Monday, 22 April 2013

Sakit itu Menyehatkan Syukur


Datang tak diundang. Pulang tak diantar. Muncul secara dan dengan tiba-tiba. Tak kasih kabar dulu. Tak ada kode apa pun. Tiada angin, serasah daun itu pun berguguran dengan sendirinya. Itulah sakit. Menjadi pengingat bagi hidup kita. Atau mungkin sebelumnya sudah kasih tanda kepada kita, hanya saja kita tidak mengetahui alarm itu berbunyi. Sebesar apa pun cobaan itu, itulah sebuah nikmat yang harus disyukuri dan dihadapi dengan ikhlas. Sepahit apapun rasanya, hadapilah dengan sabar. Fabiayyi aalaa’i robbikumaa tukadzibaan??? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan??? Ayat ini pun diulang-ulang sebanyak 31 kali dalam Surat Ar-Rahman. Dibalik sakit tersebut pasti ada hikmah yang bisa kita petik darinya. Tak terasa 11 hari sudah berlalu bersama rasa yang begitu nikmat ini. Rasa yang datang secara tiba-tiba siang hari itu, Senin, 8 April 2013. Padahal pagi harinya baru saja mendaftar seminar hasil penelitian ke Komisi. Siang harinya rasa itu mulai datang. Sore harinya rasa itu benar-benar merasuki tubuhku, hingga sempat membuatku untuk tidur sejenak di laboratorium mikrobiologi dan akhirnya aku putuskan menghentikan aktivitasku sore itu juga. Pulang dan istirahat total di kosan.

Padahal siang harinya juga aku baru saja meng’iya’kan untuk menjadi juri LKTI di kwarcab Banyumas. Tapi apa boleh buat, kondisi berkata lain. Esok harinya aku batalkan niatku menjadi juri. Istirahat total. Padahal hari itu juga pengumuman jadwal semhasku sudah keluar. Acara MTQ juga sudah semakin dekat. Apa boleh buat, aku harus membalas sms-sms dari para peserta yang hendak mendaftar. Harus professional. Malam harinya aku pun periksa ke dokter. Karena kondisinya semakin memburuk. Tiga hari berlalu. Obat yang dikasih dokter juga sudah hampir habis, namun sakitku tak kunjung sembuh. Demam, panas, dingin, mual-mual, pening dan pusing datang secara bersamaan. Menyatu menjadi rasa yang begitu terasa sekali nikmatnya. Harus istirahat total. Makan tak enak. Seenak apapun makanannya, perutku menolak. Semua terasa pahit. Sepahit suasana yang sedang aku alami ini, terbaring di dalam kamar kosan berukuran 2 x 3 meter ini. Apakah aku akan terus lanjut untuk semhas senen depan? Apakah harus meninggalkan panitia MTQ Unsoed?

Periksa lagi untuk kedua kalinya. Karena sudah 3 hari ini belum ada tanda-tanda kesembuhan. Rasanya masih sama seperti kemarin. Setelah diperiksa oleh dokter ternyata aku terindikasi gejala typus, tapi rasanya masih saja komplikasi rasa yang bersatu padu. Sebenarnya dokter menyarankanku untuk dirawat inap di rumah sakit. Akan tetapi aku lebih memilih dirawat di kosan sendiri saja dengan alasan aku harus menyiapkan untuk semhas, seperti menemui semua dosen  (penelaah, pembimbing, pengamat, notulis dan moderator) serta memastikan semuanya hadir, membagi undangan ke mereka, ngprint paper skripsi dan paper of research result seminar. Akhirnya dokter pun memberikanku 7 buah macam obat yang harus diminum dan dihabiskan. Kembali aku harus istirahat total. Inilah nikmat yang harus aku syukuri. Walau kondisinya belum mengenakan, tapi sebagai panitia MTQ pun aku sempatkan datang dalam acara tersebut. Walau harus bolak balik ke kosan juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Istirahat lagi di kosan lumayan lama, baru sore hari kembali lagi ke lokasi acara MTQ di gedung rektorat ketika menjelang akhir acara. Alhamdulillah, akhirnya usai juga acara MTQ, aku kembali pulang ke kosan dan istirahat di kosan dengan tenang.

            Hingga akhirnya waktu semhas itu pun datang. Walau kondisi belum fit, aku harus tetap berangkat karena sudah memfix-an kalau hari itu semhas. Jika diundur, nanti akan ribet lagi prosesnya. Bisa dibilang semhas yang kurang persiapan, karena kondisi badan yang tidak bersahabat untuk belajar, H-1 baru bikin slide presentasi, dan hanya baca materi yang ada di naskah skripsi. Bersyukur, semua dosen penguji hadir semua dan teman-teman pun banyak yang datang hingga sebagian ada yang tidak bisa masuk karena sudah penuh ruangannya. Di tengah-tengah berlangsungnya semhas badanku kembali ngedrop, bibir dan tenggorokanku menjadi kering kerontang, lupa tidak membawa air banyak. Hanya 1 gelar air mineral, itu pun sudah habis saat menjelang semhas berlangsung. Walau belum maksimal dalam semhas, tapi aku harus bersyukur telah bisa melaluinya. Pasca semhas aku langsung pulang ke kosan dan langsung istirahat total lagi. Sungguh nikmat rasanya. Rasa ini semakin membuatku bersyukur. Sudah seminggu ini berteman dengannya dalam suka maupun duka.

            Sudah 11 hari rasa sakit ini menjadi teman sekaligus pengingat bagiku. Sakit yang telah membuatku semakin menambah rasa syukur kepada-Nya. Inilah nikmat yang tiada tara. Tak bisa kemana-mana, tak bisa banyak melakukan banyak aktivitas, tak bisa berbuat banyak, tapi satu hal yang terpenting adalah sakit ini telah membuatku semakin dekat untuk mengingat-Nya, berintrospeksi diri, muhasabah diri, merenungi diri, dan mensyukuri atas nikmat yang begitu agung ini. Alhamdulillah wasyukurillah, meski di tengah-tengah rasa sakit yang begitu menggebu, Allah masih memberiku kekuatan untuk melangkahkan kaki ini menuju masjid. Walau harus sambil duduk dan mengenakan jaket tebal, tapi sungguh luar biasa rasanya. Laa haula walaa quwwata illa billahil’aliyyil ‘adhim.

Sakit itu zikrullah. Sakit itu muhasabah. Sakit itu nasihat. Sakit itu belajar. Sakit itu gugur dosa. Sakit itu membuat sedikit tertawa dan banyak menangis. Begitulah hakikat sakit papar ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul “Menyimak Kicau Merajut Makna”. Sakit, sebagaimana tiap ujian, bukan menguji kemampuan sebab telah ditakar sesuai daya tahan. Ia menguji kemauan memberi makna. Maka dia yang mampu memberi makna terbaik bagi sakit, kemuliaannya diangkat dan membuat malaikat yang selalu sehat itu tertakjub. Sungguh memesona Mas Pepeng Soebardi, yang pernah memaknai sakit dan musibah: “Tugas kita meng-HADAP-I, biar Allah yang meng-ATAS-i!”. Sakit itu membaca, menulis, berkarya. Berbaring setengah duduk memungkinkan tekun cerap ilmu lewat buku, kalimat terucap, maupun gambar gerak. Habiburrahman El-Shirazy goreskan Ayat-Ayat Cinta saat terbaring patah kakinya. Sakit itu dijamin cinta Allah dalam sabarnya; sabar tetap ibadah, sabar tak bermaksiat, sabar tahan derita dan sabar menunda capaian. Demikian tambah ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya tersebut.

0 comments: