Tiba-tiba saja tergerak untuk menulis
tentang ‘menikah’. Sebuah ikatan yang
lebih besar energinya dari pada ikatan elektron. Lebih kuat ikatannya
dibandingkan ikatan simpul pangkal atau pun simpul mati dalam tali temali. Walau
saya sendiri belum merasakannya dan pengetahuanku pun masih sangat dangkal
tentang hal ini, tapi rasanya ingin berbagi walau hanya sedikit berdasarkan
buku yang pernah saya baca. Khusushon (spesial) tulisan ini saya berikan kepada
teman-temanku yang mau menikah dalam waktu dekat dimanapun berada (karena
akhir-akhir ini lagi banyak undangan walimahan yang datang) serta buat semuanya
saja deh yang masih dalam proses untuk menikah. Ikhtiar itu harus. Persiapan
juga perlu. Yang terpenting adalah harus siap bekalnya (lahir batin) dan yang
lebih penting lagi mengetahui ilmunya. Karena menikah pun perlu ilmu dan
harus dipersiapkan dengan matang, mantap, dan semangat ’45, hehe.
Sebelumnya saya ucapkan selamat menempuh hidup baru
bagi yang dalam waktu dekat ini akan melangsungkan atau
yang baru saja
telah melangsungkan proses pernikahan.
Teriring lantunan sebait do’a yang sering diucapkan
dalam pernikahan:
Baarakallahu
laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir
(mudah-mudahan Allah memberkahi untukmu, mencurahkan
keberkahan atasmu
dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua
dalam kebaikan).
Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah,
warohmah (samara).
“Setidaknya
ada 3 bekal utama untuk mencapai kebahagiaan setiap pasangan (baca:
suami-isteri), seperti yang diisyaratkan dalam Al-qur’an yaitu: membangun jiwa
yang sakinah (tenang), menghidupkan semangat mawadah (cinta) dan mempertahankan
spirit rahmah (kasih sayang)” begitu kata Asma Nadia dalam bukunya yang
berjudul ‘Sakinah Bersamamu’. Cerita selengkapnya bisa dibaca sendiri yah dalam
buku tersebut. Lika liku kehidupan berumah tangga, pahit manisnya, dan beragam
jenis cerita inspiratif lainnya seputar permasalahan dalam rumah tangga ada
dalam buku tersebut. Kalau diceritain disini tidak cukup waktunya.
Oke,
kembali ke judul. “Menikah Pun Perlu
Ilmu” begitu kata Ustadz Salim A. Fillah. Lebih detailnya tentang judul ini
bisa dibaca selengkapnya di halaman 222-229 dalam
buku beliau yang berjudul “Menyimak Kicau Merajut Makna”. Oleh karena itu,
disini saya hanya akan mengulas point-point penting (intinya) yang disampaikan
beliau, walau sebenarnya penting semua sih. Kata beliau, dalam isyarat Nabi
tentang menikah ialah sunnah teranjur yang memuliakan. Sebuah jalan suci untuk
karunia sekaligus ujian cinta-syahwati. Maka menikah sebagai ibadah, memerlukan kesiapan dan persiapan. Sedikit
menyebutkan bahwa kata beliau dalam buku tersebut persiapan menikah itu terbagi
dalam 5 ranah: ruuhiyyah (spriritual), ‘ilmiyyah
(pengetahuan), jasadiyyah (fisik), maaliyah (finansial) dan ijtimaa’iyyah (sosial). Oke, saya jelaskan
sekilas tentang kelima ranah tersebut.
1.
Ruuhiyyah (spriritual)
Persiapan
ini ialah yang paling mendasar. Segala persiapan nikah lainnya berpijak pada
yang satu ini. Persiapan ruuhiyah (spiritual)
ada pada soal menata diri menerima ujian dan tanggung jawab hidup yang
berlipat, berkelindan. Surat Ali Imran ayat 14: sebelum nikah ujian kita
linear, pasangan hidup. Begitu nikah berjejalin; pasangan, anak, harta, gengsi,
investasi.
Sebelum
nikah, grafik hidup kita analog dengan amplitude kecil. Setelah menikah, ia
digital variatif; kalau bukan NIKMAT, ya MUSIBAH. Maka termakna jua dalam
persiapan ruuhiyah (spiritual)
terkait nikah adalah kemampuan mengelola
SABAR dan SYUKUR menghadapi tantangan-tantangan itu. Sabar dan syukur itu
semisal tentang pasangan; ia keinsyafan bahwa tak ada yang sempurna. Setiap orang
memiliki lebih dan kurangnya.
Khadijah
itu lembut, penyabar, penuh pengertian, dan mendukung penuh perjuangan. Tetapi
tak semua lelaki mampu beristri jauh lebih tua. Aisyah: cantik, cerdas, lincah,
imut. Tetapi tak semua lelaki siap dengan kobar cemburunya yang sampai banting
piring di depan tamu.
Persiapan
ruuhiyah nikah adalah mengubah ekspektasi menjadi obsesi.
Dari harapan akan apa yang diperoleh, menuju apa yang akan dibaktikan. Jika
nikah masih terbayang, lapar ada yang masakin,
capek ada yang mijitin, baju kotor dicuciin. Itu ekspektasi. Bersiaplah
kecewa. Ekspektasi macam itu lebih tepat dipuaskan oleh tukang masak, tukang
pijit, dan tukang cuci. Berobsesilah dalam nikah. “Apa obsesimu?”
Obsesi
sebagai persiapan ruuhiyah nikah
semisal: bagaimana kau akan berjuang sebagai suami/istri ayah/ibu untuk
mensurgakan keluargamu? Usai itu, diantara persiapan ruuhiyah nikah adalah menata ketundukan pada segala ketentuan-Nya
dalam rumah tangga dan masalah-masalahnya.
2.
‘Ilmiyyah (pengetahuan)
Persiapan
‘ilmiyyah tsaqofiyyah (pengetahuan)
nikah, meliput banyak hal semisal fikih, komunikasi pasangan, parenting, manajemen, dan lainnya. Bukan
ustadz pun, tiap muslim harus sampai pada batas minimal ilmu syar’I yang
dibutuhkan dalam berhidup, berinteraksi, berkeluarga. Lalu tentang komunikasi
pasangan; seringnya masalah rumah tangga bukan karena ada maksud jahat,
melainkan maksud baik yang kurang ilmu nikah.
Sungguh
harus diilmui bahwa lelaki dan perempuan diciptakan berbeda dengan segala
kekhasannya, untuk saling memahami dan bersinergi. Contoh beda hadapi masalah
dan tekanan, wanita: berbagi, didengarkan, dimengerti. Lelaki: menyendiri,
kontemplasi, rumuskan solusi. Bayangkan jika pernedaan itu dibawa dalam sikap
dengan asumsi; “Aku mencintaimu seperti aku ingin dicintai”. Konflik pasti
meraja. Suami pulang dengan masalah berat disambut istri yang memaksa ingin
tahu dan dengar problemnya, padahal ia ingin sendiri dan bersolusi. BEDA. Bagi
suami masalah harus disederhanakan (spiral ke dalam). Bagi istri, tiap detail dan
keterkaitan sangat penting (spiral keluar). Dan banyak lagi BEDA yang jika tak
diilmui potensial jadi masalah serius. Lengkapnya bisa disaksikan dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta.
Parenting.
Waktu kita sempit, belum puas belajar jadi suami/istri, tiba-tiba sudah jadi
ayah/ibu. Maka segeralah belajar jadi orangtua. Anak adalah karunia yang hiasi
hidup, amanah (lahir dalam fitrah, kembalikan ke Allah dalam fitrah), pahala,
sekaligus fitnah (ujian). Maka mengilmui hingga detail-detal kecil soal parenting adalah niscaya. Hadits:
renggutan kasar pada bayi membekas di jiwa.
3.
Jasadiyyah (fisik)
Kita
masuk persiapan jasadiyyah (fisik)
untuk nikah. Ini juga perkara penting, sebab terkait dengan keamanan,
kenyamanan, dan ketenangan. Awal-awal, periksa dan konsultasilah ke dokter atas
termungkinnya segala penyakit tubuh, lebih-lebih yang terkait kesehatan
reproduksi. Pernikahan itu utuh di segala sisi diri, maka menjalani terapi dan
rawatan tertentu untuk membaikkan fisik adalah juga hal yang utama.
Fisik
kita dan pasangan bertanggung jawab lahirkan generasi penerus yang lebih baik.
Maka perbaiki daya dan staminanya sejak sekarang. Perbaiki pola asup, tata gizi
seimbang. Allah akan mintai tanggung jawab jajan sembarangan, jika ia jadi
sebab jeleknya kualitas penerus. Bangun kebiasaan olahraga ilmiah; tak asal
gerak tapi membugarkan, menyehatkan, melatih ketahanan. Tugas fisik berlipat 3
setelah menikah. Jadi, target persiapan fisik menikah itu 3 tingkatan, PRIMER:
sehat dan aman penyakit, SEKUNDER: bugar dan tangkas, TERSIER: beauty dan charm.
4.
Maaliyah (finansial)
Selanjutnya
persiapan maaliyah (finansial), ini
yang paling sering menghantui dan membuat ragu sepertinya. Padahal ianya
sederhana. Konsep awal, tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah,
bekerja itu keutamaan dan penegasan kepemimpinan suami. Ingat dan catat. Persiapan
finansial menikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah
dan kendaraan yang harus Anda punya. Persiapan finansial menikah bicara tentang
kapabilitas hasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, dan kemampuan kelola
sejumlah apa pun ia. Maka memulai pernikahan, BUKAN soal apa Anda sudah punya
tabungan, rumah, dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi.
Ali
bin Abi Thalib memulai nikah bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot,
dan lain sebagainya dari sumbangan kawan dihitung utang oleh Nabi. Tetapi Ali
menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten, dia mandiri, siap bekerja jadi
kuli air dengan upah segenggam kurma. Maka sesudah kompetensi dan kehendak
menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja—apa pun ia—iman menuntun: nikah itu
buat kaya (Surat An-Nuur ayat 32). Kata ustadz Salim, beliau juga minus saat
nikah, utang yang terencanakan terbayar 2 tahun menurut proyeksi hasil kerja
saat itu. Tetapi Allah Mahakaya, dan nikah menjadi pintu pengetuknya. Hadirnya istri
menjadi penyemangat, utang itu selesai dalam 2 bulan.
Buatlah
proyeksi nafkah menikah secara ilmiah dan executable,
JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan
kejutan-Nya. Kemapanan itu tidak abadi. Saya (ustadz Salim) memilih nikah di
usia 20 tahun saat belum mapan agar tersiapkan istri untuk hadapi lapang maupun
sempitnya. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda
J. Waite (Psikolog UCLA), signifikan memperkuat ikatan cinta.
5.
Iijtimaa’iyyah (sosial).
Persiapan
menikah yang sering terabai ialah yang kelima ini: ijtimaa’iyyah (sosial). Pernikahan adalah peristiwa yang kompleks
secara sosial. Sebuah pernikahan yang utuh mempunyai visi dan misi
kemasyarakatan untuk menjadi pilar kebajikan di tengah kemajemukan suatu
lingkungan. Untuk itu, mereka yang akan menikah hendaknya mengasah keterampilan
sosialnya jauh-jauh hari, sekaligus sebagai bagian pendewasaan. Membiasakan mengomunikasikan
prinsip-prinsip yang diyakini terkait pernikahan dan kehidupan kepada orangtua bisa
jadi bagian dari latihan.
Prinsip
Al-qur’an tentang hubungan dengan orangtua ialah “persahabatan”, wa shaahibhumaa (Surat Luqman ayat 15). Gunakan
itu untuk dewasakan diri. Maka kadang ustadz Salim menilai kedewasaan kawan
yang ingin menikah dengan keberhasilannya untuk komunikasikan prinsip pada
orangtua secara makruf. Persiapan kemasyarakatan: kumpulkan modal sosial
sebanyak-banyaknya; bahasa, ilmu sosio-antropologis, kelincahan organisasi, dan
seterusnya.
Pernikahan
kita harus hadir sebagai pengokoh kebajikan masyarakat, bukan beban ataupun
pelengkap-penderita. Utama lagi, jadi pelopor. Mulailah dengan perkenalan
berkesan pada lingkungan. Saat walimah nanti, tetangga rumah tinggal setelah
nikah adalah yang paling berhak diundang. Jika harus pindah tempat tinggal,
mulai jaga dengan perkenalan. Para tokoh: datangi, silaturahimi. Masyarakat umum:
undang tasyakuran.
Setelah
itu, target besarnya adalah menjadikan pintu rumah kita sebagai yang paling
pertama diketuk saat masyarakat sekitar memerlukan bantuan. Tentu berat
menopangnya sendiri. Maka yang harus kita punya bukan hanya ASET, melainkan
juga AKSES. Bangun jaringan saling menguatkan. Ilmuilah bagaimana cara
menguruskan jaminan kesehatan miskin, beasiswa tak mampu, biaya RS, mobil
jenazah gratis dan lainnya DEMI TETANGGA KITA.
Tampillah
sebagai yang penting dan bermanfaat dalam hajat-hajat kebahagiaan maupun duka
tetangga, juga rayaan-rayaan sosial-masyarakat. Tampillah sebagai yang terbaik
sejangkau sesuai kemampuan; imam masjid, muadzin, guru TPA, bendahara RT, ketua
RW, pendoa jenazah, dst. Tampillah sebagai yang paling besar kontribusi dalam
kebaikan-kebaikan sosial: agustusan, syawalan, kerja bakti, arisan, pengajian,
dst. Ringkas kata untuk persiapan sosial nikah ini adalah bermampu diri untuk menjadi pribadi dan keluarga yang AMAN, RAMAH, dan
BERMANFAAT.
Demikian
sekilas sedikit (tapi banyak) tentang ilmu dalam menikah beserta
langkah-langkah persiapan yang harus dipersiapkan semuanya. Sekali lagi jika
ingin mengetahui lebih lengkapnya bisa membaca buku Ustadz Salim A. Fillah yang
berjudul “Menyimak Kicau Merajut Makna” halaman 222-229 atau buku beliau yang
lain berjudul “Bahagianya Merayakan Cinta”. Bisa juga untuk mengetahui proses
seputar lika-liku kehidupan berumah tangga dalam bentuk cerita, yang tentunya
banyak makna yang bisa kita ambil ada di bukunya mba Asma Nadia yang berjudul ‘Sakinah
Bersamamu’. Dan pastinya masih banyak referensi yang lain yang bisa digunakan
(sesuai selera yang kita sukai), karena menikah pun memang perlu mengetahui
ilmu-ilmunya. Wallahu a’lam bishowab.