“Ibumu….,
ibumu….., ibumu…., lalu ayahmu”
“Duh
sangang sasi aku diemban, dening ibuku ing pedaharan. Nalika iku ibuku nampa
kamelaraten lan tumpa-tumpa” (Selama
sembilan bulan aku dikandung dalam perut ibu, ketika itu ibu merasakan betapa
susah dan repotnya mengandungku). Ibu, bisakah aku meminjam hatimu sebentar?
Agar aku bisa merasakan bagaimana letihnya engkau dalam senyuman. Agar aku juga
bisa merasakan kelembutan hatimu yang begitu dalam dan kasih sayangmu yang
begitu tulus ikhlas sepanjang masa. Pengorbanan dan jerih payahmu begitu luar biasa
hebatnya untuk anakmu ini (kutipan catatanku “SELEMBUT HATI SANG PERMAISURI” yang tertuang dalam buku antologiku
ke-3 yang berjudul Perempuanku (Surat Cinta Untuk Ibu) terbit
Mei 2012 oleh penerbit Puput
Happy Publishing Tegal. “Kaulah
ibuku cinta kasihku. Terima kasihku takkan pernah terhenti. Kau bagai matahari
yang selalu bersinar. Sinari hidupku dengan kehangatanmu…” (reff lagu “Ibu”, by: Hadad Alwi feat
Farhan). Begitu menyentuh hati mendengarkan lirik lagu ini. Maknanya sangat
dalam sekali.
“Engkau
telah mengerti hitam dan merah jalan ini. Keriput tulang pipimu gambaran
perjuangan. Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari, kini kurus dan
terbungkus. Namun semangat tak pernah pudar, meski langkahmu kadang gemetar,
kau tetap setia. Ayah, dalam hening sedih ku rindu” petikan lagu “Titip Rindu Buat Ayah” karya Ebiet G. Ade ini selalu membuatku rindu dengan ayah. Semangatnya
selalu terpahat setiap saat. Karirnya terukir jelas dalam keistiqomahan
menafkahi keluarga. Kerasnya perantauan tak pernah menggoyahkan jiwa
tangguhnya. Sabarnya selalu berkobar walau harus mendorong gerobak setiap hari.
Ikhlasnya selalu terhias dalam setiap kelelahan yang menghampirinya (kutipan catatanku
“Jerih
(P) Ayah Tak Kenal Lelah” yang tertuang
dalam buku antologiku ke-7 yang berjudul
“Kepada Ayah” (Penerbit Harfeey Yogyakarta, terbit April 2013).
Lahir sendiri dan tanpa menangis. Lahir
tanpa seorang dokter atau bidan (kala itu memang belum ada). Hanya ada tukang
bayi yang dikenal dengan istilah dukun bayi (kalau sekarang setara seperti
bidan), tapi waktu itu dukun bayi pun datang telat, si bayi sudah keburu lahir
dengan sendiri. Perjuangan ibu seorang diri di rumah sederhana. Karena waktu itu
sang ayah lagi merantau mencari nafkah. Belum ada telepon apalagi HP. Alhasil
sang ayah pun baru pulang setelah kurang lebih dua pekan setelah kelahiran bayi
tersebut. Begitulah singkat cerita kejadian 23 tahun silam pada hari Ahad siang
(10 hari pasca HUT RI di tahun 1990). Prosesi kelahiran seorang bayi yang baru
aku ketahui saat ayah bercerita tatkala bersilaturahim ke rumah nini (3 Syawal
1434 H/ Agustus 2013). Memang, sungguh sangat luar biasa perjuangan seorang ibu
dan ayah. Kasihnya orangtua sepanjang jalan, tapi kasih anak kepada orangtua
hanya sepanjang galah. Walau demikian, semoga aku bisa selalu memberikan senyum
indah di hati mereka. Menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepadanya. Aamiin
ya robbal’alamin.
“Sesungguhnya kebaikan yang paling utama
adalah seseorang
memilihara
hubungan baik dengan orangtuanya”
(H.R.
Muslim dari Ibnu ‘Umar)
Tak terasa kini usiaku sudah menginjak
23 tahun. Tapi apa yang sudah aku berikan untuk kedua orangtuaku? Apa budi
balasku kepada mereka? Sudahkah aku berbakti kepadanya? Sudah seringkah aku
mendo’akan mereka? Sudah berapa banyak mereka mengeluarkan biaya hingga aku
lulus kuliah S1 ini? Pertanyaan-pertanyaan ini semoga bisa menjadi spirit agar
kita selalu berbakti kepada kedua orangtua kita.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Diadan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya
sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu
membentak mereka, dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, Sayangilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”
(Q.S. Al-Israa: 23-24).
Purwokerto, 27 Agustus 2013
0 comments:
Post a Comment