Saturday, 2 July 2016

Gersang, Segeralah Bersemi...!


            Ada apa dengan diri yang khilaf? Siapa? Kenapa? Aku? Kamu? Atau Mereka? Entahlah. Yang jelas, refleksi adalah jalan alternatif bagi sebuah kealpaan. Jika kesibukan dan aktifitasmu tak menghadirkan ketenangan, maka ada yang perlu dievaluasi. Jika rangkaian ibadahmu juga tak mendatangkan ketentraman, maka tengoklah diri apa yang keliru. Jika kebaikan itu bersifat relatif, lalu bagaimana dengan keburukan? Sekali lagi refleksi dan introspeksilah, agar engkau menemui titik temu. Agar engkau bisa menghadirkan solusi yang bisa jadi baik untuk mengobati luka yang sedang engkau rasakan itu. Jika memang ada yang salah, bermusyawarahlah baik-baik. Bukan menghakimi sepihak. Terkadang mata kita perlu pakai kaca mata kuda, perlu mendengarkan lebih banyak dan butuh santun dalam mengklarifikasi sesuatu yang sudah terjadi.

            Setahun itu rasanya cepat sekali berlalu. Sangat singkat. Seperti jantung yang berdetak tiap detiknya. Apalagi sebulan, seminggu atau sehari. Lalu apa yang membuatnya lebih cepat atau lebih lama? Perbedaan itu tentulah hanya soal rasa yang mengatakan. Lalu jika ditanya, “apa yang sudah dilakukan selama kurun waktu itu?”. Berhasilkah? Meningkatkah? Atau bahkan sebaliknya, mengalami kegagalan? Jika hidupmu selama sehari, seminggu, sebulan atau setahun mengalami stagnan, biasa-biasa saja, tidak ada peningkatan, atau bahkan menurun maka tengoklah diri baik-baik. Apa yang salah dalam hidup kita selama ini? Jika memang punya visi, misi dan target yang kita bidik, lantas tak menghasilkan perubahan sedikit pun, maka evaluasilah secepat mungkin. Ambil langkah, refleksi, koreksi dan ciptakan strategi baru untuk menghadapinya.

            Diam di tempat, bukanlah solusi. Teruslah menjadi pembelajar. Baik sebagai diri pribadi maupun sebagai instansi (lembaga, organisasi atau yang lainnya). Saling menyalahkan bukanlah jawaban. Apalagi mencari kambing hitam. Karena terkadang memang betul juga pepatah ini: “gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi bakteri di ujung gunung terlihat jelas”. Membiarkan hal tersebut terus menerus, sama saja kemunduran. Karena lagi-lagi tak mau belajar dari kesalahan sebelumnya. Alangkah baiknya jika menyalakan lilin, daripada mengutuk kegelapan. Stop, berhenti menyalahkan orang lain. Tapi introspeksi diri itu jauh lebih bermakna. Terkadang memang harus peka dengan cara “memahami” dan “mengerti” keadaan. Inilah yang sulit. Jika tak ada kepekaan dalam diri. Jika tak ada kepedulian untuk berbenah. Maka semua itu mustahil untuk dilakukan.

            Karena memahami itu memang perlu banyak energi. Butuh empati tingkat tinggi. Karena memang secara kata “memahami” itu adalah kata kerja aktif. Berbeda kebalikannya dengan “dipahami” yang merupakan kata kerja pasif. Pun sama sesuai konteksnya “dipahami” tak perlu banyak energi, karena menjadi objek. “Dipahami” berarti hanya ingin diperhatikan tanpa memperdulikan dan mengabaikan yang lainnya. Maka sudah sepatutnya “memahami” itulah yang harus terus diasah agar mengerti kondisi yang sebenarnya. Agar mengetahui segala sesuatu secara mendalam, maka diperlukan “memahami” terlebih dahulu. Mari saling bergandengan tangan, saling merangkul dan saling memahami satu sama lain demi keharmonisan sebuah hubungan. Bukankah kekeluargaan dan ukhuwah adalah rasa yang harus dimiliki dan harus ada dalam sebuah ikatan?

            Wahai gersang, cepatlah berlalu. Siramilah, rawatlah, dan pupuklah agar tak mudah layu. Jagalah ia dengan gigih. Perjalanan masih panjang. Asah kembali tekadmu. Bukalah kepekaan nuranimu dalam memahami situasi. Hingga bersemi telah tampak kembali. Sampai pada akhirnya manisnya hasil perjuangan dapat kita rasakan bersama-sama. Untukku, untukmu dan untuk kita (atau untuk mereka) yang sedang merasakan pahitnya kegersangan. Bersemilah...!!!
            

Tegal, 2 Juli 2016 /

 27 Ramadhan 1437 H

0 comments: