Ada
apa dengan diri yang khilaf? Siapa? Kenapa? Aku? Kamu? Atau Mereka? Entahlah. Yang
jelas, refleksi adalah jalan alternatif bagi sebuah kealpaan. Jika kesibukan
dan aktifitasmu tak menghadirkan ketenangan, maka ada yang perlu dievaluasi. Jika
rangkaian ibadahmu juga tak mendatangkan ketentraman, maka tengoklah diri apa
yang keliru. Jika kebaikan itu bersifat relatif, lalu bagaimana dengan
keburukan? Sekali lagi refleksi dan introspeksilah, agar engkau menemui titik
temu. Agar engkau bisa menghadirkan solusi yang bisa jadi baik untuk mengobati
luka yang sedang engkau rasakan itu. Jika memang ada yang salah,
bermusyawarahlah baik-baik. Bukan menghakimi sepihak. Terkadang mata kita perlu
pakai kaca mata kuda, perlu mendengarkan lebih banyak dan butuh santun dalam
mengklarifikasi sesuatu yang sudah terjadi.
Setahun itu rasanya cepat sekali berlalu. Sangat singkat.
Seperti jantung yang berdetak tiap detiknya. Apalagi sebulan, seminggu atau
sehari. Lalu apa yang membuatnya lebih cepat atau lebih lama? Perbedaan itu
tentulah hanya soal rasa yang mengatakan. Lalu jika ditanya, “apa yang sudah
dilakukan selama kurun waktu itu?”. Berhasilkah? Meningkatkah? Atau bahkan sebaliknya,
mengalami kegagalan? Jika hidupmu selama sehari, seminggu, sebulan atau setahun
mengalami stagnan, biasa-biasa saja, tidak ada peningkatan, atau bahkan menurun
maka tengoklah diri baik-baik. Apa yang salah dalam hidup kita selama ini? Jika
memang punya visi, misi dan target yang kita bidik, lantas tak menghasilkan
perubahan sedikit pun, maka evaluasilah secepat mungkin. Ambil langkah,
refleksi, koreksi dan ciptakan strategi baru untuk menghadapinya.
Diam di tempat, bukanlah solusi. Teruslah menjadi
pembelajar. Baik sebagai diri pribadi maupun sebagai instansi (lembaga,
organisasi atau yang lainnya). Saling menyalahkan bukanlah jawaban. Apalagi mencari
kambing hitam. Karena terkadang memang betul juga pepatah ini: “gajah di
pelupuk mata tak tampak, tapi bakteri di ujung gunung terlihat jelas”. Membiarkan
hal tersebut terus menerus, sama saja kemunduran. Karena lagi-lagi tak mau
belajar dari kesalahan sebelumnya. Alangkah baiknya jika menyalakan lilin,
daripada mengutuk kegelapan. Stop, berhenti menyalahkan orang lain. Tapi introspeksi
diri itu jauh lebih bermakna. Terkadang memang harus peka dengan cara “memahami”
dan “mengerti” keadaan. Inilah yang sulit. Jika tak ada kepekaan dalam diri. Jika
tak ada kepedulian untuk berbenah. Maka semua itu mustahil untuk dilakukan.
Karena memahami itu memang perlu banyak energi. Butuh empati
tingkat tinggi. Karena memang secara kata “memahami” itu adalah kata kerja
aktif. Berbeda kebalikannya dengan “dipahami” yang merupakan kata kerja pasif. Pun
sama sesuai konteksnya “dipahami” tak perlu banyak energi, karena menjadi
objek. “Dipahami” berarti hanya ingin diperhatikan tanpa memperdulikan dan
mengabaikan yang lainnya. Maka sudah sepatutnya “memahami” itulah yang harus terus
diasah agar mengerti kondisi yang sebenarnya. Agar mengetahui segala sesuatu
secara mendalam, maka diperlukan “memahami” terlebih dahulu. Mari saling
bergandengan tangan, saling merangkul dan saling memahami satu sama lain demi
keharmonisan sebuah hubungan. Bukankah kekeluargaan dan ukhuwah adalah rasa
yang harus dimiliki dan harus ada dalam sebuah ikatan?
Wahai gersang, cepatlah berlalu. Siramilah, rawatlah, dan
pupuklah agar tak mudah layu. Jagalah ia dengan gigih. Perjalanan masih
panjang. Asah kembali tekadmu. Bukalah kepekaan nuranimu dalam memahami
situasi. Hingga bersemi telah tampak kembali. Sampai pada akhirnya manisnya
hasil perjuangan dapat kita rasakan bersama-sama. Untukku, untukmu dan untuk
kita (atau untuk mereka) yang sedang merasakan pahitnya kegersangan. Bersemilah...!!!
Tegal, 2 Juli 2016 /
27 Ramadhan 1437 H
0 comments:
Post a Comment