Sepucuk
surat datang dari salah seorang penumpang kapal kayu. Maklum, karena di pulau
ini tarada (tidak ada) signal, maka
kami pergunakan komunikasi lewat surat menyurat ketika ada urusan penting.
Surat yang membuat kaget seketika di tengah-tengah acara Hajatan Umum yang
sedang berlangsung di Dama, pusat kecamatan Loloda Kepulauan. Semua terdiam
tatkala aku membacakan surat yang datang dari sahabatku, Sipat. Semua kaget,
tersentak dan menunjukkan muka terkejut. Suasana yang tadinya meriah, berubah
menjadi hening seketika.
“Menurut hasil analisa mantri (sebutan untuk bidan desa)
setempat, aku positif terserang malaria! Tekanan darah hanya 60 / 90. Kemarin
sudah dikasih infus sama mantri, tapi setelah dicek ternyata infus tersebut
sudah kadaluarsa 2 bulan. Akhirnya infus tersebut terpaksa dilepas. Ternyata
mantri di desa ini juga dikenal sebagai pemabuk” demikian pesan penting yang ada
dalam surat tersebut. Tanpa berfikir panjang, dorang (kami) langsung memutuskan untuk menjemput saudari
seperjuangan dorang yang ada di
Dedeta. Kalau kondisinya seperti itu, mau ga mau dia harus dibawa ke puskesmas
setempat untuk segera diobati lebih lanjut.
Sebuah katinting (motor laut) yang sudah menjadi langganan dorang, langsung bergegas menuju lokasi.
Kecepatan katinting yang biasanya
lambat, kini agak sedikit berjalan cukup kencang untuk menempuh perjalanan dari
Pulau Doi menuju Dedeta, Pulau Panjang. Semua mata penumpang katinting ini terlihat berbinar-binar
menandakan rasa was-was dan cemas. Desiran ombak yang bergelombang tak
menyurutkan langkah kami melintasi lautan Loloda Kepulauan ini. Tiba-tiba aku
jadi teringat dengan sebuah pesan Bung Hatta yang pernah disampaikan oleh Pak
Agung, “sesungguhnya yang mengancam hidupku bukanlah malaria, tapi kesepian”.
Malaria dan kesepian memang menjadi ancaman ketika di daerah penempatan. Tapi,
kini malaria telah benar-benar datang, maka jangan sampai kesepian itu datang
menghampiri saudariku yang terserang malaria. Karena sebuah kehadiran dan
kebersamaan dalam sebuah tim, pasti akan menjadi obat penawar kesepian dan
mampu membangkitkan semangat perjuangan.
Sampai juga di tepi pantai Dedeta. Dorang langsung bergegas menuju tempat
tinggal Sipat. Kondisinya sama seperti yang dia utarakan dalam surat yang dorang terima. Saat dorang datang, dia sedang berbaring istirahat sembari membaca buku.
Ibu angkatnya lagi pergi ke kota. Bapak angkatnya juga sedang pergi ke kebun.
Dia di rumah ditemani adik dan tetangga kampungnya. Aku dan Vauzi pergi ke
rumah kepala desa untuk meminta izin membawa Sipat untuk diperiksa di puskesmas
kecamatan atau rumah sakit kota yang ada di Ternate. Sementara teman-temanku
yang lain berkoordinasi dengan keluarga dan tetangga yang ada di rumahnya
Sipat. Tak lama kemudian, kepala desa dan guru SD setempat juga datang di
kediamannya Sipat.
“Menurut analisa dukun desa, Ibu
Sipat ini terkena Suwanggi (sejenis
roh jahat), jadi harus diobati dulu dengan obat kampung oleh dukun desa
tersebut” ujar Pak Kepala Desa Dedeta. Harusnya kalau orang baru, jangan
bermain terlalu jauh di pantai yang ada di ujung desa, tambahnya. “Warga di desa
ini ketika sakit, lebih percaya ke dukun dibandingkan ke dokter” ujar salah
seorang warga. Terjadi diskusi yang cukup lama antara dorang, kepala desa dan warga desa setempat tentang maksud dorang untuk membawa Sipat berobat ke
puskesmas yang harus menyeberangi pulau. Mereka bersikukuh untuk mengobati
Sipat dengan dukun desa. Aku mencoba memberikan penjelasan ilmiah tentang
penyakit malaria yang harus segera
diobati oleh dokter atau bidan. Tapi mereka tetap pada pendiriannya. “Kita kan
sama-sama ingin Ibu Sipat sembuh, tapi alangkah baiknya jika diobati di dukun
dulu, baru esok dibawa ke rumah sakit atau puskesmas” tegas pak Kades.
Awalnya kami sempat menerima usulan
mereka untuk mengheningkan suasana yang cukup pelik. Waktu sudah memasuki
dhuhur, kami pun bergegas untuk sholat terlebih dahulu. Dorang selaku tim SGI Halut juga sempat berdiskusi, karena ini
menyangkut akidah dan keyakinan kita. Warga disini memang masih percaya dengan
dukun, tapi jangan sampai kita juga terbawa oleh kemauan mereka. Itulah masalah
utamanya. Sebisa mungkin kita harus tetap membawa dia ke puskesmas atau rumah
sakit. Terjadi diskusi lagi yang cukup lama antara dorang, kepala desa, kepala sekolah (ayah angkat Sipat) dan warga
desa setempat. Keputusannya diserahkan ke saya (selaku ketua tim) dan Sipat
sendiri. Hati masyarakat sudah lunak dan keputusannya Ibu Sipat boleh dibawa ke
rumah sakit atau puskesmas. Pada prinsipnya “katakanlah yang hak (benar), meski
itu pahit”. Karena sebuah kebenaran harus dikatakan dengan sebenarnya dan perlu
kesabaran untuk melunakkan hati masyarakat dalam memutuskan setiap perkara.
Termuat juga di dakwatuna: http://www.dakwatuna.com/2014/08/26/56280/malaria-vs-suwanggi-antara-dokter-dan-dukun/#ixzz3BZ7vIHhK
0 comments:
Post a Comment