganku dengan teman SMAku itu, ternyata malah saya dipercaya untuk mengawasi gerak gerik teman pesantren yang di SMA. Sejak saat itu pula saya tidak mau mendekati yang namanya cinta, karena saya dipercaya oleh ustadz saya masa saya malah yang melanggarnya lebih dulu, kataku dalam hati. Awalnya sungguh berat, tapi ini adalah kepercayaan yang diberikan sang ustadz kepada saya.
Masa-masa di SMA dan di pesantren penuh dengan lika liku yang tiada henti. Tak terasa hampir satu tahun sudah berlalu. Suatu godaan dan tantangan datang menghampiriku. Tiba-tiba saja terdengar berita tentang teman perempuan yang dekat denganku itu. Dengar-dengar dia sudah jadian dengan seorang laki-laki dari kelas lain. Awalnya saya tidak percaya. Tapi setelah melihat langsung dia sering berduaan dengan seorang lelaki anak kelas X-1 saya baru percaya. Dia sebelumnya pernah bilang padaku kalau wanita itu ingin dimengerti dan dilindungi. Akan tetapi saya tidak pernah merespon omongannya itu. Mungkin lantaran hal itu sehingga dia butuh seorang yang menemaninya lebih dekat bukan sekedar teman biasa. Waktu itu saya hanya pernah berpesan kepadanya untuk mengenakan jilbab, karena sejak pertama SMA dia tidak berjilbab. Saya pun sebenarnya seperti merasakan kehilangan dia, karena sejak dia jadian dengan lelaki itu dia jadi jarang berkomunikasi dengan saya. Bagi saya dia adalah seorang yang pertama hadir dan memberi motivasi di saat awal SMA kelas 1 waktu itu.
Masa-masa kelas satu pun usai juga. Saya naik kelas 2 dan masuk kelas IPA sedangkan dia masuk kelas IPS. Sejak saat itu saya jadi jarang bertemu dengannya, kalau pun bertemu kami hanya saling tersenyum saja. Mungkin dia bukan jodoh saya, dan sekarang pun saya dan dia sudah tidak sekelas lagi. Saya berusaha mencoba melupakan dan menghilangkan luka-luka itu dan mencoba beradaptasi di kelas yang baru dan teman-teman baru juga. Pada awal kelas 2 ini saya sempat kaget ketika melihat dia sekarang sudah mengenakan jilbab. ‘Subhanallah, dia kelihatan beda sekali dengan berjilbab seperti itu’, pikirku dalam hati. Ternyata pesanku waktu itu, sekarang terealisasi juga olehnya. Akan tetapi di hatinya sekarang sudah ada orang lain dan saya hanya bisa bersabar menghadapinya.
Seiring dengan berjalannya waktu saya sudah beradaptasi di kelasku yang baru. Sepertinya ada angin segar yang kembali melewatiku lagi. Luka yang tadinya masih terasa di hati kini mulai hilang. Saya mendapat kenalan baru. Bisa dibilang dia lebih cantik dari yang lainnya dan menjadi primadona di kelas IPA waktu itu. Dalam hatiku berkata ‘apa ini yang akan menggantikan kekosongan hatiku ini?’. Walau sebenarnya saya pun tidak pernah mengungkapkan terus terang akan perasaanku kepada seseorang. Saya masih ingat pesan orang tuaku dan amanah dari ustadzku juga. Tapi terkadang lingkungan berkata lain, lingkungan selalu mempengaruhiku untuk mendekatinya. Dia orangnya berjilbab, pintar, sedikit pendiam dan berasal dari keluarga yang mampu. Saya sepertinya sedikit menyukainya, tapi saya selalu menyembunyikan perasaan ini. Hingga suatu ketika setelah hampir satu semester saya pun mencoba terus terang dengannya. Saya menuangkan perasaanku lewat sebuah buku diari kecil dan saya kasihkan ke dia lewat teman dekatnya. Waktu itu mau liburan UAS selama satu bulan. Dan akhirnya setelah masuk dia baru mengasihkan balasan lewat buku itu. Suatu jawaban yang membuatku kaget dan terasa pedih membacanya. Dia menyalahkanku, ‘kenapa kamu tidak terus terang dengan perasaanmu itu dan bilang langsung kepadaku, kata dia. Kalau punya perasaan dengan seseorang jangan disimpan di hati, akhirnya kamu sendiri yang rugi, karena hatiku sekarang sudah ada yang memiliki’, tambahnya. Sehari setelah itu saya pun mencoba bertemu langsung dengannya, kebetulan waktu itu tidak ada pelajaran karena lagi ada pentas seni di aula sekolahku. Saya menemuinya di depan kelas, kebetulan cukup sepi suasananya sehingga saya pun memberanikan diri untuk bertemu langsung dengannya. Saya mengungkapkan segala perasaanku kepadanya penuh dengan rasa takut, grogi dan tidak percaya diri. Karena hari itu merupakan pertama kalinya saya mengatakan perasaanku kepada seseorang secara langsung. Akan tetapi apa yang terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada harapan lagi, semua sudah terlanjur terjadi. Dia pun menjawab seperti yang dia tulis di buku diari kecilku itu. ‘Hatiku sudah ada yang menempati’ katanya. Ternyata seorang lelaki yang telah ada di hatinya itu adalah teman sebangku dan teman akrabku sendiri, katanya. Kala itu juga saya tersentak kaget mendengarnya. ‘Sejarah kedua kembali terulang lagi, persis sama seperti saat kelas satu dulu’ kataku dalam hati. Sedih rasanya dan hatiku hanya bilang sakit hati dan seperti tersayat-sayat. Jawabannya dia telah menampar hati ini menjadi pilu kuadrat. Tapi walau demikian, saya tidak begitu merasa menyesal yang mendalam dan menganggap itu sebagai pengalaman dan kenangan yang menghiasi hidupku tentang sebuah cinta. Cinta yang pada awalnya sangat mengindahkan dan akhirnya menyakitkan karena tak terealisasikan menjadi kupu-kupu yang indah. Mungkin sekarang belum waktunya cintaku bermetamorfosis sempurna menjadi kupu-kupu yang elok, karena saya masih ingat terus akan pesan orangtuaku dan pesan amanah dari ustadzku itu. Suatu saat nanti saya pasti akan menjemput kupu-kupu yang indah itu dan memiliki seutuhnya dalam bahtera hidupku kelak. Amin Yaa Robbal’alamin….

Boleh berkomentar…. Jangan lihat kisahnya saja, tapi ambil dan petiklah hikmah dan pesan apa yang dapat diambil di dalamnya…… Semoga bermanfaat…!!!!
Ditulis saat PKL (Praktek Kerja Lapangan) di LIPI Cibinong Bogor, Februari 2011

0 comments: