Menulis
itu mudah tapi susah. Dibilang mudah tapi terkadang susah untuk mengawalinya.
Tapi kalau sudah berani mengawali kata pertama yang ditulis, maka akan terasa
mudahnya. Akan tetapi dibilang susah juga sebenarnya itu salah karena dikatakan
susah karena tidak mau mengawali dan mencoba untuk menulis kata
pertama. Karena kata-kata pertama yang kita tulis sebenarnya itulah yang
menjadi pemicu dan inisiator yang akan meningkatkan langkah kita untuk
meneruskan kata-kata selanjutnya. Mungkin menulis sama halnya dengan sebuah
presentasi. Ada yang mengatakan bahwa kekuatan dan suksesnya presentasi berada
di 5-7 detik pertama. Sama halnya dengan menulis yang terletak juga di kata
pertama yang ditulis. Kata-kata pertama itulah kunci utama yang akan membuka,
menerobos dan menembus rangkaian kata-kata, kalimat, hingga paragraf
selanjutnya.
Tapi
bagaimana mau mulai menulis, kalau sama sekali tidak punya ide untuk memunculkan
kata-kata pertama itu, sudah bingung, dicampur lagi dengan adanya kebuntuan
berpikir di jalan yang buntu. Selain itu, terkadang juga muncul rasa bingung
tidak bisa membuat kata-kata yang indah, putus asa di tengah jalan lantaran
pikirannya mentok, gagasannya kurang bermutu, tidak mampu mencairkan suasana
yang enak dibaca dan tidak percaya diri dengan apa yang dituliskannya. Itulah
sekelumit permasalahan yang terjadi dan dirasakan oleh penulis pemula. Hal ini
juga seperti yang aku rasakan juga tatkala mau memulai untuk menulis dan
menjadi penulis pemula.
Pada
awal sebelum aku menyukai dunia tulis menulis, aku hanya bisa bermimpi dan
menganggap menulis itu sesuatu yang sebenarnya mudah tapi juga susah. Padahal
sudah ada ide-ide yang bagus dan cemerlang menurutku tapi aku bingung dari mana
aku memulai menulisnya. Akhirnya aku hanya bisa bermimpi dan bermimpi ingin
menulis tapi tak pernah terlaksana. Aku bermimpi tulisanku dimuat di suatu
majalah tertentu atau memenangkan suatu ajang perlombaan hasil karya menulisku.
Ternyata waktu itu aku hanya bisa bermimpi tanpa ada aksi. Tanpa mau mencoba
dan berusaha untuk memulai menulis apa yang sebenarnya sudah ada dalam benakku
waktu itu.
Ditambah lagi kesibukan aktivitasku yang tak kunjung henti
(kuliah, praktikum dan kegiatan organisasi) telah menidurkanku dari mimpi-mimpi
untuk menulis itu. Sejak pertama kali aku menjadi mahasiswa, aku memimpikan
akan menjadi seorang penulis terutama menulis sebuah karya tulis ilmiah dan menjadi
juara dalam ajang tersebut. Itulah impianku sejak pertama kali menjadi
mahasiswa dan sebenarnya juga sudah sejak dari SMA tapi belum pernah terlaksana
sama sekali. Hingga aku sudah duduk di semester 4 pun belum terealisasikan sama
sekali. “Bagaimana Aku bisa menulis kalau tidak mau mencobanya sama
sekali?” Itulah pertanyaan besar yang aku lontarkan ke diriku sendiri.
§ Kekuatan Menulis Dan Sejarah
Orang-Orang Besar Karena Menulis
“Orang boleh
pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer, Novelis
Indonesia)
Ungkapan pepatah fenomenal dari Pramoedya Ananta Toer
tersebut tentu sudah sangat sering kita dengar. Jika kita cermati maknanya
memang ada benarnya juga. Kata-katanya tentu membuat kita tersentak dan
tersengat untuk melakukan aktivitas yang bernama “menulis”. Pastinya kata-kata
tersebut bukan asal kata, tapi memang sudah mewakili perasaan dari pembuatan
ungkapan tersebut. Mungkin tidak hanya beliau yang merasakan betapa dahsyatnya
manfaat dari menulis. Manfaat yang dirasakan tidak hanya bagi penulis semata
tapi juga pembaca seantero jagat raya yang membaca tulisan tersebut pasti akan
merasakan buah hasil dari apa yang kita baca tersebut.
Kenapa sih kita harus menulis? Mengapa orang-orang besar yang
terkenal juga rata-rata melahirkan karya terbaiknya. Tentunya masing-masing
punya “strong reason” tersendiri. Kenapa mereka menulis? Apa yang
menyebabkan Ahmad Fuadi terkenal dengan karya Man Jadda wajada
dalam bukunya “Negeri 5 Menara”? Kenal dengan Inspirator Sukses
Mulia? Penulis buku berjudul “ON”, “Kubik Leadership” dan buku-buku best seller
lainnya. Iya, betul Pak Jamil Azzaeni namanya. Beliau adalah
motivator, trainer, sekligus penulis buku juga. Tahukah kalian dengan Novelis
No. 1 Indonesia? Beliau sudah menerbitkan puluhan novel Bestseller dan sudah
difilmkan juga, salah satunya “Ketika Cinta Bertasbih”. Betul, Kang Abik atau
nama lengkapnya Habiburrahman El-Shirazy.
Siapakah tokoh ustadz yang terkenal dengan
Spiritual Entrepreneur dengan konsep sedekah? Betul, beliau adalah Ustadz
Yusuf Mansur, juga telah menulis dan menerbitkan puluhan buku. Tahukah
kalian dengan penulis buku-buku parenting dan urusan rumah tangga? Benar, Asma
Nadia namanya. Beliau juga telah menerbitkan puluhan buku. Begitu juga
dengan Helvy Tiana Rosa, sastrawan dan penulis novel inspiratif. Dua
penulis hebat yang kakak-beradik (Helvy dan Asma) ini telah melahirkan puluhan
buku best seller dan beberapa diantaranya sudah difilmkan seperti Ketika Mas
Gagah Pergi, Assalamualaikum Beijing, Duka Sedalam Cinta dan sebagainya.
Menulis
juga menjadi senjata ampuh bagi para pencari ilmu, sebagaimana Ali bin Abi
Thalib pernah mengatakan “ikatlah ilmu dengan menulis”. Menulis telah menjadi
mesin penyimpan ilmu yang tak pernah hilang ditelan zaman, seperti yang telah
dilakukan oleh Imam Bukhari, Imam Ghozali, Ibnu Taimiyyah, Imam Syafi’i, dan
para cendekiawan muslim lainnya. Walaupun orangnya telah tiada tapi karya-karya
para tokoh ulama tersebut sampai sekarang menjadi referensi dan rujukan bagi
umat manusia. Apa yang mereka (para cendekiawan muslim dan tokoh-tokoh ilmuwan
lainnya) wariskan kepada generasi zaman ini? Iya, betul sekali. Mereka
mewariskan ilmu-ilmu pengetahuan lewat karya-karya tulisan mereka berupa buku.
Sebagai penyemangat cermati kata-kata dahsyat ini: “Satu peluru hanya menembus satu kepala, namun satu TULISAN mampu
menembus ribuan bahkan jutaan kepala” (Sayyid Quthb). Itulah alasan mereka
menulis.
§ Mengapa Guru Harus
Menulis...???
Belajar dari
orang-orang besar seperti disebutkan di atas, maka bagi seorang guru pun bisa
mengikuti jejak seperti mereka. Lalu pertanyaannya, mengapa guru harus menulis?
Tentunya menulis disini bukan hanya menulis RPP, silabus maupun perangkat
pembelajaran lainnya. Kalau menulis perangkat tersebut merupakan tugas (sudah
menjadi keharusan bagi guru). Ada beberapa alasan kenapa guru harus menulis,
diantaranya yaitu sebagai berikut:
1.
Sebagai bahan refleksi
guru pembelajar
Guru pembelajar adalah guru yang
senantiasa mengupgrade diri, memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas dirinya
sebagai seorang pendidik yang profesional. Sebagai guru pembelajar, tak ada
kata berhenti dalam belajar. Guru bisa merefleksikan dirinya melalui goresan
tulisan tentang kegiatan pembelajarannya yang telah dilakukan, bisa harian
maupun mingguan. Refleksi diri sebagai ulasan tentang apa yang telah
dilakukannya dalam proses kegiatan belajar mengajar dan menulis rencana
pembelajaran ke depannya. Menulis bisa menjadi terapi diri untuk memperbaiki
kualitas guru tersebut.
2.
Berkarya lewat tulisan
Selain
sebagai bahan refleksi, menulis bagi guru merupakan kesempatan untuk berkarya
dan berkreatifitas di dalam membuat media pembelajaran maupun best practice
lainnya. Guru yang berkarya lewat tulisan akan menjadikan dirinya untuk terus
berinovasi mencari terobosan baru di dalam pembelajaran yang dia lakukan.
Kemudian dari pembelajaran tersebut bisa menjadi bahan tulisan baginya. Bisa
juga bersumber dari masalah maupun kendala yang dihadapi selama menjadi guru
dan problematika kehidupan sekolah lainnya juga bisa menjadi sumber inspirasi
bagi guru tersebut untuk berkarya menghasilkan tulisan yang menginspirasi orang
lain.
3.
Mengikat ilmu dan
pengalaman
Setiap
guru pasti memiliki pengalaman dan pastinya selalu haus dengan ilmu pengetahuan
agar produktifitasnya tetap terjaga. Maka salah satu cara untuk mengikat ilmu
dan pengalaman tersebut adalah dengan menulis. Seperti yang pernah disampaikan
oleh Ali bin Abi Thalib “ikatlah ilmu dengan menulis”. Disinilah pentingnya
menulis bagi guru akan mampu mengikat ilmu dan pengalaman yang pernah diraih
oleh guru tersebut. Pengalaman-pengalaman tersebut akan menjadi ilmu baru yang
bisa diabadikan melalui tulisan yang bermakna dan berbobot.
4.
Menjadi teladan bagi
siswa
Guru
yang rajin menulis dan menghasilkan karya tulis terbaiknya akan menjadi
inspirasi dan teladan bagi para peserta didiknya. Goresan pena yang dihasilkan
oleh guru tersebut bisa memotivasi siswa untuk ikut berkarya dan mengikuti
jejak guru tersebut. Karena dengan tulisan tersebut siswa bisa tersengat
motivasinya untuk melakukan suatu hal yang bisa dilakukan oleh siswa tersebut.
Tidak hanya siswa saja, tulisan yang dibuat oleh guru juga bisa menjadi contoh
bagi guru-guru lainnya di dalam mengelola dan menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan berdasarkan tulisan yang dibuat guru.
5.
Sebagai inovasi
pembelajaran
Guru
tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan semata, tapi seorang guru
juga dituntut harus bisa berinovasi di dalam pembelajarannya. Salah satu cara
yang harus ditempuh adalah melalui PTK (Penelitian Tindakan Kelas) yang mana
diawali dengan membuat rencana PTK tersebut yang dituangkan dalam tulisan.
Membuat inovasi pembelajaran melalui PTK maupun metode yang lainnya akan sangat
berguna jika bisa didokumentasikan juga lewat tulisan. Nantinya tulisan hasil
best practice tersebut juga bisa menjadi rujukan bagi guru-guru yang lainnya.
§ Keterkaitan Menulis
Dan Membaca.
Menulis dan membaca ibarat dua sahabat sejati yang tak bisa
dipisahkan. Keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Kedua hal
tersebut ibarat sekeping logam yang selalu beriringan kemanapun berada. Mari
sejenak kita cermati ungkapan berikut:
“Buku
yang kubaca selalu memberi sayap-sayap baru, membawaku terbang ke taman-taman
pengetahuan paling menawan, melintasi waktu dan peristiwa, berbagi
cerita cinta, menyapa semua tokoh yang ingin ku jumpai sambil bermain di lengkung
pelangi.”
(Abdurrahman Faiz, putra Helvy Tiana Rosa,
remaja yang begitu
mencintai membaca dan sudah menulis buku
sejak kanak-kanak).
Ungkapan tersebut memang benar sekali. Bahwa membaca itu banyak sekali
manfaatnya. Dan membaca ini merupakan amunisi bagi para penulis. Begitu juga
yang aku rasakan hingga saat ini. Kalau ditanya sejak kapan Aku suka dengan
buku? Mungkin jawabannya adalah sejak masih duduk di tingkat dasar yaitu
Madrasah Ibtidaiyyah (MI). Bukankah ada pepatah Arab yang mengatakan juga
“Khoiru jaliisin fii zamani, kitaabun” (Sebaik-baik teman duduk pada setiap
waktu adalah BUKU). Sejak saat itulah pertemuanku dimulai. Bahkan hobi ini pun
berlangsung hingga duduk di bangku SMA. Seringkali pinjam buku di perpustakaan
sekolah hampir tiap minggu pasti pinjam 1-3 buku. Walaupun gak dibaca semua,
tapi setidaknya bisa menambah referensi. Selain di perpustakaan sekolah, waktu
itu juga sering meminjam buku di perpustakaan daerah.
Iya, kalau diceritain pasti akan panjang jalan ceritanya. Yang jelas banyak
sekali manfaat yang aku dapatkan setelah membaca buku-buku tersebut. Singkat
cerita, kembali ke buku pertamaku yang terbit itu membuatku semakin PeDe untuk
mengikuti kompetisi menulis lainnya. Satu demi satu karya buku antologiku pun
juga bertambah. Ternyata menulis itu memang mudah. Dan menulis tak kan bisa
mengalir indah tanpa adanya banyak membaca. Kalau kurang membaca, maka kita
akan menjadi miskin ilmu. Sebaliknya kalau kita banyak membaca, tentu kita akan
bertambah wawasan dan pengetahuan kita. Itulah sepenggal pengalaman yang aku
rasakan bahwa membaca dan menulis keduanya merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Epilog:
Teruslah Menulis!
"Jika aku
adalah MEMBACA, dan kamu adalah MENULIS. Maka, kita adalah LITERASI". Dua sejoli (membaca
dan menulis) adalah senjata ampuh yang bisa merubah sumber daya manusia,
menajamkan pengetahuan dan meraih kesuksesan.
Habis membaca
terbitlah menulis. Tulisan itu pun akan senantiasa bersinar menerangi bacaan.
Begitulah pepatah yang tepat bagi kedua pasangan sejati (membaca dan menulis)
yang tak bisa dipisahkan karena keduanya selalu beriringan.
Kekuatan membaca
yang telah kita serap akan meningkatkan keterampilan dalam menulis. Buah jatuh
tak jauh dari pohonnya, begitu juga dengan menulis, tulisan yang kita tulis tak
lepas dari bacaan yang telah kita baca sebelumnya.
Jenis atau genre
buku yang kita baca pun akan mempengaruhi cita rasa tulisan yang kita hasilkan.
Menulis dengan hati akan sangat berarti dibandingkan hanya menulis dengan
emosi. “Scripta manent, verba volent” yang berarti apa yang tertulis
akan abadi dan apa yang terucap akan musnah. Pepatah latin ini pun menjadi visi
bagi sebuah tulisan yang telah tergoreskan pena.
“Sebuah
karya akan memicu inspirasi. Teruslah
berkarya. Jika Anda berhasil, teruslah berkarya. Jika Anda gagal, teruslah
berkarya. Jika Anda tertarik, teruslah berkarya. Jika Anda bosan, teruslah
berkarya” (Michael Crichton, penulis novel “Jurassic
Park”)
Jika ingin umur
panjang, menulislah!
Salam Literasi
Iin
Amrullah
#EduWriter
* Resume materi kuliah SGI Online (Selasa, 27 Februari 2018)