“Baca bukunya, tonton filmnya”, kalimat
yang terpampang di depan pintu masuk Gramedia ini cukup memprovokatori para pengunjung yang
datang, termasuk diriku ini untuk berburu buku tersebut. Persis di sebelah
kalimat tersebut ada gambar buku berjudul Hadratussyaikh “Sang Kyai”. Baru
beberapa melangkah, terlihat buku Sang Kyai tersebut berada dalam daftar buku
baru. Setelah membaca sekilas buku tersebut, sore harinya langsung aku putuskan
untuk berkunjung ke Rajawali, yang merupakan kali keduanya singgah ke bioskop
ini (dulu pertama masuk ke sini saat nonton film Habibie & Ainun).
Rupanya
pengunjung bioskop jauh lebih ramai dibandingkan pengunjung Gramedia, begitu
hipotesisku menganalisa bahwa kebanyakan orang “lebih suka menonton
dibandingkan membaca” pikirku sesaat. Semoga yang ditonton mereka adalah bukan
sekedar hiburan belaka tapi tontonan yang bisa dijadikan tuntunan dalam
hidupnya. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan tiket film Sang Kyai di Studio
1 karena tidak ada antrian. Berbeda dengan antrian tiket untuk studio 2 dan 3 yang
mengantri panjang dan sepertinya kebanyakan muda-mudi yang rela menunggu lama
pada Studio 2 (film Fast & Furious 6) dan Studio 3 (film Laura &
Marsha). Kalau dicermati sangat nampak berbeda nyata antara penonoton yang
mengantri di depan studio 1 dengan penonton studio 2 dan 3. Hal yang paling
tampak adalah dari segi pakaiannya. Kebanyakan yang menunggu studio 1 adalah
rata-rata mengenakan jilbab mulai dari usia remaja sampai ibu-ibu.
Film
“Sang Kyai” merupakan film karya Rako Prijanto yang diproduksi oleh RAPI Film. Film
ini mengisahkan tentang perjuangan Hadrotussyaikh Sang Kyai K.H. Hasyim Asy’ari
dalam perjuangannya melawan sekutu Jepang dan Belanda hingga menyongsong
kemerdekaan Republik Indonesia. Latar film ini bertempat di Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang, Jawa Timur yang kala itu menjadi basis perjuangan para ulama
dalam mempertahankan NKRI. Pada awal film ini menceritakan kehidupan di
pesantren tersebut yang terdiri atas ribuan santri yang berasal dari Pulau Jawa
dan Madura. Bertani dan berdagang merupakan mata pencaharian mereka yang
menjadi seting tempat dalam film ini.
Dalam
film ini sosok K.H. Hasyim Asy’ari diperankan oleh Ikranagara dan istrinya diperankan
oleh Christine Hakim. Sang Kyai Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh pendiri jama’ah
Nahdlatul Ulama (NU) ini merupakan tokoh yang kharismatik dan sangat disegani
oleh para santri dan masyarakat di sekitar pesantren Tebuireng, bahkan
ulama-ulama yang lain pun ta’dhim dengan sang kyai ini. Awal mula film ini mengisahkan
kejadian pada tahun 1942, dimana Jepang pada waktu itu datang ke Indonesia dan
mengatakan sebagai saudara tua yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Belanda
pun mengakui kedaulatan Jepang waktu itu. Akan tetapi lama kelamaan ternyata
Jepang hanya manis di mulutnya saja, karena ternyata Jepang pun memiliki misi
yang sama seperti Belanda yaitu menjajah bumi pertiwi ini. Jepang mulai
melakukan tindakan kejamnya dengan menangkap ulama-ulama yang dianggap
berpengaruh bagi rakyat Indonesia dan dipaksa untuk mengikuti semua yang diperintahkannya.
Jepang meminta rakyat Indonesia untuk mengikuti ajarannya yaitu “Sikerei”. Sikerei
merupakan bentuk upacara tentara Jepang untuk menyembah dewa matahari yang
dilakukan dengan gerakan merunduk membungkukkan badan. Tentu hal ini mendapat
reaksi keras dari masyarakat dan para ulama kala itu, karena bertolak belakang
dengan agama Islam yang selama ini telah mendarah daging di hari mereka.
Hingga
akhirnya pasukan Jepang pun datang ke pesantren Tebuireng untuk menangkap K.H.
Hasyim Asy’ari. Jepang menuduh sang kyai telah melakukan tindakan pemberontakan
kepada Jepang dan memaksa sang kyai untuk ditangkap. Awalnya para santri sangat
marah dengan tentara Jepang dan melindungi sang kyai agar tidak ditangkap.
Jepang pun menggertak mereka dengan tembakan yang bertubi-tubi. Salah seorang
santri pun naik ke atas dengan membawa bendera merah putih dan meneriakkan
jihad dan bertakbir. Akan tetapi usahanya ini malah membuat tentara Jepang
semakin Gerang dan kembali mengeluarkan tembakannya, hingga sang komandan
meminta untuk menyirami para santri yang sedang melindungi sang kyai itu
disiram dengan minyak tanah dan hendak akan dibakar. Akhirnya sang kyai pun
rela ditangkap demi kemaslahatan dan keselamatan para santrinya.
Sesampainya
di markas Jepang, K.H. Hasyim Asy’ari dipaksa untuk menandatangani kesepakatan
oleh pihak Jepang untuk menyepakati dan mengikuti Sikerei. Akan tetapi sang
kyai menolaknya dengan tegas dan menyatakan bahwa sikerei itu hukumnya haram. Sang
komandan Jepang ini pun marah besar mendengar jawaban dari sang kyai, dia terus
membujuk dan merayu sang kyai melalui penerjemahnya agar menandatangani
kesepakatan itu. Aqidah tak bisa ditawar dengan apapun. Lebih baik dipenjara
dan nyawa menjadi taruhannya daripada harus mengikuti Sikerei oleh sekutu
Jepang, begitu sikap yang dilakukan oleh sang kyai. Di tengah-tengah
perdebatannya ini tiba-tiba terdengar suara adzan dan sang kyai pun langsung
bergegas berdiri untuk melaksanakan sholat. Sang kyai meminta izin kepada
penerjemah itu untuk memberinya kesempatan untuk sholat, jika mau menghukumnya
silahkan tapi nanti setelah usai melaksanakan kewajibannya itu.
Berita
penangkapan sang kyai pun terdengar oleh semua masyarakat dan mendapat reaksi
yang sangat geram dari para santri serta masyarakat. Mereka beramai-ramai
mendatangi markas Jepang untuk meminta kebebasan bagi sang kyai. Rakyat semakin
geram dan memberontak ketika mendengar jeritan suara sang kyai yang sedang
disiksa oleh tentara Jepang. Kelima jari sang kyai dijatuhi palu bertubi-tubi
oleh Jepang hingga berdarah-darah. Sang kyai masih tetap teguh dengan
mempertahankan akidahnya. Para santri dan rakyat pun semakin keras meneriakkan
kebebasan untuk sang kyai, akan tetapi pasukan Jepang malah semakin geram pula
dengan melayangkan tembakan kepada mereka. Untuk mengantisipasi pemberontakan
yang lebih besar oleh para santri dan rakyat setempat, penerjemah tentara
Jepang pun meminta kepada sang kapten agar mengakhiri pertikaian ini akan
tetapi sang kapten menolaknya dan marah besar kepada penerjemah tersebut. Kemudian Jepang pun akhirnya memutuskan sang
kyai untuk dipindah dari Jombang dipindahkan ke Mojokerto.
......……………..cerita masih panjang, bersambung sampai
disini dulu…………………
Bila ada sumur
di ladang, kapan-kapan numpang mandi.
Jika ada waktu
luang, kapan-kapan disambung lagi
Gema takbir “Allahu
Akbar….. Allahu Akbar….. Allahu Akbar….. “ kerap kali ikut membahana seisi
ruangan bioskop ini. Hingga anak kecil (berusia sekitar 7 tahun) yang sedang
menonton film ini juga ikut meneriakkan takbir dengan nada agak cadel khas anak
kecil. Sepertinya anak tersebut juga ikut tersengat hatinya saat tentara
Hisbullah melawan sekutu Jepang dalam film “Sang Kyai” ini. To be continued.
0 comments:
Post a Comment