Sunday, 28 February 2016

Hujan dan Sekeping Perasaan


            Adakah yang lebih kuat dari hati? Adakah yang lebih hebat dari perasaan? Adakah yang lebih lebat dari hujan? Itulah keistimewaan yang dimiliki insan, yang tak dimiliki makhluk hidup lainnya. Kesempurnaan yang diberikan oleh Sang Sutradara Kehidupan. Sebuah anugerah bernama pe-rasa-an yang dimunculkan oleh hati. Apa jadinya coba kalau hati tak diberi perasaan? Bisa jadi seperti hujan yang terus turun tak berkesudahan. Perasaan memang tak sama dengan hujan. Tapi keduanya selalu beriringan. Ya, selalu ada rasa yang dipancarkan oleh tetesan hujan. Ada rasa yang kerap kali mencuat saat hujan datang menyapa. Rasa apakah itu? Jangan tanya pada rumput yang bergoyang, hehe.
         
   Ada pepatah mengatakan “dalamnya lautan masih bisa diukur, tapi dalamnya hati seseorang belum ada ilmuan yang bisa mengukurnya”. Itulah perasaan. Terkadang bisa bikin orang tak bisa tidur. Terkadang juga bisa bikin sakit hati. Kalau zaman sekarang istilahnya adalah baper (bawa perasaan). Emang perasaan bisa dibawa? Bukannya setiap detik perasaan itu selalu menempel di hati? Mau dibawa kemana coba? Hehe. Dalam situasi lain sebuah perasaan itu pasti muncul manakala kita berinteraksi dengan orang lain. Rasa senang, bahagia, sedih, susah, takut, happy, enjoy, capek, lelah, dan aneka macam jenis rasa yang lainnya. Silih datang berganti. Seperti role coaster, naik turun bergelombang selalu bergantian setiap waktunya.

            Sekeping perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Seperti hujan pagi ini yang tak kunjung berhenti. Sejak pagi hari badha shubuh hingga siang bolong ini langit masih saja meneteskan air matanya. Mungkin jika hujan bisa bicara, hujan akan mengatakan kalau ia sedang sedih. Sedih yang diekspresikan dengan derasnya air mata (air hujan) yang diturunkan, hehe. Tapi, ternyata dugaan mata manusia salah. Segerombolan pasukan H2O tersebut bukanlah pertanda kalau hujan sedang bersedih. Justru hujan itu berkah, karena membawa rahmat. Jangan melihat satu sisi saja. Lihatlah sisi yang lain. Hujan terus menerus katanya menyebabkan banjir? Bukankah banjir itu dampak akibat ulah manusia itu sendiri. Jadi hujan bukanlah penyebab utama banjir. Hujan justru menebarkan kebaikan, karena mampu menyuburkan tanaman dan memberi manfaat bagi segenap makhluk penghuni bumi.

Dialah Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu. Sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanaman-tanaman; zaitun, kurma,  anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S. An-Nahl: 10-11). Sudah jelas bukan? Turunnya hujan itu membawa keberkahan bagi sekalian penduduk alam semesta ini.

Begitulah efek manfaat yang dipantulkan hujan. Sama seperti sekeping perasaan yang harus terus diasah kepekaannya. Jika ingin dipahami, belajarlah memahami terlebih dahulu. Dipahami itu mudah karena ia pasif. Tapi memahami harus aktif. Karena dipahami (kata pasif), sedangkan memahami (kata aktif). Jelas untuk memahami perlu energi lebih. Perlu banyak mendengarkan dari pada banyak berbicara. Bukankah kita diciptakan dengan satu mulut, dua telinga dan dua mata? Apakah itu maksudnya kita harus sedikit berbicara, banyak melihat dan banyak mendengar? Itulah seninya memahami perasaan. Perlu hati untuk menampung rasa, dan mendengarkan banyak hal.

Sekeping perasaan yang terkadang butuh banyak energi untuk memahami perasaan orang lain. Bukankah perasaan itu lebih mudah pecah dibandingkan kaca? Menjaga perasaan memang berat. Perlu kata-kata yang tepat. Sedikit tak masalah, asal tak melukai perasaan yang lain. Karena seperti yang tadi saya katakan, perasaan itu seperti roal coaster. Yaziidu wayankus. Naik turun. Perlu penyampaian yang pas. Butuh komunikasi yang tak mengoyak nurani. Kata yang tepat, untuk perasaan yang tepat.

Sekeping perasaan yang butuh sama-sama saling memahami, bukan hanya saling dipahami. Karena hati ingin dimengerti. Karena perasaan juga ingin dimengerti. Kata pepatah “Kun ‘aaliman,takun ‘aarifan”. Ketahuilah lebih banyak, akan menjadikan kita orang yang bijak. Hujan pagi ini masih menyisakan sekeping perasaan yang harus diuraikan. Bersambung.........

Senja di petang hari
Bogor, 28 Februari 2016

            

0 comments: