Saturday, 19 July 2014

Maluku Utara dalam Kacamata Relawan Pendidikan



Hitam putihnya suatu daerah salah satunya ditentukan oleh pendidikan. Jika pendidikannya maju, maka daerah tersebut pun akan ikut maju. Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah di wilayah Indonesia Timur. Provinsi ini juga kaya akan suku, bahasa dan budaya. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang pendidikan provinsi ini bisa dikatakan cukup tertinggal dibandingkan provinsi yang lainnya.  Pasalnya tingkat pendidikan  provinsi ini berada di peringkat 27 dari 33 provinsi di Indonesia, tutur Ibu Sisi selaku moderator dalam Siaran Talkshow Interaktif RRI (Radio Republik Indonesia) Ternate, 18 Juli 2014.

Talkshow pendidikan ini mengangkat tema “Maluku Utara dalam Kacamata Relawan Pendidikan” dengan narasumber dari Relawan Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. Relawan pendidikan yang dikenal dengan guru transformatif ini merupakan relawan yang ditugaskan di Loloda Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara. Kelima narasumber tersebut adalah In Amullah (Tegal, Jawa Tengah), Alvauzi (Padang), Siti Fatimah (Bandung, Jawa Barat), Novitasari (Bengkulu) dan Nuril Rahmayanti (Dompu, NTB). Mereka sudah 1 bulan ditugaskan di Kecamatan Loloda Kepulauan di  5 desa (Dama, Salube, Dagasuli, Dedeta, dan Fitako). Secara bergantian, kelima narasumber tersebut bergantian menyampaikan talkshownya mulai dari perkenalan, profil singkat SGI, alasan bergabung, pengalaman menarik yang didapat hingga permasalahan pendidikan yang ditemukan di Maluku Utara, khususnya Loloda Kepulauan.

 Sekolah Guru Indonesia (SGI) merupakan salah satu jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa yang berkomitmen melahirkan guru transformatif yang memiliki kompetensi mengajar, mendidik dan berjiwa kepemimpinan sosial atau dikenal dengan istilah guru 3P (Pengajar, Pendidik dan Pemimpin). Sekolah Guru Indonesia didedikasikan bagi para pemuda Indonesia  yang siap mengabdikan diri menjadi guru serta siap berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di seluruh penjuru nusantara. Pada tahun 2014 Sekolah Guru Indonesia telah memberangkatkan angkatan ke-VI sebanyak 30 orang di 6 kabupaten yaitu Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Poliwalimandar (Sulawesi Barat), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), Kabupaten Dompu (NTB), dan Kabupaten Halmahera Utara (Maluku Utara). 

Kelima relawan yang berasal dari luar Provinsi Maluku Utara ini memaparkan kondisi pendidikan yang ditemui selama penempatan yang baru 1 bulan ini. Mulai dari masalah karakter anak-anak yang belum bisa membaca padahal sudah memasuki bangku SMP, sarana prasarana yang kurang lengkap, sumber daya manusia guru yang tidak merata, hingga masalah yang paling krusial adalah kurikulum 2013 yang terkesan sebagai “kurikulum pemaksaan”. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Pitson Y.K selaku Kepala Dinas Pendidikan Halmahera Utara, buku-buku penunjang kurikulum 2013 sampai saat ini belum sampai di Tobelo. Bagaimana untuk mengajar anak-anak jika sarana buku penunjang saja tidak ada? Belum lagi masalah guru itu sendiri. Banyak guru yang belum tahu mengenai kurikulum baru tersebut. Pelatihan yang sudah diadakan pun belum menjangkau semua sekolah. Dari 2000 guru sekolah dasar, baru 700 yang sudah mengikuti pelatihan kurikulum 2013. Mereka yang sudah mengikuti kurikulum saja masih sangat kebingungan, apalagi yang belum mengikuti pelatihan sama sekali?

Apalagi di Loloda Kepulauan? Daerah terpencil di ujung utara Halmahera Utara ini terkenal dengan “daerah buangan” bagi PNS yang kurang disiplin. Maklum, di daerah tersebut tidak ada signal jaringan telepon, lampu hanya menyala dari jam 18.30 hingga 24.00. Akan tetapi anak-anak dan warga masyarakat disana memiliki semangat dan antusias yang tinggi dengan pendidikan. Masalahnya adalah kurangnya sarana prasarana seperti buku dan fasilitas penunjang lainnya. Banyak anak-anak Loloda Kepulauan yang lebih memilih melanjutkan sekolah baik SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi di kota Tobelo maupun Ternate. Akan tetapi usai lulus menjadi sarjana, sangat jarang yang pulang kampung mengabdi disana. Mereka memutuskan memilih tinggal di kota. Hal ini bisa dimaklumi dengan berbagai alasan yang ada di desa tersebut. Tapi sampai kapan hal ini terus berlanjut? Diakhir Talk Show, Pak Abdullah salah satu penelpon sangat mengapresiasi kedatangan relawan SGI di Loloda Kepulauan. Beliau meminta agar penempatan berikutnya ada lagi, lebih khususnya di daerah Obi yang katanya masuk kategori daerah tertinggal juga. Beliau juga  menyarankan agar generasi muda Maluku Utara mau juga bergabung dengan SGI. “Bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam Indonesia!” motto Sekolah Guru Indonesia (SGI) ini menggema studio RRI Ternate di akhir sesi talkhsow.

0 comments: