Monday, 8 April 2013

Merajut Benang Cinta Hingga ke Surga

Awali dengan basmalah, akhiri dengan hamdalah. Kalau sudah lampu hijau, baru boleh lanjut. Eits, sebelumnya ada iklan mau lewat dulu nih sebentar. Warning…!!! Bagi yang belum
cukup umur dilarang membaca tulisan ini yah, hehe.

Ada “rasa” yang berbeda ketika kita menjadi panitia, pembicara, atau peserta dalam sebuah event tertentu. Sungguh, sangat berbeda nyata “rasa”nya. Hanya hati yang tahu. Edisi kali ini saya berperan sebagai peserta. Lebih tepatnya adalah peserta Talk show time Half Dien yang bertemakan “Merajut Benang Cinta Hingga ke Surga” yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Muslim Kedokteran (HMMK) Unsoed. Bertempat di Aula Dekanat Lantai 3 FKIK Unsoed, ratusan peserta berjumlah ± 70% akhwat (perempuan) dan 30% ikhwan (laki-laki) turut serta menghadiri acara ini yang dilaksanakan pada hari Ahad, 7 April 2013. Acara ini diisi oleh 3 narasumber yang sangat kompeten yaitu Ustadz Moh. Fauzil Adhim (sesi: “Kiat Menjemput Jodoh-Nya”),  dr. Hilma Paramitha, SpKJ (sesi: “Aspek Psikologis Jenjang Pernikahan”), dan Ustadz Salim A. Fillah (sesi: “Ada Keluarga di Surgaku”).

Apa itu Half Dien? Kata kedua MC yang modern ini (karena membawa gadget atau tablet berisi susunan acara, bukan kertas yang dilipat seperti biasanya MC). Half Dien secara bahasa artinya setengah agama. Maksudnya apa? “Menikah” papar sang MC. Karena menikah merupakan setengah agama. “Siapa yang mau menikah?” tanyanya. Sontak para peserta yang hadir pun mengacungkan tangan termasuk saya, hehe. Iya, semua orang pasti ingin menikah, maka dari itu harus disiapkan karena hidup itu bukan sekedar memilih atau pilihan tapi yang lebih penting adalah proses untuk menyiapkan menjemput tulang rusuk kita (baca: menikah) dan tentunya untuk menggapai ridho-Nya. Sepertinya para peserta yang hadir dalam acara ini pun sangat antusias sekali. Pokoknya cetar menggelegar deh suasananya.

“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum: 21). Lantunan ayat ini begitu syahdu dan menentramkan hati yang dibacakan oleh petugas tilawah. Ayat ini pula yang menjadi pokok bahasan dalam talkshow ini. Ayat ini juga biasanya tertera dalam undangan walimahan (pernikahan) papar Ustadz Salim A. Fillah. Dalam acara akad pernikahan juga pasti ayat ini sering dilantunkan.

Sesi pertama diisi oleh Ustadz Moh. Fauzil Adhim tentang “Kiat Menjemput Jodoh-Nya”. Jodoh itu tidak terkait dengan penampilannya, bukan pula melihat siapa orangnya, akan tetapi bagaimana langkah-langkah  kita untuk menuju ridho-Nya, demikian jelas ustadz Fauzil adhim yang menceritakan juga tentang pengalaman beliau yang sudah menikah ketika masih menjadi mahasiswa. Penulis buku “Ku Pinang Kau Dengan Hamdalah” ini menambahkan bahwa jodoh itu apakah datang di dunia atau di akhirat. Sejauh mana ikhtiar kita sesuai dengan tuntunan yang diridhoi-Nya. Dalam urusan jodoh yang paling pokok kata beliau ada tiga: a).menjaga usaha dan ikhtiar kita sesuai dengan ridho-Nya, b).bersungguh-sungguh dengan niat, dan c).mensyukuri apa yang Allah tetapkan kepada kita. Yang paling utama dalam memilih adalah dzat dien’nya (agamanya), tambah beliau. Banyak berdo’a boleh tapi jangan berlebih-lebihan dalam berdo’a. “Sesungguhnya bersama sunah ada barokah, maka temukanlah sunah itu” papar beliau mengakhiri sesi pertama.

Sesi kedua diisi oleh seorang dokter psikologi kesehatan RSUD Margono Banyumas, yaitu dr. Hilma Paramitha, SpKJ yang membahas tentang “Aspek Psikologis Pernikahan”. Kata dr. Hilma, pernikahan adalah sebuah perjanjian besar (mitsaqon gholizan) antara dua insan yang berbeda dalam sebuah ikatan. Menikah merupakan kebutuhan setiap individu (kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial). Secara psikologis ketika akan menikah harus benar-benar siap lahir batin dan memiliki kematangan dalam pemikiran, papar beliau yang juga menjelaskan tentang teori-teori psikologi (maaf bahasanya agak berat dan terlalu tinggi, sehingga saya tidak mencatat semua, hehe). Untuk menuju keluarga yang sakinah dalam pasangan suami istri itu harus saling pengertian (memahami satu sama lain), kebersamaan, memberikan penghargaan, komunikasi yang intens dan kematangan dalam emosi, demikian papar dr. Hilma mengakhiri sesi kedua ini.

Sesi ketiga adalah tentang “Ada Keluarga di Surgaku” oleh Ustadz Salim A. Fillah. Setelah membacakan mukadimah yang sangat panjang, ustadz salim membawakan suasana menjadi semakin hidup. Sebenarnya kalau saya ringkas, ustadz Salim menjelaskan tentang 1 ayat (surat Ar-Ruum ayat 21) dan 1 buah hadist (tentang do’a) menikah yang paling baik yaitu Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir (mudah-mudahan Allah memberkahi untukmu, mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan). Begitulah inti yang disampaikan beliau, akan tetapi penjelasannya begitu detail, kompleks, disertai dengan tafsir, kutipan, pendapat, dan cerita-cerita yang mudah dipahami oleh para peserta. Itulah ciri khas beliau, seperti gaya beliau juga dalam menulis buku. Jadi, sebenarnya saya ingin tanya “berapa banyak buku atau referensi yang dibaca ustadz dalam tiap harinya?” akan tetapi pertanyaan sudah diborong oleh 2 penanya dan waktunya habis duluan. Tapi terkait tips-tips menulis beliau menyarankan untuk membuka saja catatan beliau di website www.salimafillah.com.

Kembali ke laptop (eh salah, kembali ke pembahasan maksudnya). Sebenarnya agak bingung mau menulis yang mana karena yang disampaikan beliau sangat banyak. Kutipan beliau itu sangat luas seperti profesor pembimbing skripsiku (kok malah jadi curhat, hehe. Maaf, selingan dikit y biar ga kaku membaca release bahasa khas Koran ^,^). “Bahagia dan punya anak” bukanlah puncak kebaikan dari menikah, bukan pula menikah itu biar langgeng sampai akhir hayat saja, tapi bahagia sampai menuju surga-Nya. Beliau sedikit menceritakan tentang pamannya yang menikah di tahun 80-an berawal dari do’a bersin. Suatu ketika lagi naik kereta. Tahun 80-an seorang yang berjilbab pada waktu itu masih sangat langka dan jarang. Laki-laki itu bersin dan mengucapkan “alhamdulillah”, dan tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang “yarkhamukallah”, ternyata suara dari wanita yang berjilbab itu. mungkin 1 kerete hanya wanita itu yang berjilbab. Singkat cerita, laki-laki tersebut meminta alamat rumahnya. Tibalah di rumah sesuai dengan alamat yang diterimanya itu. Ditemuilah seorang bapak dan menyatakan maksudnya ingin bersilaturahmi dan ingin belajar bagaimana cara mendidik anak-anaknya. Singkat cerita lagi, laki-laki tersebut menyatakan ingin ta’aruf dengan anaknya. “Anak yang mana, karena anak perempuan saya ada 5” jawab sang ayah. “Dari mana anda tahu kalau saya punya anak perempuan” tanyanya lagi. Laki-laki itu menjawab kemarin waktu saya naik kereta ada perempuan berjilbab yang mendo’akan saya ketika bersin. Terus ditawarin anak yang mana, laki-laki itu hanya menjawab terserah bapak. Owh, yang “itu” saja y. Iya pak, kata laki-laki itu mantap padahal belum tahu sama sekali dan belum pernah bertemu dengan akhwat itu. Akhirnya mereka menikah. Hikmah yang bisa diambil dari cerita ini sangat banyak (silahkan pembaca mengambil sendiri yah hikmahnya).

“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah” (H.R. Al-Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ‘Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah) ~ dalam buku Jalan Cinta Para Pejuang (halaman 237), begitulah yang beliau sempat paparkan di awal memulai materi. Ketika akan menikah harus tahu ilmunya, siap dengan perbedaan juga ada ilmunya, memahami masing-masing karakter juga dengan ilmu. Intinya pelajari ilmunya sebelum menikah, papar beliau. Karena menikah pun perlu ilmu (lebih detailnya tentang hal ini bisa dibaca di halaman 222-230 dalam buku beliau yang baru berjudul “Menyimak Kicau Merajut Makna”). Sedikit menyebutkan bahwa kata beliau dalam buku tersebut persiapan menikah itu terbagi dalam 5 ranah: ruuhiyyah (spriritual), ‘ilmiyyah (pengetahuan), jasadiyyah (fisik), maaliyah (finansial) dan ijtimaa’iyyah (sosial). Masing-masing ada penjelasannya, banyak. Jadi, penjelasan lebih lengkap baca buku tersebut yah. Kalau sudah siap dengan kelima hal tersebut, bolehlah untuk menikah, hehe. Dalam paparannya juga beliau sempat menjelaskan bahwa kalau menikah harus sekufu (selaras). Konsep sekufu dalam pernikahan ditegakkan dengan tujuan memberikan keamanan, kemaslahatan dan kenyamanan dalam pernikahan. Ukuran sekufu dalam Dien  bukan semata soal perbendaharaan ilmu, melainkan juga komitmen keberagamaan (ilmu-amal-akhlak), demikian papar beliau dalam buku tersebut halaman 229 (Jadi, lebih lengkapnya baca bukunya yah…^@^).

            Oke, cukup sampai disini dulu ya cerita tentang “menikah”nya (eits, maksudnya talkshow half dien yang telah saya ikuti). Semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian (khusunya yang mau menikah, hehe). Sebenarnya masih banyak yang disampaikan dalam acara tersebut, tapi waktu dan kesempatan juga yang membatasi kita. Akhir kata dari Kang Amroelz. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.

0 comments: