Sekolah adalah tempat belajar mengajar, bukan tempat
melakukan anak seperti layaknya pekerja. Anak-anak datang ke sekolah dengan begitu
riangnya untuk menuntut ilmu, tapi apa jadinya jika sekolah menjadi tempat yang
menakutkan bagi anak-anak? Sekolah penuh dengan hukuman dan kekerasan? Sekolah
mejadi seperti penjara yang penuh dengan kerangkeng yang mengungkungnya? Sekolah
yang memberlakukan anak-anak untuk bekerja keras atas instruksi gurunya? Itulah
yang terjadi jika sekolah masih menerapkan sistem seperti sebuah kerajaan
dengan raja sebagai pemegang tertinggi kekuasaannya. “Kerajaan Sekolah” ini
dipimpin oleh seorang raja yang bernama kepala sekolah. Dengan segenap kekuatan
otoriternya, sang raja selalu berada di atas segala kebijakannya. Raja tak
pernah salah (pasal 1), karena jika raja salah, selalu kembali ke pasal 1
(bunyi pasal 2).
Apa jadinya jika sekolah masih menerapkan sistem
layaknya sebuah kerajaan? Anak-anak (siswa-siswinya) akan menjadi seperti
prajurit. Anak-anak dikumpulkan di lapangan, lalu mereka disuruh membersihkan
semua area yang ada di wilayah sekolah tersebut, mencuci perabot kantor
sekolah, membersihkan ruang guru, ruang raja (kepala sekolah), dan ruang-ruang
lainnya. Sementara sang raja hanya memberikan komando tanpa ikut turun tangan
menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Sang raja menyuruh anak-anak bekerja tanpa
memberi contoh. Padahal raja tersebut harusnya menjadi teladan bagi semua
warganya. Lantas, kemana para gurunya? Iya, karena mereka juga dibawah kendali
sang raja, maka mereka pun sami’na
wa’ato’na (dengar dan taat) dengan atasannya tersebut. Mereka pun hanya
melihat anak bekerja tanpa berbuat membantu bersama-sama. Alhasil, guru pun
bertindak sama seperti layaknya raja. Padahal anak-anak butuh sosok teladan
yang mengantarkannya menuju pintu gerbang kesuksesannya. Hal sekecil apapun
yang dilakukan oleh gurunya akan ditiru dan dicontoh oleh anak-anak. Karena
pada hakikatnya guru adalah teladan bagi anak didiknya.
Tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia
dalam rangka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, apa jadinya jika di
sekolah anak-anak lebih sering dihujani dengan kata-kata keras. Bahkan, bukan
hanya kata-kata, tapi juga hukuman fisik oleh gurunya. Tentu hal ini akan
berdampak pada psikologi anak. Sayangnya, terkadang guru tak menyadarinya.
Bahwa tindakannya tersebut telah melukai perasaan siswa-siswinya. Hal seperti
inilah yang akan terus terjadi jika sekolah masih menerapkan sistem seperti
kerajaan, padahal sekolah bukanlah kerajaan. Jack Canfield (Pakar Masalah
Kepercayaan Diri) melaporkan hasil penelitian terhadap 100 anak. Riset tersebut
dilakukan dengan cara mencatat berapa banyak jumlah komentar positif dan
negatif yang diterima seorang anak dalam sehari. Hasil penelitian Canfield
sangat mengejutkan, yaitu bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar
negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung
setiap hari. Hasil riset ini diuraikan dalam buku Quantum Learning karya Bobbi
de Potter. Apa jadinya jika anak setiap hari menerima komentar negatif enam
kali lebih banyak dibandingkan komentar positif?
Hasil temuan Canfield adalah di luar negeri. Tapi
setidaknya itulah gambaran jika sekolah masih menerapkan sistem seperti
kerajaan. Komentar negatif saja bisa berdampak negatif bagi anak, apalagi
sampai tindakan negatif berupa hukuman fisik? Di Indonesia, khususnya
daerah-daerah terpencil masih dijumpai guru-guru yang menerapkan sistem seperti
itu. Jika ada anak (murid0 yang salah, dihukum dengan pukulan rotan, ditampar
pipinya, dicubit hidungnya atau dijewer telinganya. Sungguh miris jika
guru-guru di sekolah masih memberlakukan hukuman keras semacam itu. Sekolah
bukan menjadi tempat yang nyaman untuk belajar bagi anak, tapi menjari penjara
yang mengengkang kreativitas anak-anak. Itulah yang terjadi jika sekolah
menerapkan sistem kerajaan. Padahal, sekolah, bukanlah kerajaan. Bukan pula
tempat bekerja bagi anak-anak.
Sekali lagi, anak-anak bukanlah pekerja, tapi mereka
adalah pelajar yang sudah seharusnya diperlakukan secara wajar dalam proses
belajarnya. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Anak Juga Manusia, mengatakan
bahwa “anak bukan barang yang dipesan
dari katalog yang disertai buku panduan. Dia adalah titipan Tuhan yang sudah
sepatutnya diperlakukan dengan baik. Anak juga bukan robot yang tinggal plug and play. Dia punya hati dan
perasaan, karena anak juga manusia”. Iya, karena anak juga manusia, punya
hati dan perasaan, maka janganlah menjadikan sekolah seperti kerajaan. Tapi,
jadikanlah sekolah sebagai tempat yang paling nyaman, paling berkesan dan paling
menyenangkan bagi anak-anak didiknya. Jadikanlah sekolah sebagaimana fungsinya
sekolah, tempat menimba ilmu, belajar dan berkarya mengembangkan segala daya
potensi anak.
0 comments:
Post a Comment