Datang
tak diundang. Pulang tak diantar. Muncul secara dan dengan tiba-tiba. Tak kasih
kabar dulu. Tak ada kode apa pun. Tiada angin, serasah daun itu pun berguguran
dengan sendirinya. Itulah sakit. Menjadi pengingat bagi hidup kita. Atau mungkin
sebelumnya sudah kasih tanda kepada kita, hanya saja kita tidak mengetahui
alarm itu berbunyi. Sebesar apa pun cobaan itu, itulah sebuah nikmat yang harus disyukuri dan dihadapi dengan ikhlas. Sepahit
apapun rasanya, hadapilah dengan sabar. Fabiayyi
aalaa’i robbikumaa tukadzibaan??? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang
kamu dustakan??? Ayat ini pun diulang-ulang sebanyak 31 kali dalam Surat
Ar-Rahman. Dibalik sakit tersebut pasti ada hikmah yang bisa kita petik
darinya. Tak terasa 11 hari sudah berlalu bersama rasa yang begitu nikmat ini.
Rasa yang datang secara tiba-tiba siang hari itu, Senin, 8 April 2013. Padahal
pagi harinya baru saja mendaftar seminar hasil penelitian ke Komisi. Siang
harinya rasa itu mulai datang. Sore harinya rasa itu benar-benar merasuki
tubuhku, hingga sempat membuatku untuk tidur sejenak di laboratorium mikrobiologi
dan akhirnya aku putuskan menghentikan aktivitasku sore itu juga. Pulang dan istirahat
total di kosan.
Padahal
siang harinya juga aku baru saja meng’iya’kan untuk menjadi juri LKTI di
kwarcab Banyumas. Tapi apa boleh buat, kondisi berkata lain. Esok harinya aku
batalkan niatku menjadi juri. Istirahat total. Padahal hari itu juga pengumuman
jadwal semhasku sudah keluar. Acara MTQ juga sudah semakin dekat. Apa boleh
buat, aku harus membalas sms-sms dari para peserta yang hendak mendaftar. Harus
professional. Malam harinya aku pun periksa ke dokter. Karena kondisinya
semakin memburuk. Tiga hari berlalu. Obat yang dikasih dokter juga sudah hampir
habis, namun sakitku tak kunjung sembuh. Demam, panas, dingin, mual-mual,
pening dan pusing datang secara bersamaan. Menyatu menjadi rasa yang begitu
terasa sekali nikmatnya. Harus istirahat total. Makan tak enak. Seenak apapun
makanannya, perutku menolak. Semua terasa pahit. Sepahit suasana yang sedang
aku alami ini, terbaring di dalam kamar kosan berukuran 2 x 3 meter ini. Apakah
aku akan terus lanjut untuk semhas senen depan? Apakah harus meninggalkan
panitia MTQ Unsoed?
Periksa
lagi untuk kedua kalinya. Karena sudah 3 hari ini belum ada tanda-tanda kesembuhan.
Rasanya masih sama seperti kemarin. Setelah diperiksa oleh dokter ternyata aku
terindikasi gejala typus, tapi rasanya masih saja komplikasi rasa yang bersatu
padu. Sebenarnya dokter menyarankanku untuk dirawat inap di rumah sakit. Akan tetapi
aku lebih memilih dirawat di kosan sendiri saja dengan alasan aku harus
menyiapkan untuk semhas, seperti menemui semua dosen (penelaah, pembimbing, pengamat, notulis dan
moderator) serta memastikan semuanya hadir, membagi undangan ke mereka, ngprint
paper skripsi dan paper of research result seminar. Akhirnya dokter pun
memberikanku 7 buah macam obat yang harus diminum dan dihabiskan. Kembali aku
harus istirahat total. Inilah nikmat yang harus aku syukuri. Walau kondisinya
belum mengenakan, tapi sebagai panitia MTQ pun aku sempatkan datang dalam acara
tersebut. Walau harus bolak balik ke kosan juga karena kondisi yang tidak
memungkinkan. Istirahat lagi di kosan lumayan lama, baru sore hari kembali lagi
ke lokasi acara MTQ di gedung rektorat ketika menjelang akhir acara. Alhamdulillah,
akhirnya usai juga acara MTQ, aku kembali pulang ke kosan dan istirahat di
kosan dengan tenang.
Hingga akhirnya waktu semhas itu pun datang. Walau kondisi
belum fit, aku harus tetap berangkat karena sudah memfix-an kalau hari itu
semhas. Jika diundur, nanti akan ribet lagi prosesnya. Bisa dibilang semhas
yang kurang persiapan, karena kondisi badan yang tidak bersahabat untuk
belajar, H-1 baru bikin slide presentasi, dan hanya baca materi yang ada di
naskah skripsi. Bersyukur, semua dosen penguji hadir semua dan teman-teman pun
banyak yang datang hingga sebagian ada yang tidak bisa masuk karena sudah penuh
ruangannya. Di tengah-tengah berlangsungnya semhas badanku kembali ngedrop,
bibir dan tenggorokanku menjadi kering kerontang, lupa tidak membawa air
banyak. Hanya 1 gelar air mineral, itu pun sudah habis saat menjelang semhas
berlangsung. Walau belum maksimal dalam semhas, tapi aku harus bersyukur telah
bisa melaluinya. Pasca semhas aku langsung pulang ke kosan dan langsung
istirahat total lagi. Sungguh nikmat rasanya. Rasa ini semakin membuatku
bersyukur. Sudah seminggu ini berteman dengannya dalam suka maupun duka.
Sudah 11 hari rasa sakit ini menjadi teman sekaligus
pengingat bagiku. Sakit yang telah membuatku semakin menambah rasa syukur
kepada-Nya. Inilah nikmat yang tiada tara. Tak bisa kemana-mana, tak bisa
banyak melakukan banyak aktivitas, tak bisa berbuat banyak, tapi satu hal yang
terpenting adalah sakit ini telah membuatku semakin dekat untuk mengingat-Nya,
berintrospeksi diri, muhasabah diri, merenungi diri, dan mensyukuri atas nikmat
yang begitu agung ini. Alhamdulillah wasyukurillah, meski di tengah-tengah rasa
sakit yang begitu menggebu, Allah masih memberiku kekuatan untuk melangkahkan
kaki ini menuju masjid. Walau harus sambil duduk dan mengenakan jaket tebal,
tapi sungguh luar biasa rasanya. Laa haula
walaa quwwata illa billahil’aliyyil ‘adhim.
Sakit
itu zikrullah. Sakit itu muhasabah. Sakit itu nasihat. Sakit itu belajar. Sakit
itu gugur dosa. Sakit itu membuat sedikit tertawa dan banyak menangis. Begitulah
hakikat sakit papar ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul “Menyimak
Kicau Merajut Makna”. Sakit, sebagaimana tiap ujian, bukan menguji kemampuan
sebab telah ditakar sesuai daya tahan. Ia menguji kemauan memberi makna. Maka dia
yang mampu memberi makna terbaik bagi sakit, kemuliaannya diangkat dan membuat
malaikat yang selalu sehat itu tertakjub. Sungguh memesona Mas Pepeng Soebardi,
yang pernah memaknai sakit dan musibah: “Tugas
kita meng-HADAP-I, biar Allah yang meng-ATAS-i!”. Sakit itu membaca,
menulis, berkarya. Berbaring setengah duduk memungkinkan tekun cerap ilmu lewat
buku, kalimat terucap, maupun gambar gerak. Habiburrahman El-Shirazy goreskan
Ayat-Ayat Cinta saat terbaring patah kakinya. Sakit itu dijamin cinta Allah
dalam sabarnya; sabar tetap ibadah, sabar tak bermaksiat, sabar tahan derita
dan sabar menunda capaian. Demikian tambah ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya
tersebut.
0 comments:
Post a Comment