Aku berdiri di tepi pantai. Pasir putih terlihat cerah memukau. Jernihnya laut seperti akuarium raksasa. Miliaran ikan tampak menari-nari. Terumbu karang mempercantik panorama bawah laut ini. Itulah lautan Loloda Kepulauan. Lautku tak cukup itu saja. Pala, cengkeh dan kelapa adalah komoditi utama Pulau Rempah ini. Tak hanya itu, sekeping batu pun bernilai tinggi. Batu-batu Loloda Kepulauan menjadi primadona di Indonesia. “Ini laut atau kolam renang?” pikirku di atas Katinting (motor laut sejenis perahu kecil). Jernihnya laut di Pulau ini, jadi terbayang dengan lantai istananya Nabi Sulaeman. Mungkin inilah salah satu alasannya Halmahera Utara dijuluki sebagai “The Pearl of The Pacific”. Inilah tempatku mengabdi selama 1 tahun di Maluku Utara. Dibalik kekagumanku akan pulau ini, aku jadi teringat dengan kata-kata Bung Hatta yaitu “Molukken is het het verleden, Java is het heden en Sumatra is de toekomst” (Maluku adalah masa lalu, Jawa masa sekarang dan Sumatera adalah masa depan). Peribahasa tersebut dulu menjadi semboyan kaum kolonial Belanda. Tapi bagi bangsa Indonesia saat ini, apakah Maluku masih menjadi masa lalu?
Betapa
susahnya tinggal di daerah terpencil yang minim akses. Padahal sekarang sudah
memasuki era informasi dan teknologi modern. Akan tetapi masih banyak
daerah-daerah yang belum bisa merasakan kecanggihan teknologi seperti yang ada
di Pulau Jawa dan Sumatera. Karena tak ada signal, tak ada listrik. Itulah yang
masih terjadi di Loloda Kepulauan, salah satu daerah terpencil yang ada di
Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Untuk lampu penerangan di sebuah desa
kecamatan kepulauan ini masih menggunakan
diesel yang hanya menyala dari jam 18.30-24.00. Padahal mesin ini ditemukan
oleh Rudolf Diesel (sang penemu mesin diesel) sejak tahun 1897 silam. Katanya,
Indonesia sudah 69 tahun merdeka, kenapa listrik (PLN) belum juga masuk ke
pulau ini? Warga Loloda Kepulauan harus berjuang setengah mati untuk
mendapatkan yang namanya listrik. Perlu solar untuk bisa mendapatkan listrik,
karena harus menghidupkan diesel terlebih dahulu. Harga bahan bakar naik dua
kali lipat, karena untuk membeli bahan ini harus ke kota yang jaraknya sangat
jauh (butuh waktu kurang lebih 6 jam) dengan menggunakan kapal kayu yang hanya
ada 2x seminggu. Dibandingkan dengan Jawa atau Sumatera
sangatlah jauh tertinggal. Apakah wilayah Indonesia Timur kurang mendapat
perhatian pemerintah atau kita sendiri yang melupakan daerah tersebut. Padahal
daerah Papua-Maluku sangatlah kaya alamnya (khususnya lautannya). Belum lagi
rempah-rempahnya khususnya kelapa, cengkeh dan pala sangat melimpah ruah.
Andai
Bung Hatta masih masih ada di Maluku, tentu saya akan sering baronda (berkunjung) ke tempat beliau
untuk berdiskusi dan menimba ilmu dengan Gandhi of Java ini. Maluku tempo dulu
pernah menjadi masa kelam bagi Bung Hatta. Mengapa? Karena tempat inilah yang
dulu pernah menjadi tempat pengasingan Bung Hatta di Bandaneira,
Maluku. Sebelumnya beliau ditempatkan di
Boven
Digul, Irian Barat (kini Papua) sebagai tempat pembuangan. Kedua tempat
pengasingan tersebut tentunya merupakan daerah yang sunyi, pelosok dan
terpencil. Walau
berada di daerah pembuangan tersebut Hatta tetap gigih memperjuangkan
Indonesia, bersikap non-koperatif dengan Belanda, rajin membaca buku dan
menulis karangan bermakna. Saya sangat kagum dengan jiwa patriot dan
ketangguhan semangatnya Bung Hatta yang senantiasa berkobar. Saya jadi teringat
dengan pesan Bung Hatta yang ditujukan kepada saudara-saudaranya yang
diinternir (dibuang) dalam perasingan, beliau mengingatkan: “Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup
aku gembira. Dan dimana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh
bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku”. Kalau kita cermati
kata-katanya sungguh sangat dahsyat dan menyentuh hati.
Pesan Bung Hatta adalah dimanapun kita
berada di bagian bumi yang masih menjadi bagian Indonesia, teruslah gembira dan
tumbuhkan cita-cita yang kuat untuk membangun bangsa ini. Saya sendiri menyadari betul saat berada di
daerah terpencil di Maluku Utara ini, saya belajar banyak akan aneka macam
problematika yang ada di tempat saya tugas ini sebagai relawan Sekolah Guru
Indonesia. Semoga langkah kecil saya ini juga menjadi bagian dari cita-cita
menyalakan cita-cita seperti yang dipesankan oleh Bung Hatta. Karena saya
optimis, meski daerah-daerah Papua-Maluku masih banyak yang tertinggal suatu
saat nanti akan bangkit dari keterpurukan ini. Saya sendiri merasakan bahwa
Indonesia adalah negara maritim, saat saya menginjakkan kaki di tanah Loloda
Kepulauan, tempat saya bertugas tersebut. Tapi, apakah daerah-daerah tersebut akan terus
tertinggal jauh dari provinsi-provinsi lainnya? Karena hingga saat ini wilayah tersebut
masih saja terisolasi baik dalam kemajuan sosial, budaya, pendidikan, akses,
teknologi dan lain sebagainya.
Saya
jadi teringat dengan sebuah quote dalam buku berjudul Good News From Indonesia,
yaitu “apabila kita tinggal satu hari saja di setiap pulau di Indonesia, maka
kita akan menghabiskan setidaknya 46 tahun untuk bisa tinggal di seluruh pulau
di negeri ini. Apabila wilayahnya diletakkan di Benua Eropa, Indonesia akan
membentang dari ujung utara Irlandia hingga Afganistan. Jarak antara Sabang dan Merauke adalah 5.248 km, lebih panjang daripada
jarak antara London (Inggris) ke Mekkah (Saudi Arabia), yakni hanya 4.788 km”.
Begitulah gambaran fakta Indonesia dalam buku yang ditulis oleh Akhyari
Haryanto tersebut. Selain memunculkan semangat dan optimisme yang tinggi
tentang kemajuan Indonesia pada masa sekarang hingga nanti, buku ini juga
disertai dengan fakta dan data menarik dari berbagai kalangan tentang posisi,
peran dan prospek kemajuan Indonesia di masa mendatang. Masa depan kita ada
di tangan orang yang saat ini optimis dan giat bekerja, bukan orang yang
pesimis dan suka mencela. Masa depan kita ada di tangan orang yang cinta
negaranya, bukan orang yang suka menyanjung bangsa lain, begitu kata Pak
Akhyari.
Andai Bung Hatta masih hidup, saya
ingin menyampaikan pesan kepada beliau bahwa “Indonesia Timur (Papua-Maluku)
akan menjadi maju dan bangkit di tangan-tangan generasi muda yang gigih,
tangguh, dan punya keberanian yang tinggi dalam bersikap seperti sosok Bung
Hatta”. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Kalau kita
meratapi masalah akutnya yang ada di wilayah ini, tentu kita akan muak
melihatnya. Hanya sabar yang bisa
membuat saya bertahan menghadapi semua itu. Tentunya saya titipkan gagasan dan
motivasi saya kepada siswa-siswiku. Saya juga sering berpesan kepada anak-anak
didikku (khususnya di SDN Fitako, Halmahera Utara) bahwa merekalah generasi
yang akan memajukan tanah kelahiran mereka. Anak-anak dimanapun berada sama,
mereka punya semangat dan cita-cita yang tinggi. Merekalah yang akan memimpin
dan mengelola masa depan Pulau Rempah ini. Sekarang bukan lagi menanyakan ‘mengapa
Indonesia Timur masih tertinggal?’. Tapi, mari kita lihat negeri ujung timur
Indonesia ini akan maju oleh mereka (generasi mudanya).
*Tulisan tersebut adalah
essai karyaku untuk FIM-17
0 comments:
Post a Comment