Awali dengan basmalah, akhiri dengan hamdalah. Kalau
sudah lampu hijau, baru boleh lanjut. Eits, sebelumnya ada iklan mau lewat dulu
nih sebentar. Warning…!!! Bagi yang belum
cukup
umur dilarang membaca tulisan ini yah, hehe.
Ada
“rasa” yang berbeda ketika kita menjadi panitia, pembicara, atau peserta dalam
sebuah event tertentu. Sungguh, sangat berbeda nyata “rasa”nya. Hanya hati yang
tahu. Edisi kali ini saya berperan sebagai peserta. Lebih tepatnya adalah peserta
Talk show time Half Dien yang bertemakan “Merajut Benang Cinta Hingga ke Surga”
yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Muslim Kedokteran (HMMK) Unsoed. Bertempat
di Aula Dekanat Lantai 3 FKIK Unsoed, ratusan peserta berjumlah ± 70% akhwat (perempuan)
dan 30% ikhwan (laki-laki) turut serta menghadiri acara ini yang dilaksanakan
pada hari Ahad, 7 April 2013. Acara ini diisi oleh 3 narasumber yang sangat
kompeten yaitu Ustadz Moh. Fauzil Adhim (sesi: “Kiat Menjemput Jodoh-Nya”), dr. Hilma Paramitha, SpKJ (sesi: “Aspek
Psikologis Jenjang Pernikahan”), dan Ustadz Salim A. Fillah (sesi: “Ada
Keluarga di Surgaku”).
Apa
itu Half Dien? Kata kedua MC yang modern ini (karena membawa gadget atau tablet
berisi susunan acara, bukan kertas yang dilipat seperti biasanya MC). Half Dien
secara bahasa artinya setengah agama. Maksudnya apa? “Menikah” papar sang MC. Karena
menikah merupakan setengah agama. “Siapa yang mau menikah?” tanyanya. Sontak
para peserta yang hadir pun mengacungkan tangan termasuk saya, hehe. Iya, semua
orang pasti ingin menikah, maka dari itu harus disiapkan karena hidup itu bukan
sekedar memilih atau pilihan tapi yang lebih penting adalah proses untuk
menyiapkan menjemput tulang rusuk kita (baca: menikah) dan tentunya untuk
menggapai ridho-Nya. Sepertinya para peserta yang hadir dalam acara ini pun sangat
antusias sekali. Pokoknya cetar menggelegar deh suasananya.
“Dan diantara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum:
21). Lantunan ayat ini begitu syahdu dan menentramkan
hati yang dibacakan oleh petugas tilawah. Ayat ini pula yang menjadi pokok bahasan
dalam talkshow ini. Ayat ini juga biasanya tertera dalam undangan walimahan
(pernikahan) papar Ustadz Salim A. Fillah. Dalam acara akad pernikahan juga
pasti ayat ini sering dilantunkan.
Sesi
pertama diisi oleh Ustadz Moh. Fauzil Adhim tentang “Kiat
Menjemput Jodoh-Nya”. Jodoh itu tidak terkait dengan penampilannya, bukan pula
melihat siapa orangnya, akan tetapi bagaimana
langkah-langkah kita untuk menuju
ridho-Nya, demikian jelas ustadz Fauzil adhim yang menceritakan juga tentang
pengalaman beliau yang sudah menikah ketika masih menjadi mahasiswa. Penulis buku
“Ku Pinang Kau Dengan Hamdalah” ini menambahkan bahwa jodoh itu apakah datang
di dunia atau di akhirat. Sejauh mana ikhtiar kita sesuai dengan tuntunan yang
diridhoi-Nya. Dalam urusan jodoh yang paling pokok kata beliau ada tiga:
a).menjaga usaha dan ikhtiar kita sesuai dengan ridho-Nya,
b).bersungguh-sungguh dengan niat, dan c).mensyukuri apa yang Allah tetapkan
kepada kita. Yang paling utama dalam memilih adalah dzat dien’nya (agamanya),
tambah beliau. Banyak berdo’a boleh tapi jangan berlebih-lebihan dalam berdo’a.
“Sesungguhnya bersama sunah ada barokah, maka temukanlah sunah itu” papar
beliau mengakhiri sesi pertama.
Sesi
kedua diisi oleh seorang dokter psikologi kesehatan RSUD Margono Banyumas,
yaitu dr. Hilma Paramitha, SpKJ yang membahas tentang “Aspek Psikologis Pernikahan”.
Kata dr. Hilma, pernikahan adalah sebuah perjanjian besar (mitsaqon gholizan)
antara dua insan yang berbeda dalam sebuah ikatan. Menikah merupakan kebutuhan setiap
individu (kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial). Secara psikologis ketika
akan menikah harus benar-benar siap lahir batin dan memiliki kematangan dalam pemikiran,
papar beliau yang juga menjelaskan tentang teori-teori psikologi (maaf
bahasanya agak berat dan terlalu tinggi, sehingga saya tidak mencatat semua,
hehe). Untuk menuju keluarga yang sakinah dalam pasangan suami istri itu harus saling
pengertian (memahami satu sama lain), kebersamaan, memberikan penghargaan,
komunikasi yang intens dan kematangan dalam emosi, demikian papar dr. Hilma
mengakhiri sesi kedua ini.
Sesi
ketiga adalah tentang “Ada Keluarga di Surgaku” oleh Ustadz Salim A. Fillah. Setelah
membacakan mukadimah yang sangat panjang, ustadz salim membawakan suasana
menjadi semakin hidup. Sebenarnya kalau saya ringkas, ustadz Salim menjelaskan
tentang 1 ayat (surat Ar-Ruum ayat 21) dan 1 buah hadist (tentang do’a) menikah
yang paling baik yaitu Baarakallahu laka
wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir (mudah-mudahan Allah memberkahi
untukmu, mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu
berdua dalam kebaikan). Begitulah inti yang disampaikan beliau, akan tetapi
penjelasannya begitu detail, kompleks, disertai dengan tafsir, kutipan,
pendapat, dan cerita-cerita yang mudah dipahami oleh para peserta. Itulah ciri khas
beliau, seperti gaya beliau juga dalam menulis buku. Jadi, sebenarnya saya
ingin tanya “berapa banyak buku atau referensi yang dibaca ustadz dalam tiap
harinya?” akan tetapi pertanyaan sudah diborong oleh 2 penanya dan waktunya
habis duluan. Tapi terkait tips-tips menulis beliau menyarankan untuk membuka
saja catatan beliau di website www.salimafillah.com.
Kembali
ke laptop (eh salah, kembali ke pembahasan maksudnya). Sebenarnya agak bingung
mau menulis yang mana karena yang disampaikan beliau sangat banyak. Kutipan
beliau itu sangat luas seperti profesor pembimbing skripsiku (kok malah jadi
curhat, hehe. Maaf, selingan dikit y biar ga kaku membaca release bahasa khas Koran
^,^). “Bahagia dan punya anak” bukanlah puncak kebaikan dari menikah, bukan
pula menikah itu biar langgeng sampai akhir hayat saja, tapi bahagia sampai
menuju surga-Nya. Beliau sedikit menceritakan tentang pamannya yang menikah di
tahun 80-an berawal dari do’a bersin. Suatu ketika lagi naik kereta. Tahun 80-an
seorang yang berjilbab pada waktu itu masih sangat langka dan jarang. Laki-laki
itu bersin dan mengucapkan “alhamdulillah”, dan tiba-tiba saja terdengar suara
dari belakang “yarkhamukallah”, ternyata suara dari wanita yang berjilbab itu.
mungkin 1 kerete hanya wanita itu yang berjilbab. Singkat cerita, laki-laki
tersebut meminta alamat rumahnya. Tibalah di rumah sesuai dengan alamat yang
diterimanya itu. Ditemuilah seorang bapak dan menyatakan maksudnya ingin
bersilaturahmi dan ingin belajar bagaimana cara mendidik anak-anaknya. Singkat cerita
lagi, laki-laki tersebut menyatakan ingin ta’aruf dengan anaknya. “Anak yang
mana, karena anak perempuan saya ada 5” jawab sang ayah. “Dari mana anda tahu
kalau saya punya anak perempuan” tanyanya lagi. Laki-laki itu menjawab kemarin
waktu saya naik kereta ada perempuan berjilbab yang mendo’akan saya ketika
bersin. Terus ditawarin anak yang mana, laki-laki itu hanya menjawab terserah
bapak. Owh, yang “itu” saja y. Iya pak, kata laki-laki itu mantap padahal belum
tahu sama sekali dan belum pernah bertemu dengan akhwat itu. Akhirnya mereka
menikah. Hikmah yang bisa diambil dari cerita ini sangat banyak (silahkan
pembaca mengambil sendiri yah hikmahnya).
“Ruh-ruh
itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di
antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling
mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah” (H.R.
Al-Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ‘Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu
Hurairah) ~ dalam buku Jalan Cinta
Para Pejuang (halaman 237), begitulah yang beliau sempat paparkan di awal
memulai materi. Ketika akan menikah harus tahu ilmunya, siap dengan perbedaan
juga ada ilmunya, memahami masing-masing karakter juga dengan ilmu. Intinya
pelajari ilmunya sebelum menikah, papar beliau. Karena menikah pun perlu ilmu (lebih detailnya tentang hal ini bisa dibaca
di halaman 222-230 dalam buku beliau
yang baru berjudul “Menyimak Kicau Merajut Makna”). Sedikit menyebutkan bahwa
kata beliau dalam buku tersebut persiapan menikah itu terbagi dalam 5 ranah: ruuhiyyah (spriritual), ‘ilmiyyah
(pengetahuan), jasadiyyah (fisik), maaliyah (finansial) dan ijtimaa’iyyah (sosial). Masing-masing
ada penjelasannya, banyak. Jadi, penjelasan lebih lengkap baca buku tersebut
yah. Kalau sudah siap dengan kelima hal tersebut, bolehlah untuk menikah, hehe.
Dalam paparannya juga beliau sempat menjelaskan bahwa kalau menikah harus
sekufu (selaras). Konsep sekufu dalam pernikahan ditegakkan dengan tujuan memberikan
keamanan, kemaslahatan dan kenyamanan dalam pernikahan. Ukuran sekufu dalam Dien bukan semata soal perbendaharaan ilmu,
melainkan juga komitmen keberagamaan (ilmu-amal-akhlak), demikian papar beliau
dalam buku tersebut halaman 229 (Jadi, lebih lengkapnya baca bukunya yah…^@^).
Oke, cukup sampai disini dulu ya cerita tentang “menikah”nya
(eits, maksudnya talkshow half dien yang telah saya ikuti). Semoga bermanfaat
bagi para pembaca sekalian (khusunya
yang mau menikah, hehe). Sebenarnya masih banyak yang disampaikan dalam
acara tersebut, tapi waktu dan kesempatan juga yang membatasi kita. Akhir kata
dari Kang Amroelz. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.
0 comments:
Post a Comment