Menjadi
guru itu pilihan atau nasib? Prioritas menjadi guru bukanlah pilihan banyak
orang. Memilih profesi menjadi guru karena gaji tinggi, mungkin menjadi pilihan
banyak cagur (calon guru). Tetapi, untuk menjadi guru karena hobi dan passion
mungkin sudah jarang kita temui di zaman ‘guru bersertifikasi’ seperti sekarang
ini. Padahal guru adalah aset bangsa yang sangat strategis. Hitam putihnya kemajuan
suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh pendidikan dan guru menjadi aktor
utama dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejak diberlakukannya undang-undang
guru dan dosen (UUGD) oleh pemerintah, profesi guru menjadi favorit pilihan
banyak orang. Mungkin karena tunjangan dan gaji yang cukup menjanjikan, walau
harus berjuang setengah mati dengan meraih gelar sertifikasi terlebih dahulu.
Lalu bagaimana dengan nasib para guru honorer? Mereka yang telah bertahun-tahun
mengabdi menjadi guru tak bisa menyandang gelar bergengsi tersebut. Memang,
guru PNS dan guru honorer ibarat sekeping uang logam yang saling
bertolakbelakang dalam hal tunjangan. Padahal sama-sama berprofesi sebagai guru
dengan jumlah jam mengajar yang sama. Lantas, manakah yang paling teladan
antara guru PNS atau guru honorer? Jawabannya ada di hati masing-masing guru
tersebut.
Perbedaan guru PNS dengan guru
honorer bukan pada gaji, tapi “hati”lah yang menjadi pembedanya. Bukan pula
pada besarnya tunjangan yang tinggi, akan tetapi mendidiknya karena panggilan
hati dan mengajarnya dengan sepenuh cinta, itulah guru sejati yang patut
menjadi teladan. Kalau kata Pak Asep Sapa’at (mantan Direktur Sekolah Guru
Indonesia) pernah mengatakan bahwa “guru adalah pemimpin, maka konsistenlah
memberi keteladanan”. Iya, satu kata bagi guru adalah teladan. Seorang guru
menjadi cermin bagi anak didiknya, dan menjadi teladan dalam semua
aktivitasnya. Karena guru itu digugu lan
ditiru (diikuti dan dicontoh) oleh siswanya, begitu pepatah Jawa
mendeskripsikan sosok guru teladan. Lalu, seperti apakah sosok guru teladan
itu?
Mungkin di zaman globalisasi seperti
sekarang ini sangat jarang kita temui sosok guru yang benar-benar patut menjadi
teladan, apalagi di daerah terpencil yang jauh dari perkotaan. Akan tetapi,
anggapan itu salah. Justru di daerah-daerah terpencil banyak kita jumpai sosok
pahlawan pendidikan yang begitu luar biasa. Salah satu sosok tersebut ada di
Loloda Kepulauan, sebuah pulau kecil di Halmahera Utara yang terletak di tepi
Samudera Pasifik. Beliau adalah Suleman Palias (58 tahun). Guru yang akrab
disapa dengan Pak Guru “Eman” ini merupakan guru honorer di SDN Fitako,
Kecamatan Loloda Kepulauan. Ditengah-tengah usianya yang sudah menjadi kakek,
beliau masih semangat untuk terus mengabdikan diri sebagai seorang guru.
Sorotan matanya tajam dan penuh wibawa tatkala beliau berkata-kata. Pria
tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan SMP Dorume ini mengawali karirnya sebagai guru
honorer di SDN Dama selama 7 tahun. Selain guru, Pak Eman juga adalah sosok pemimpin,
beliau pernah menjadi Kepala Desa Dama selama satu periode. Usai mengakhiri
masa kepemimpinannya, beliau pindah ke Desa Fitako dan kembali memilih menjadi
guru honorer di SDN Fitako sejak tahun 2003 hingga sekarang.
“Menjadi guru adalah hobi dan kesukaan
saya” jawab Pak Eman saat ditanya alasannya menjadi guru. Rupanya jiwa pendidik
sudah begitu melekat dalam hatinya. Pak Eman adalah guru paling tua di SDN
Fitako, akan tetapi beliau juga sangat disiplin dan gigih dalam menjalankan
profesinya sebagai guru. Beliau selalu masuk mengajar sesuai jadwal, kecuali
jika sakit yang mengharuskan tidak masuk. Selalu menjalankan tugas sesuai
amanah, komitmen dalam mengajar sesuai arahan sekolah dan dinas adalah prinsip
hidup beliau selama menjadi guru. Sebagai guru honor, gaji beliau bisa dibilang
tak seberapa, akan tetapi semangat, ulet dan komitmennya sebagai guru dalam
mencerdaskan anak bangsa sangat luar biasa. Itulah sosok guru hebat bernama Pak
Guru “Eman” yang patut kita tiru keteladanannya.
0 comments:
Post a Comment