Saturday, 25 November 2017

Lentera Hati Guru Pembelajar


Menjadi guru itu pilihan atau nasib? Prioritas menjadi guru bukanlah pilihan banyak orang. Memilih profesi menjadi guru karena gaji tinggi, mungkin menjadi pilihan banyak cagur (calon guru). Tetapi, untuk menjadi guru karena panggilan hati atau passion mungkin sudah jarang kita temui di zaman ‘guru bersertifikasi’ seperti sekarang ini. Padahal guru adalah aset bangsa yang sangat strategis. Guru adalah arsitek peradaban. Begitulah salah satu pepatah penting yang melekat pada guru (sang pembangun insan cendekia). Keberhasilan seorang guru adalah ketika telah berhasil memberikan hati dan kepribadiannya dalam mendidik siswa-siswinya. Tapi, sudahkah menjadi guru yang terbaik bagi peserta didik? Karena tugas seorang guru bukan hanya sekedar mengajar materi dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’. Mendidik karakter, membimbing dengan penuh kasih sayang, dan membina peserta didik dengan penuh ketulusan juga merupakan tugas dari seorang guru.

            Sejak diberlakukannya undang-undang guru dan dosen oleh pemerintah, profesi guru menjadi favorit pilihan banyak orang. Mungkin karena tunjangan dan gaji yang cukup menjanjikan, walau harus berjuang setengah mati dengan meraih gelar sertifikasi terlebih dahulu. Lalu bagaimana dengan nasib para guru honorer? Mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi menjadi guru tak bisa menyandang gelar bergengsi tersebut. Memang, guru PNS dan guru honorer ibarat sekeping uang logam yang saling bertolakbelakang dalam hal tunjangan. Padahal sama-sama berprofesi sebagai guru dengan jumlah jam mengajar yang sama. Lantas, manakah yang paling punya andil besar antara guru PNS atau guru honorer dalam mendidik peserta didiknya? Jawabannya ada di hati masing-masing guru tersebut. Perbedaan guru PNS dengan guru honorer bukan pada gaji, tapi “hati”lah yang menjadi pembedanya. Bukan pula pada besarnya tunjangan yang tinggi, akan tetapi mendidiknya karena panggilan hati dan mengajarnya dengan sepenuh cinta, itulah guru pembelajar sejati.

Guru pembelajar adalah guru yang senantiasa mengupgrade diri, memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang pendidik yang profesional. Sebagai guru pembelajar (baik guru PNS, honorer maupun kontrak), tak ada kata berhenti dalam belajar. Tiada hari tanpa menimba dan menambah ilmu dari sumber mana saja. Setiap selesai pembelajaran senantiasa melakukan refleksi diri, perenungan dan evaluasi diri. Sudahkah kita menjadi guru yang terbaik dan berkualitas bagi peserta didik? Sebagai pengajar, sudahkah kita mengajar dengan baik, menerapkan strategi pembelajaran yang tepat dan menyenangkan bagi mereka? Bagaimana manajemen kelas yang sudah kita terapkan, display kelas, suasana kelas hingga materi yang kita sampaikan, sudah lebih baikkah? Pengajaran yang kita lakukan sudahkah terencana dengan baik sesuai RPP yang kita buat? Sebagai pendidik, sudahkah kita mendidik mereka dengan hati yang tulus? Karena guru adalah pengajar, pendidik, pemimpin dan teladan bagi para peserta didiknya.

            Kendala guru pembelajar antara di desa dan di kota tentu berbeda dari segi kualitas, sarana dan prasarana pendukung. Terlebih bagi guru yang berada di daerah terpencil. Akan tetapi daya juang guru-guru di daerah terpencil juga patut kita apresiasi. Sebagai contoh saya ingin menceritakan salah satu sosok guru pembelajar yang pernah saya temui saat bertugas di Loloda Kepulauan, Halmahera Utara (2014-2015). Sosok guru pembelajar tersebut bernama Suleman Palias (60 tahun). Guru yang akrab disapa dengan Pak Guru “Eman” ini merupakan guru honorer di SDN Fitako, Kecamatan Loloda Kepulauan. Di usianya yang sudah menjadi kakek, beliau masih semangat untuk terus mengabdikan diri sebagai seorang guru. Pria tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan SMP Dorume ini mengawali karirnya sebagai guru honorer di SDN Dama selama 7 tahun. Meski hanya bergelar tamatan SMP, beliau menjadi guru di SDN Fitako sejak tahun 2003 hingga sekarang.

            “Menjadi guru adalah hobi dan kesukaan saya” jawab Pak Eman saat ditanya alasannya menjadi guru. Rupanya jiwa pendidik sudah begitu melekat dalam hatinya. Pak Eman adalah guru paling tua di SDN Fitako, akan tetapi beliau juga sangat disiplin dan gigih dalam menjalankan profesinya sebagai guru. Beliau selalu masuk mengajar sesuai jadwal, kecuali jika sakit yang mengharuskan tidak masuk. Selalu menjalankan tugas sesuai amanah, dan komitmen dalam mengajar adalah prinsip hidup beliau selama menjadi guru. Sebagai guru honor, gaji beliau bisa dibilang tak seberapa, akan tetapi semangat, ulet dan komitmennya sebagai guru sangat luar biasa. Itulah sosok guru pembelajar bernama Pak Guru “Eman” yang patut kita tiru semangat juangnya. Dari Pak Eman kita banyak belajar tentang komitmen, cinta dan passion menjadi guru. Semoga kita yang berprofesi sebagai guru bisa mengambil nilai-nilai positif dari beliau.

            Menjadi guru pembelajar harus terus dihidupkan dalam sanubari hati yang terdalam. Meski dihadapkan dalam kondisi yang serba terbatas, nilai juang guru sebagai guru pembelajar harus senantiasa menyala. Keterbatasan bukanlah sebuah hambatan, akan tetapi menjadi daya picu untuk terus berbenah diri meningkatkan kualitas guru tersebut. Guru pembelajar adalah gurunya manusia. Seperti yang dikatakan oleh Munif Chatib, “Gurunya Manusia” yaitu guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas, akan berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi.

Semoga semua guru (baik guru PNS, honorer maupun kontrak) baik di sekolah negeri maupun swasta bisa menjadi guru pembelajar yang senantiasa melakukan refleksi diri dalam menjalankan tugas mulianya tersebut. Evaluasi diri dan perbaiki diri dengan senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalitas dalam mengemban amanahnya. Refleksi diri agar bisa menjadi Gurunya Manusia. Jangan jadi guru, jika malas mengajar. Jangan jadi guru, jika malas datang ke sekolah. Karena menjadi guru itu butuh tekad, ketulusan hati dan komitmen yang tinggi dalam membimbing para peserta didiknya. Karena guru menjadi kunci utama penentu keberhasilan pendidikan di negeri ini. Kalau bukan guru, siapa lagi? Bahagialah menjadi guru, karena setiap langkahnya menjadi amal yang mulia. Bangga jadi guru. Guru berkarakter, menggenggam Indonesia.


*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Esai Guru yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa Jabar untuk memperingati Hari Guru Nasional 2017

1 comments:

Senseipetualang said...

Kereeen
#BanggaJadiGuru