Memahami
lebih mudah daripada mencerdaskan (masyarakat). Karena berbeda itu pelangi.
Mewarnai jauh lebih bermakna. Butuh waktu. Perlu proses. Semakin banyak
mengetahui (harusnya) menjadi semakin lebih bijak. Begitu kata pepatah “Kun ‘aaliman, takun ‘aarifan”
#menyalakan lilin
memang lebih sulit dibandingkan dengan meniupnya.
Merintis
yang tak terjangkau? Sakit memang menyehatkan syukur. Karena sehat itu murah.
Tapi bagi masyarakat, sakit menjadi beban tersendiri. Mahal biayanya. Padahal
untuk biaya hidup juga pas-pasan. Biaya dari mana? Jamkesmas? Dipandang sebelah
mata, katanya. Kok bisa?
#Lembaga kesehatan yang
murah bagi masyarakat, ramah, dengan tenaga medis yang handal, pelayanan cepat,
sarana prasarana lengkap, dan obat yang cukup mewadai. Itulah idealnya yang
dibutuhkan masyarakat.
Kata Nena Fauzia
“karena mindset mayoritas masyarakat (termasuk pemerintah) Indonesia masih
menitikberatkan pada aspek kuratif (pengobatan), bukan preventif (pencegahan).
Jawab kang Amroelz “ itulah yang harus dicerdaskan kepada masyarakat”.
Penyakit yang kronis. Susah disembuhkan. Menjangkit di
masyarakat. Mudah menyebar. Berbahaya. Iya, itulah penyakit ghibah (baca:
ngerasani wong atau ngerumpi).
#Sebenarnya obatnya
simple yaitu diam. “Falyaqul khoiron au
liyasmut” hendaklah berbicara baik, atau lebih baik diam. “Falyukrim jaarohu” hendaklah
menghormati tetangganya.
Kasih ibu selalu berlebih. Jerih payah ayah tak kenal
lelah. Kakek-nenek yang visioner penuh perhatian. Paman-bibi yang selalu mendukung.
Segenap keluarga besar dengan support besar. Masyarakat yang senantiasa ramah
dengan senyum penuh harap. Semuanya menanti kiprahmu! Budi balasmu ditunggu
oleh mereka!
#bismillah, bersama-Nya
tak ada jalan buntu. Ganbareba, zettai dekiru! (Berjuanglah, pasti bisa!)
0 comments:
Post a Comment