Hitam
putihnya suatu daerah salah satunya ditentukan oleh pendidikan. Jika
pendidikannya maju, maka daerah tersebut pun akan ikut maju. Provinsi Maluku
Utara merupakan provinsi yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah di
wilayah Indonesia Timur. Provinsi ini juga kaya akan suku, bahasa dan budaya.
Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang pendidikan provinsi ini bisa
dikatakan cukup tertinggal dibandingkan provinsi yang lainnya. Pasalnya tingkat pendidikan provinsi ini berada di peringkat 27 dari 33
provinsi di Indonesia, tutur Ibu Sisi selaku moderator dalam Siaran Talkshow
Interaktif RRI (Radio Republik Indonesia) Ternate, 18 Juli 2014.
Talkshow
pendidikan ini mengangkat tema “Maluku Utara dalam Kacamata Relawan Pendidikan”
dengan narasumber dari Relawan Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa.
Relawan pendidikan yang dikenal dengan guru transformatif ini merupakan relawan
yang ditugaskan di Loloda Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara. Kelima
narasumber tersebut adalah In Amullah (Tegal, Jawa Tengah), Alvauzi (Padang),
Siti Fatimah (Bandung, Jawa Barat), Novitasari (Bengkulu) dan Nuril Rahmayanti
(Dompu, NTB). Mereka sudah 1 bulan ditugaskan di Kecamatan Loloda Kepulauan di
5 desa (Dama, Salube, Dagasuli, Dedeta, dan Fitako). Secara bergantian,
kelima narasumber tersebut bergantian menyampaikan talkshownya mulai dari
perkenalan, profil singkat SGI, alasan bergabung, pengalaman menarik yang
didapat hingga permasalahan pendidikan yang ditemukan di Maluku Utara,
khususnya Loloda Kepulauan.
Sekolah Guru Indonesia (SGI) merupakan salah
satu jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa yang berkomitmen melahirkan guru transformatif
yang memiliki kompetensi mengajar, mendidik dan berjiwa kepemimpinan sosial
atau dikenal dengan istilah guru 3P (Pengajar, Pendidik dan Pemimpin). Sekolah
Guru Indonesia didedikasikan bagi para pemuda Indonesia yang siap mengabdikan diri menjadi guru serta
siap berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di seluruh penjuru nusantara. Pada
tahun 2014 Sekolah Guru Indonesia telah memberangkatkan angkatan ke-VI sebanyak
30 orang di 6 kabupaten yaitu Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Kabupaten Buton
dan Kabupaten Bombana (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Poliwalimandar (Sulawesi
Barat), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), Kabupaten Dompu (NTB), dan Kabupaten
Halmahera Utara (Maluku Utara).
Kelima
relawan yang berasal dari luar Provinsi Maluku Utara ini memaparkan kondisi
pendidikan yang ditemui selama penempatan yang baru 1 bulan ini. Mulai dari
masalah karakter anak-anak yang belum bisa membaca padahal sudah memasuki
bangku SMP, sarana prasarana yang kurang lengkap, sumber daya manusia guru yang
tidak merata, hingga masalah yang paling krusial adalah kurikulum 2013 yang
terkesan sebagai “kurikulum pemaksaan”. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh
Pitson Y.K selaku Kepala Dinas Pendidikan Halmahera Utara, buku-buku penunjang
kurikulum 2013 sampai saat ini belum sampai di Tobelo. Bagaimana untuk mengajar
anak-anak jika sarana buku penunjang saja tidak ada? Belum lagi masalah guru
itu sendiri. Banyak guru yang belum tahu mengenai kurikulum baru tersebut.
Pelatihan yang sudah diadakan pun belum menjangkau semua sekolah. Dari 2000
guru sekolah dasar, baru 700 yang sudah mengikuti pelatihan kurikulum 2013.
Mereka yang sudah mengikuti kurikulum saja masih sangat kebingungan, apalagi
yang belum mengikuti pelatihan sama sekali?
Apalagi
di Loloda Kepulauan? Daerah terpencil di ujung utara Halmahera Utara ini
terkenal dengan “daerah buangan” bagi PNS yang kurang disiplin. Maklum, di
daerah tersebut tidak ada signal jaringan telepon, lampu hanya menyala dari jam
18.30 hingga 24.00. Akan tetapi anak-anak dan warga masyarakat disana memiliki
semangat dan antusias yang tinggi dengan pendidikan. Masalahnya adalah
kurangnya sarana prasarana seperti buku dan fasilitas penunjang lainnya. Banyak
anak-anak Loloda Kepulauan yang lebih memilih melanjutkan sekolah baik SMP,
SMA, hingga Perguruan Tinggi di kota Tobelo maupun Ternate. Akan tetapi usai
lulus menjadi sarjana, sangat jarang yang pulang kampung mengabdi disana. Mereka
memutuskan memilih tinggal di kota. Hal ini bisa dimaklumi dengan berbagai
alasan yang ada di desa tersebut. Tapi sampai kapan hal ini terus berlanjut?
Diakhir Talk Show, Pak Abdullah salah satu penelpon sangat mengapresiasi
kedatangan relawan SGI di Loloda Kepulauan. Beliau meminta agar penempatan
berikutnya ada lagi, lebih khususnya di daerah Obi yang katanya masuk kategori
daerah tertinggal juga. Beliau juga menyarankan agar generasi muda Maluku Utara
mau juga bergabung dengan SGI. “Bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam
Indonesia!” motto Sekolah Guru Indonesia (SGI) ini menggema studio RRI Ternate
di akhir sesi talkhsow.