Friday, 30 August 2013

Editorial 23: Berbakti Kepada Orangtua

“Ibumu…., ibumu….., ibumu…., lalu ayahmu”

“Duh sangang sasi aku diemban, dening ibuku ing pedaharan. Nalika iku ibuku nampa kamelaraten lan tumpa-tumpa” (Selama sembilan bulan aku dikandung dalam perut ibu, ketika itu ibu merasakan betapa susah dan repotnya mengandungku). Ibu, bisakah aku meminjam hatimu sebentar? Agar aku bisa merasakan bagaimana letihnya engkau dalam senyuman. Agar aku juga bisa merasakan kelembutan hatimu yang begitu dalam dan kasih sayangmu yang begitu tulus ikhlas sepanjang masa. Pengorbanan dan jerih payahmu begitu luar biasa hebatnya untuk anakmu ini (kutipan catatanku “SELEMBUT HATI SANG PERMAISURI” yang tertuang dalam buku antologiku ke-3 yang berjudul Perempuanku (Surat Cinta Untuk Ibu) terbit Mei 2012 oleh penerbit Puput Happy Publishing Tegal. Kaulah ibuku cinta kasihku. Terima kasihku takkan pernah terhenti. Kau bagai matahari yang selalu bersinar. Sinari hidupku dengan kehangatanmu…” (reff lagu “Ibu”, by: Hadad Alwi feat Farhan). Begitu menyentuh hati mendengarkan lirik lagu ini. Maknanya sangat dalam sekali.

“Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini. Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan. Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari, kini kurus dan terbungkus. Namun semangat tak pernah pudar, meski langkahmu kadang gemetar, kau tetap setia. Ayah, dalam hening sedih ku rindu” petikan lagu “Titip Rindu Buat Ayah” karya Ebiet G. Ade ini selalu membuatku rindu dengan ayah. Semangatnya selalu terpahat setiap saat. Karirnya terukir jelas dalam keistiqomahan menafkahi keluarga. Kerasnya perantauan tak pernah menggoyahkan jiwa tangguhnya. Sabarnya selalu berkobar walau harus mendorong gerobak setiap hari. Ikhlasnya selalu terhias dalam setiap kelelahan yang menghampirinya (kutipan catatanku “Jerih (P) Ayah Tak Kenal Lelahyang tertuang dalam buku antologiku ke-7 yang berjudul “Kepada Ayah” (Penerbit Harfeey Yogyakarta, terbit April 2013).

Lahir sendiri dan tanpa menangis. Lahir tanpa seorang dokter atau bidan (kala itu memang belum ada). Hanya ada tukang bayi yang dikenal dengan istilah dukun bayi (kalau sekarang setara seperti bidan), tapi waktu itu dukun bayi pun datang telat, si bayi sudah keburu lahir dengan sendiri. Perjuangan ibu seorang diri di rumah sederhana. Karena waktu itu sang ayah lagi merantau mencari nafkah. Belum ada telepon apalagi HP. Alhasil sang ayah pun baru pulang setelah kurang lebih dua pekan setelah kelahiran bayi tersebut. Begitulah singkat cerita kejadian 23 tahun silam pada hari Ahad siang (10 hari pasca HUT RI di tahun 1990). Prosesi kelahiran seorang bayi yang baru aku ketahui saat ayah bercerita tatkala bersilaturahim ke rumah nini (3 Syawal 1434 H/ Agustus 2013). Memang, sungguh sangat luar biasa perjuangan seorang ibu dan ayah. Kasihnya orangtua sepanjang jalan, tapi kasih anak kepada orangtua hanya sepanjang galah. Walau demikian, semoga aku bisa selalu memberikan senyum indah di hati mereka. Menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepadanya. Aamiin ya robbal’alamin.

Sesungguhnya kebaikan yang paling utama adalah seseorang
memilihara hubungan baik dengan orangtuanya
(H.R. Muslim dari Ibnu ‘Umar)

Tak terasa kini usiaku sudah menginjak 23 tahun. Tapi apa yang sudah aku berikan untuk kedua orangtuaku? Apa budi balasku kepada mereka? Sudahkah aku berbakti kepadanya? Sudah seringkah aku mendo’akan mereka? Sudah berapa banyak mereka mengeluarkan biaya hingga aku lulus kuliah S1 ini? Pertanyaan-pertanyaan ini semoga bisa menjadi spirit agar kita selalu berbakti kepada kedua orangtua kita.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Diadan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’  dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, Sayangilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” 

(Q.S. Al-Israa: 23-24).



Purwokerto, 27 Agustus 2013

0 comments: