Welcome Reader

Selamat Datang di blognya Kang Amroelz (Iin Amrullah Aldjaisya)

Menulis itu sehangat secangkir kopi

Hidup punya banyak varian rasa. Rasa suka, bahagia, semangat, gembira, sedih, lelah, bosan, bête, galau dan sebagainya. Tapi, yang terpenting adalah jadikanlah hari-hari yang kita lewati menjadi hari yang terbaik dan teruslah bertumbuh dalam hal kebaikan.Menulis adalah salah satu cara untuk menebar kebaikan, berbagi inspirasi, dan menyebar motivasi kepada orang lain. So, menulislah!

Sepasang Kuntum Motivasi

Muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Sebagai hamba, tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat. Hidup adalah pengabdian dan kebermanfaatan (Nasihat Kiai Rais, dalam Novel Rantau 1 Muara - karya Ahmad Fuadi)

Berawal dari selembar mimpi

#Karena mimpi itu energi. Teruslah bermimpi yang tinggi, raih yang terbaik. Jangan lupa sediakan juga senjatanya: “berikhtiar, bersabar, dan bersyukur”. Dimanapun berada.

Hadapi masalah dengan bijak

Kun 'aaliman takun 'aarifan. Ketahuilah lebih banyak, maka akan menjadi lebih bijak. Karena setiap masalah punya solusi. Dibalik satu kesulitan, ada dua kemudahan.

Tuesday, 26 August 2014

Malaria vs Suwanggi: Antara Dokter dan Dukun?


Sepucuk surat datang dari salah seorang penumpang kapal kayu. Maklum, karena di pulau ini tarada (tidak ada) signal, maka kami pergunakan komunikasi lewat surat menyurat ketika ada urusan penting. Surat yang membuat kaget seketika di tengah-tengah acara Hajatan Umum yang sedang berlangsung di Dama, pusat kecamatan Loloda Kepulauan. Semua terdiam tatkala aku membacakan surat yang datang dari sahabatku, Sipat. Semua kaget, tersentak dan menunjukkan muka terkejut. Suasana yang tadinya meriah, berubah menjadi hening seketika.

            “Menurut hasil analisa mantri (sebutan untuk bidan desa) setempat, aku positif terserang malaria! Tekanan darah hanya 60 / 90. Kemarin sudah dikasih infus sama mantri, tapi setelah dicek ternyata infus tersebut sudah kadaluarsa 2 bulan. Akhirnya infus tersebut terpaksa dilepas. Ternyata mantri di desa ini juga dikenal sebagai pemabuk” demikian pesan penting yang ada dalam surat tersebut. Tanpa berfikir panjang, dorang (kami) langsung memutuskan untuk menjemput saudari seperjuangan dorang yang ada di Dedeta. Kalau kondisinya seperti itu, mau ga mau dia harus dibawa ke puskesmas setempat untuk segera diobati lebih lanjut.

            Sebuah katinting (motor laut) yang sudah menjadi langganan dorang, langsung bergegas menuju lokasi. Kecepatan katinting yang biasanya lambat, kini agak sedikit berjalan cukup kencang untuk menempuh perjalanan dari Pulau Doi menuju Dedeta, Pulau Panjang. Semua mata penumpang katinting ini terlihat berbinar-binar menandakan rasa was-was dan cemas. Desiran ombak yang bergelombang tak menyurutkan langkah kami melintasi lautan Loloda Kepulauan ini. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan sebuah pesan Bung Hatta yang pernah disampaikan oleh Pak Agung, “sesungguhnya yang mengancam hidupku bukanlah malaria, tapi kesepian”. Malaria dan kesepian memang menjadi ancaman ketika di daerah penempatan. Tapi, kini malaria telah benar-benar datang, maka jangan sampai kesepian itu datang menghampiri saudariku yang terserang malaria. Karena sebuah kehadiran dan kebersamaan dalam sebuah tim, pasti akan menjadi obat penawar kesepian dan mampu membangkitkan semangat perjuangan.

            Sampai juga di tepi pantai Dedeta. Dorang langsung bergegas menuju tempat tinggal Sipat. Kondisinya sama seperti yang dia utarakan dalam surat yang dorang terima. Saat dorang datang, dia sedang berbaring istirahat sembari membaca buku. Ibu angkatnya lagi pergi ke kota. Bapak angkatnya juga sedang pergi ke kebun. Dia di rumah ditemani adik dan tetangga kampungnya. Aku dan Vauzi pergi ke rumah kepala desa untuk meminta izin membawa Sipat untuk diperiksa di puskesmas kecamatan atau rumah sakit kota yang ada di Ternate. Sementara teman-temanku yang lain berkoordinasi dengan keluarga dan tetangga yang ada di rumahnya Sipat. Tak lama kemudian, kepala desa dan guru SD setempat juga datang di kediamannya Sipat.

            “Menurut analisa dukun desa, Ibu Sipat ini terkena Suwanggi (sejenis roh jahat), jadi harus diobati dulu dengan obat kampung oleh dukun desa tersebut” ujar Pak Kepala Desa Dedeta. Harusnya kalau orang baru, jangan bermain terlalu jauh di pantai yang ada di ujung desa, tambahnya. “Warga di desa ini ketika sakit, lebih percaya ke dukun dibandingkan ke dokter” ujar salah seorang warga. Terjadi diskusi yang cukup lama antara dorang, kepala desa dan warga desa setempat tentang maksud dorang untuk membawa Sipat berobat ke puskesmas yang harus menyeberangi pulau. Mereka bersikukuh untuk mengobati Sipat dengan dukun desa. Aku mencoba memberikan penjelasan ilmiah tentang penyakit malaria yang  harus segera diobati oleh dokter atau bidan. Tapi mereka tetap pada pendiriannya. “Kita kan sama-sama ingin Ibu Sipat sembuh, tapi alangkah baiknya jika diobati di dukun dulu, baru esok dibawa ke rumah sakit atau puskesmas” tegas pak Kades.

            Awalnya kami sempat menerima usulan mereka untuk mengheningkan suasana yang cukup pelik. Waktu sudah memasuki dhuhur, kami pun bergegas untuk sholat terlebih dahulu. Dorang selaku tim SGI Halut juga sempat berdiskusi, karena ini menyangkut akidah dan keyakinan kita. Warga disini memang masih percaya dengan dukun, tapi jangan sampai kita juga terbawa oleh kemauan mereka. Itulah masalah utamanya. Sebisa mungkin kita harus tetap membawa dia ke puskesmas atau rumah sakit. Terjadi diskusi lagi yang cukup lama antara dorang, kepala desa, kepala sekolah (ayah angkat Sipat) dan warga desa setempat. Keputusannya diserahkan ke saya (selaku ketua tim) dan Sipat sendiri. Hati masyarakat sudah lunak dan keputusannya Ibu Sipat boleh dibawa ke rumah sakit atau puskesmas. Pada prinsipnya “katakanlah yang hak (benar), meski itu pahit”. Karena sebuah kebenaran harus dikatakan dengan sebenarnya dan perlu kesabaran untuk melunakkan hati masyarakat dalam memutuskan setiap perkara.



Merawat Tradisi Di Ujung Negeri

            
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan dan pendiri bangsa (founding father) kita. Mereka tidak hanya menumpahkan darah perjuangannya untuk bumi pertiwi dengan jiwa dan raganya. Lebih dari itu, mereka juga mewariskan semangat dan meninggalkan tradisi yang perlu kita jaga dan lestarikan keberadaannya. Tradisi yang bukan hanya sekedar seremonial belaka, tapi juga kaya akan makna. Di tengah era globalisasi yang semakin modern dan canggih, keberadaan sebuah tradisi ibarat telur diujung tanduk. Kalau bukan para generasi muda yang melestarikannya, siapa lagi? Karena jika dibiarkan liar tanpa dirawat dengan baik, maka tunggu saja waktu kemusnahannya. Ibarat tanaman, jika tidak dirawat dengan baik, jika tidak dikasih pupuk dan tidak disiram dengan air maka akan mati. Begitu halnya dengan tradisi, jika tidak dirawat, jika tidak dilestarikan, maka akan hilang dengan sendirinya.

Provinsi Maluku Utara memiliki banyak tradisi yang diwariskan secara turun temurun. “Nenek moyangku seorang pelaut”, pepatah ini cukup populer di telinga kita. Lantas, apakah para cucunya (generasi muda) sekarang juga seorang pelaut? Mengingat Negara kita 70% adalah laut (luas wilayah lautan kurang lebih 3.257.357 km2). Ternyata diantara lautan luas itu terdapat banyak pulau yang memiliki tradisi yang masih dijaga keberadaannya. Salah satunya adalah Loloda Kepulauan, salah satu daerah terpencil yang ada di Halmahera Utara. Wilayah kepulauan ini terbagi atas 4 pulau yaitu Pulau Doi, Pulau Panjang, Pulau Tuakara dan Pulau Tobo-Tobo. Pasca lebaran Idul Fitri, kepulauan ini memiliki tradisi unik yang disebut dengan “Hajatan Umum”. Konon katanya, tradisi ini hanya ada di Loloda Kepulauan yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali. Tradisi ini diadakan seminggu pasca lebaran idul fitri.

Saat lebaran tiba, kepulauan ini bisa dibilang cukup sepi dan sunyi. Akan tetapi seminggu kemudian, satu minggu pasca lebaran daerah kepulauan ini ramai dikunjungi orang. Warga setempat yang merantau ke kota, berduyun-duyun pulang kampung pada saat menjelang Hajatan Umum tiba. Bahkan warga kota juga datang ke kepulauan ini untuk menyaksikan tradisi unik ini. Bisa dibilang tradisi ini seperti memiliki magnet tersendiri karena mampu menjadi pemersatu masyarakat untuk saling berinteraksi dan bersilaturahmi dari desa ke desa, dari rumah ke rumah. Dengan menggunakan Katinting (perahu kecil) mereka melintasi pulau demi pulau yang ada di Loloda Kepulauan. Walau jarak yang jauh, tak menyurutkan mereka untuk mengunjungi kepulauan ini pada saat Hajatan Umum tiba.

“Hajatan Umum” merupakan tradisi lebaran ketupat masyarakat Loloda Kepulauan yang terdiri atas berbagai macam kegiatan seperti Khataman Qur’an, Cukur Rambut Bayi, Khitan Kampung, Pertunjukan Silat Kampung, Pertandingan Sepakbola dan Pesta Rakyat (tari-tarian daerah khas Maluku). Acara ini digelar dari pagi sampai malam. Acara pagi bertempat di masjid, acara siang bertempat di pelataran halaman yang luas, sore di lapangan dan malam juga di pelataran halaman yang luas. Selain acara-acara khusus seperti ini, warga juga berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Pertunjukkan yang paling ditunggu-tunggu warga dan tamu yang hadir adalah silat kampung. Pertunjukkan ini diiringi juga dengan gendang dan gong setiap kali ada yang menampilkan aksi silatnya. Aturan main silat ini adalah tidak boleh menggunakan kaki, dan yang membuat silat ini ramai adalah apabila yang mempermainkannya adalah menampilkan adegan-adegan lucu. Mulai dari anak-anak, dewasa hingga orangtua juga ikut berpartisipasi menampilkan aksi silatnya.
Pesilat SGI vs Pesilat Dedeta


Penampilan silat kampung ini tidak hanya oleh warga desa setempat saja, warga desa lain juga berunjuk gigi memperagakan silat dengan jurus-jurus andalannya masing-masing. Inilah yang menjadikan tradisi ini terus digemari oleh masyarakat. Dan yang tak ketinggalan adalah tari-tarian daerah, seperti Tari Lalayon, dan Tari Tide-tide. Kedua tarian khas Maluku ini sangat digemari oleh warga. Anak-anak hingga orangtua jago bermain tarian ini. Selain hajatan umum, kedua tarian ini juga kerap ditampilkan dalam acara-acara lain seperti pernikahan dan acara-acara adat lainnya. Inilah yang membuat tradisi ini terus digemari. Karena para orangtua masih senantiasa mengajarkan dan mengenalkan tradisi-tradisi ini kepada anak-cucu mereka. Meski arus globalisasi kian menggerus perubahan zaman, tapi semangat mereka tak pernah padam dalam merawat tradisi yang ada di pelosok negeri ini.


Dari Loloda Kepulauan: “Indonesia Bangkit”

Bersama Camat Loloda Kepulauan sehabis upacara HUT RI Ke-69

17 Agustus tahun 45 itulah hari kemerdekaan kita. Hari merdeka nusa dan bangsa. Hari lahirnya bangsa Indonesia. Merdeeekaaa. Sekali merdeka, tetap merdeka! Selama hayat masih dikandung badan. Kita tetap setia…! tetap sedia, mempertahankan Indonesia. Kita tetap setia…!, tetap sedia, membela negara kita” lirik lagu nasional berjudul ‘Hari Merdeka’ ini bergema mengguncang Loloda Kepulauan dalam acara Semarak Lomba HUT RI Ke-69.

            Kegiatan ini merupakan acara yang digelar oleh Tim Sekolah Guru Indonesia (SGI) – Dompet Dhuafa daerah penempatan Halmahera Utara yang bekerjasama dengan Pemerintah Kecamatan Loloda Kepulauan. Kegiatan yang bertemakan “Indonesia Bangkit” ini berlangsung selama 3 hari (Jum’at-Minggu, 15-17 Agustus 2014) dan dibuka secara resmi oleh Camat Loloda Kepulauan, Budiman H. Modim. Kegiatan Semarak Lomba HUT RI Ke-69 ini terdiri atas perlombaan untuk anak-anak dan dewasa. Ada 6 macam lomba-lomba tingkat SD/MI Se-Kecamatan Loloda Kepulauan yaitu: Lomba Tarian Lalayon, Lomba Tarian Tide-tide, Lomba Paduan Suara (Lagu Nasional), Lomba Peraturan Baris Berbaris (PBB), Lomba Puisi, dan Lomba Pidato. Sedangkan untuk lomba tingkat dewasa terdiri atas Lomba Poco-Poco dan Lomba Gerak Jalan tingkat Kecamatan Loloda Kepulauan.

Kegiatan ini diawali dengan rapat bersama antara SGI, Pemerintah Kecamatan Loloda Kepulauan dan Pemerintah Desa Dama. Dari hasil rapat memutuskan ada lomba-lomba tingkat anak-anak dan dewasa. Untuk ketentuan lomba, petunjuk teknis, jadwal kegiatan dan peraturan lomba dibuat oleh tim SGI, sedangkan surat edaran dan permintaan delegasi peserta dibuat oleh Camat Loloda Kepulauan. Untuk peserta lomba-lomba tingkat SD/MI Se-Kecamatan Loloda Kepulauan diikuti oleh 8 delegasi (SD/MI) dari 7 desa yaitu: SDN Tobo-Tobo, SD GMIH Dowonggila, SDN Fitako, SDN Dedeta, SDN Dagasuli, SDN Dama, MI Al-Basyariah Dama dan SDN Salube. Sedangkan peserta lomba gerak jalan dan poco-poco diikuti oleh siswa-siswi SMP-SMA dan perwakilan masing-masing desa yang ada di Kecamatan Loloda Kepulauan.

“Lautan luas itu, dicuri orang. Untuk bisa makan ikan, aku harus beli pada orang asing. Padahal lautan luas itu milikku! Ironi memang, katanya 69 tahun lalu gema proklamasi mengguncang Indonesia. Tapi, nyatanya Indonesia (belum) merdeka. Pendidikan di tempatku masih tertinggal. Kampungku, layaknya kota mati. Tak ada listrik, tak ada sinyal” petikan puisi karya Siti Fatimah ini bergema menggelora semua warga Loloda Kepulauan. Puisi yang berisi kritik sosial yang membangun ini begitu menyentuh hati warga masyarakat agar sadar akan kondisi dan potensi yang mereka miliki. Karena pada akhir puisi ini berisi ajakan untuk bangkit dari keterpurukan yang ada. Puisi tersebut ditutup dengan kata-kata: “Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan. Itulah tekad kita. Mari kita bersatu, untuk Indonesia lebih maju…!”

Saya teringat apa yang dikatakan presiden pertama Indonesia, Soekarno “Beri saya 1000 orangtua, maka akan aku cabut Semeru dari akarnya! Beri saya 10 pemuda, maka akan aku goncang dunia!” Tidakkah kita sadar, bahwa pemuda-pemuda yang dimaksud adalah kita? Pemuda Loloda. Jika memang dunia terlalu luas untuk kita goncang, maka minimal mari goncang tanah kelahiran tercinta kita, Loloda Kepulauan! Dengan apakah kita goncang dunia (goncang Loloda) wahai pemuda? Dengan karya kita, dengan prestasi terbaik kita sebagai putra daerah. Kita tunjukkan bahwa kita punya komitmen dan kesungguhan untuk memajukan daerah kita. Petikkan teks pidato ini juga bergemuruh dalam Lomba Pidato Berteks yang diikuti oleh siswa-siswi SD/MI se-Kecamatan Loloda Kepulauan ini. Isi pidato mengandung pesan-pesan penting bagi pemuda Loloda Kepulauan sebagai generasi bangsa.


Satu demi satu masing-masing peserta menampilkan penampilannya dengan penuh semangat. Warga masyarakat pun sangat antusias dalam menyaksikan gelaran acara ini. Setelah melewati lomba demi lomba dan persaingan yang sangat ketat, dewan juri memutuskan untuk para pemenang lomba-lomba tersebut yaitu:  Lomba Pidato (Juara 1 Rezali Dariopa dari SDN Dedeta, Juara 2 Rusnia Ishak dari SDN Dama dan Juara 3 M. Fajri AR. Lahani dari SDN Tobo-Tobo). Lomba Puisi (Juara 1 Safria Mahmud dari SDN Fitako, Juara 2 Mutmainnah Putri Lukman dari SDN Salube dan Juara 3 Asra Moh. Rafsan Din dari SDN Dedeta). Juara Lomba Tarian Lalayon (Juara 1 SDN salube. Juara 2 SDN Dagasuli, dan Juara 3 SDN Fitako). Juara Lomba Tarian Tide-tide (Juara 1 SDN Dagasuli, Juara 2 SDN Tobo-tobo, dan Juara 3 SDN Salube). Juara Lomba Peraturan Baris Berbaris (Juara 1 SDN Dedeta, Juara 2 SDN Dagasuli dan Juara 3 SD GMIH Dowonggila). Juara Lomba Paduan Suara (Juara 1 SD GMIH Dowonggila, Juara 2 SDN Dagasuli dan Juara 3 SDN Salube). Acara ini ditutup dengan pembagian hadiah, pementasan seni para juara dan ditutup secara resmi oleh camat Loloda Kepulauan.

Menjaring Semangat Pemuda di Pantai Goha

Saat mengisi Training Motivasi Sentral Pelajar Fitako
Jika ditanya “PEMUDA”, maka jawablah dengan kata “SAYA PASTI BISA”. Yel-yel ini bergelora di tepi pantai saat aku mengisi sebuah training motivasi kepada pemuda Loloda Kepulauan. Karena pemuda itu identik dengan kata semangat, maka sudah semestinya menampilkan ekspresi optimis. Seperti pesan Hasan Al-Banna yang begitu menggetarkan hati, “jika mereka bertanya tentang semangat. Maka, jawablah bahwa bara itu masih bersemayam di dalam dadaku! Bahwa tekad itu masih membara di dalam diriku. Bahwa semangat itu masih hidup di dalam jiwaku. Katakan itu pada orang-orang yang ragu akan kemampuan dirimu. Karena impianmu saat ini adalah kenyataan hari esok”.

Siapakah sosok pemuda itu? Apakah para pemuda itu seperti yang diucapkan oleh Ir. Soekarno, “Beri aku 1000 orang tua maka akan aku cabut Semeru dari akarnya, tapi beri aku 10 orang pemuda maka akan aku goncangkan dunia”. Inilah pesan penting Sang Proklamator untuk generasi bangsa (khususnya pemuda) dalam hal ini adalah pelajar dan mahasiswa Fitako, Kecamatan Loloda Kepulauan. Dengan cara apa kita menggoncangkan dunia? Tanyaku dengan nada tinggi. Dengan karya dan prestasi kita, dengan belajar yang giat dan menjadi generasi yang bermanfaat kelak untuk membangun Loloda Kepulauan yang saat ini masih tertinggal.

Tingkat pendidikan Loloda Kepulauan (Provinsi Maluku Utara) berada di peringkat 27 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Inilah tugas kalian. Sebagai pelajar dan mahasiswa harus bisa mengejar ketertinggalan ini. Apakah kita sudah merdeka? Tanyaku. Kalian rela melihat orang asing mengambil kekayaan alam di pulau ini. Sebut saja kapal-kapal besar mereka mengambil ikan berton-ton, pasir besi dikeruk tiap hari, dan pertambangan. Saya juga menyampaikan tentang kondisi pendidikan  di tanah air secara umum dan menyampaikan juga tentang pendidikan maju seperti yang ada di Negara Jepang, mulai dari Restorasi Meiji dan kebijakan Jepang yang mengutus para pemudanya untuk belajar ke luar negeri (Eropa dan Amerika) untuk menimba ilmu disana. Hasilnya, bisa kita lihat saat ini Jepang mampu menjadi Negara yang maju berawal dari sebuah pendidikan.

“Iqro (bacalah..!)’ itulah pesan pertama dalam Surat Al-Alaq ayat 1-5 (surat pertama  yang diturunkan). “Siapa yang ingin mendapatkan dunia, dengan ilmu. Siapa yang ingin mendapatkan akhirat, juga dengan ilmu. Dan siapa yang ingin mendapatkan keduanya (dunia-akhirat), juga dengan ilmu”. Itulah beberapa dalil tentang perintah menuntut ilmu. Tentang pentingnya pendidikan. Karena pendidikan merupakan cara yang terbaik untuk memanusiakan manusia. Kemajuan sebuah bangsa berawal dari pendidikan.


Kebangkitan sebuah pemuda pun berawal dari pendidikan. Dan inilah sebuah langkah nyata yang dilakukan oleh sekelompok pemuda Fitako yang tergabung dalam Sentral Pelajar Fitako (SALAFI) Desa Fitako dengan menggelar training motivasi di tepi Pantai Goha Desa Fitako. Kegiatan ini dilaksanakan dengan maksud untuk mengukuhkan para anggota dan membuka cakrawala berpikir para anggotanya yang terdiri dari pelajar SD, SMP, SMA dan mahasiswa. Seusai menyampaikan materi dilakukan sesi diskusi. Pada sesi ini cukup banyak yang bertanya, akan tetapi mengingat waktu dan masih ada pemateri yang lain, maka hanya dibatasi 5 pertanyaan dalam satu pemateri. Acara pamungkas sebagai penutup adalah pengukuhan anggota Sentral Pelajar Fitako (SALAFI). Dalam sesi acara ini semua peserta yang hadir membentuk lingkaran dan ditengahnya dinyalakan api unggun. Sambil ketua umum berorasi, yang lain menyanyikan lagu syukur bersama-sama. Setelah itu semua peserta mengucapkan sumpah pemuda secara bersama-sama. Dan ditutup dengan do’a dan saling berjabat tangan antar peserta.

Saturday, 19 July 2014

Maluku Utara dalam Kacamata Relawan Pendidikan



Hitam putihnya suatu daerah salah satunya ditentukan oleh pendidikan. Jika pendidikannya maju, maka daerah tersebut pun akan ikut maju. Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah di wilayah Indonesia Timur. Provinsi ini juga kaya akan suku, bahasa dan budaya. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang pendidikan provinsi ini bisa dikatakan cukup tertinggal dibandingkan provinsi yang lainnya.  Pasalnya tingkat pendidikan  provinsi ini berada di peringkat 27 dari 33 provinsi di Indonesia, tutur Ibu Sisi selaku moderator dalam Siaran Talkshow Interaktif RRI (Radio Republik Indonesia) Ternate, 18 Juli 2014.

Talkshow pendidikan ini mengangkat tema “Maluku Utara dalam Kacamata Relawan Pendidikan” dengan narasumber dari Relawan Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. Relawan pendidikan yang dikenal dengan guru transformatif ini merupakan relawan yang ditugaskan di Loloda Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara. Kelima narasumber tersebut adalah In Amullah (Tegal, Jawa Tengah), Alvauzi (Padang), Siti Fatimah (Bandung, Jawa Barat), Novitasari (Bengkulu) dan Nuril Rahmayanti (Dompu, NTB). Mereka sudah 1 bulan ditugaskan di Kecamatan Loloda Kepulauan di  5 desa (Dama, Salube, Dagasuli, Dedeta, dan Fitako). Secara bergantian, kelima narasumber tersebut bergantian menyampaikan talkshownya mulai dari perkenalan, profil singkat SGI, alasan bergabung, pengalaman menarik yang didapat hingga permasalahan pendidikan yang ditemukan di Maluku Utara, khususnya Loloda Kepulauan.

 Sekolah Guru Indonesia (SGI) merupakan salah satu jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa yang berkomitmen melahirkan guru transformatif yang memiliki kompetensi mengajar, mendidik dan berjiwa kepemimpinan sosial atau dikenal dengan istilah guru 3P (Pengajar, Pendidik dan Pemimpin). Sekolah Guru Indonesia didedikasikan bagi para pemuda Indonesia  yang siap mengabdikan diri menjadi guru serta siap berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di seluruh penjuru nusantara. Pada tahun 2014 Sekolah Guru Indonesia telah memberangkatkan angkatan ke-VI sebanyak 30 orang di 6 kabupaten yaitu Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Poliwalimandar (Sulawesi Barat), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), Kabupaten Dompu (NTB), dan Kabupaten Halmahera Utara (Maluku Utara). 

Kelima relawan yang berasal dari luar Provinsi Maluku Utara ini memaparkan kondisi pendidikan yang ditemui selama penempatan yang baru 1 bulan ini. Mulai dari masalah karakter anak-anak yang belum bisa membaca padahal sudah memasuki bangku SMP, sarana prasarana yang kurang lengkap, sumber daya manusia guru yang tidak merata, hingga masalah yang paling krusial adalah kurikulum 2013 yang terkesan sebagai “kurikulum pemaksaan”. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Pitson Y.K selaku Kepala Dinas Pendidikan Halmahera Utara, buku-buku penunjang kurikulum 2013 sampai saat ini belum sampai di Tobelo. Bagaimana untuk mengajar anak-anak jika sarana buku penunjang saja tidak ada? Belum lagi masalah guru itu sendiri. Banyak guru yang belum tahu mengenai kurikulum baru tersebut. Pelatihan yang sudah diadakan pun belum menjangkau semua sekolah. Dari 2000 guru sekolah dasar, baru 700 yang sudah mengikuti pelatihan kurikulum 2013. Mereka yang sudah mengikuti kurikulum saja masih sangat kebingungan, apalagi yang belum mengikuti pelatihan sama sekali?

Apalagi di Loloda Kepulauan? Daerah terpencil di ujung utara Halmahera Utara ini terkenal dengan “daerah buangan” bagi PNS yang kurang disiplin. Maklum, di daerah tersebut tidak ada signal jaringan telepon, lampu hanya menyala dari jam 18.30 hingga 24.00. Akan tetapi anak-anak dan warga masyarakat disana memiliki semangat dan antusias yang tinggi dengan pendidikan. Masalahnya adalah kurangnya sarana prasarana seperti buku dan fasilitas penunjang lainnya. Banyak anak-anak Loloda Kepulauan yang lebih memilih melanjutkan sekolah baik SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi di kota Tobelo maupun Ternate. Akan tetapi usai lulus menjadi sarjana, sangat jarang yang pulang kampung mengabdi disana. Mereka memutuskan memilih tinggal di kota. Hal ini bisa dimaklumi dengan berbagai alasan yang ada di desa tersebut. Tapi sampai kapan hal ini terus berlanjut? Diakhir Talk Show, Pak Abdullah salah satu penelpon sangat mengapresiasi kedatangan relawan SGI di Loloda Kepulauan. Beliau meminta agar penempatan berikutnya ada lagi, lebih khususnya di daerah Obi yang katanya masuk kategori daerah tertinggal juga. Beliau juga  menyarankan agar generasi muda Maluku Utara mau juga bergabung dengan SGI. “Bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam Indonesia!” motto Sekolah Guru Indonesia (SGI) ini menggema studio RRI Ternate di akhir sesi talkhsow.

Guru Teladan itu Bernama Eman



Menjadi guru itu pilihan atau nasib? Prioritas menjadi guru bukanlah pilihan banyak orang. Memilih profesi menjadi guru karena gaji tinggi, mungkin menjadi pilihan banyak cagur (calon guru). Tetapi, untuk menjadi guru karena hobi dan passion mungkin sudah jarang kita temui di zaman ‘guru bersertifikasi’ seperti sekarang ini. Padahal guru adalah aset bangsa yang sangat strategis. Hitam putihnya kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh pendidikan dan guru menjadi aktor utama dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
            Sejak diberlakukannya undang-undang guru dan dosen (UUGD) oleh pemerintah, profesi guru menjadi favorit pilihan banyak orang. Mungkin karena tunjangan dan gaji yang cukup menjanjikan, walau harus berjuang setengah mati dengan meraih gelar sertifikasi terlebih dahulu. Lalu bagaimana dengan nasib para guru honorer? Mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi menjadi guru tak bisa menyandang gelar bergengsi tersebut. Memang, guru PNS dan guru honorer ibarat sekeping uang logam yang saling bertolakbelakang dalam hal tunjangan. Padahal sama-sama berprofesi sebagai guru dengan jumlah jam mengajar yang sama. Lantas, manakah yang paling teladan antara guru PNS atau guru honorer? Jawabannya ada di hati masing-masing guru tersebut.


            Perbedaan guru PNS dengan guru honorer bukan pada gaji, tapi “hati”lah yang menjadi pembedanya. Bukan pula pada besarnya tunjangan yang tinggi, akan tetapi mendidiknya karena panggilan hati dan mengajarnya dengan sepenuh cinta, itulah guru sejati yang patut menjadi teladan. Kalau kata Pak Asep Sapa’at (mantan Direktur Sekolah Guru Indonesia) pernah mengatakan bahwa “guru adalah pemimpin, maka konsistenlah memberi keteladanan”. Iya, satu kata bagi guru adalah teladan. Seorang guru menjadi cermin bagi anak didiknya, dan menjadi teladan dalam semua aktivitasnya. Karena guru itu digugu lan ditiru (diikuti dan dicontoh) oleh siswanya, begitu pepatah Jawa mendeskripsikan sosok guru teladan. Lalu, seperti apakah sosok guru teladan itu?

            Mungkin di zaman globalisasi seperti sekarang ini sangat jarang kita temui sosok guru yang benar-benar patut menjadi teladan, apalagi di daerah terpencil yang jauh dari perkotaan. Akan tetapi, anggapan itu salah. Justru di daerah-daerah terpencil banyak kita jumpai sosok pahlawan pendidikan yang begitu luar biasa. Salah satu sosok tersebut ada di Loloda Kepulauan, sebuah pulau kecil di Halmahera Utara yang terletak di tepi Samudera Pasifik. Beliau adalah Suleman Palias (58 tahun). Guru yang akrab disapa dengan Pak Guru “Eman” ini merupakan guru honorer di SDN Fitako, Kecamatan Loloda Kepulauan. Ditengah-tengah usianya yang sudah menjadi kakek, beliau masih semangat untuk terus mengabdikan diri sebagai seorang guru. Sorotan matanya tajam dan penuh wibawa tatkala beliau berkata-kata. Pria tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan SMP Dorume ini mengawali karirnya sebagai guru honorer di SDN Dama selama 7 tahun. Selain guru, Pak Eman juga adalah sosok pemimpin, beliau pernah menjadi Kepala Desa Dama selama satu periode. Usai mengakhiri masa kepemimpinannya, beliau pindah ke Desa Fitako dan kembali memilih menjadi guru honorer di SDN Fitako sejak tahun 2003 hingga sekarang.

            “Menjadi guru adalah hobi dan kesukaan saya” jawab Pak Eman saat ditanya alasannya menjadi guru. Rupanya jiwa pendidik sudah begitu melekat dalam hatinya. Pak Eman adalah guru paling tua di SDN Fitako, akan tetapi beliau juga sangat disiplin dan gigih dalam menjalankan profesinya sebagai guru. Beliau selalu masuk mengajar sesuai jadwal, kecuali jika sakit yang mengharuskan tidak masuk. Selalu menjalankan tugas sesuai amanah, komitmen dalam mengajar sesuai arahan sekolah dan dinas adalah prinsip hidup beliau selama menjadi guru. Sebagai guru honor, gaji beliau bisa dibilang tak seberapa, akan tetapi semangat, ulet dan komitmennya sebagai guru dalam mencerdaskan anak bangsa sangat luar biasa. Itulah sosok guru hebat bernama Pak Guru “Eman” yang patut kita tiru keteladanannya.

Kapal Impian Anak-anak Pesisir Pantai



Punya cita-cita setinggi langit itu biasa. Bercita-cita ingin menjadi orang sukses juga sudah biasa. Apalagi jika tak punya cita-cita? Ibarat berjalan tak punya arah tujuan. Cita-cita itu penting dan harus dimiliki oleh setiap orang yang berakal. Punya cita-cita dan mau bersungguh-sungguh untuk meraihnya, itu baru luar biasa. “Jika punya cita-cita, maka rawatlah ia dengan baik” bagitu kata Iin kepada anak-anak pesisir Desa Fitako. Relawan SGI (Sekolah Guru Indonesia) yang memiliki nama lengkap In Amullah ini menganalogikan cita-cita ibarat sebuah tanaman. Jika merawat tanaman saja harus dipelihara dengan cara disiram agar tidak layu dan dipupuk agar semakin gemuk. Begitu juga dengan cita-cita, tak cukup diucapkan dengan kata-kata saja, papar ketua team leader SGI Halmahera Utara ini. Jika punya cita-cita harus dirawat dengan belajar yang rajin dan bersungguh-sungguh dalam segala hal, serta harus dipupuk dengan selalu berusaha keras untuk meraihnya, dan jangan lupa disempurnakan dengan berdo’a yang mantap” tambahnya.

            Dalam menjalankan tugas pengabdiannya sebagai relawan pendidikan di Loloda Kepulauan, pria kelahiran Tegal (Jawa Tengah) ini menggelar kegiatan Istana Anak setiap sore harinya. Guru SGI ini mengumpulkan anak-anak Desa Fitako dengan diisi kegiatan edukatif untuk mengisi waktu liburan sekolah. “Se…se… (prok-prok)…. Se…se… (prok-prok)…. Se…se… (prok-prok)…. S-E-M-A-N-G-A-T…….” begitu teriakan tepuk semangat dari anak-anak Desa Fitako ini menggema di tepi pantai Fitako. Ombak pantai tampak bergelombang dan berlarian oleh angin sore hari. Dalam salah satu kegiatan yang diberi nama Kapal Impian ini, anak-anak dibagikan kertas origami dan membuat kapal-kapalan secara bersama-sama. Dari kapal mainan yang beraneka warna tersebut, anak-anak diminta untuk menuliskan cita-citanya di kapal tersebut beserta nama masing-masing. Kapal-kapal impian tersebut dimasukkan ke dalam botol plastik dan digantung di atas pohon yang berada di depan rumah tempat tinggal Pak Guru Iin. 

            Anak-anak pesisir tersebut tampak semangat memanjat pohon untuk menggantungkan kapal impian masing-masing. Mereka sangat senang dan antusias dalam mengikuti kegiatan yang diselingi dengan tepuk-tepuk dan permainan edukatif. “Pak Guru, saya ingin jadi tentara” kata Almubarun sambil mengacungkan tangannya. “Kalau aku ingin jadi polisi” sahut Fikram. “Safria ingin jadi bidan” tambah Safria dan disusul oleh Rista yang bercita-cita ingin menjadi dokter. Satu per satu anak-anak mengacungkan tangan dan menyebutkan cita-citanya. Usai anak-anak menggantungkan kapal impiannya di pohon, pak Iin memberikan motivasi kepada anak-anak agar giat dalam belajar dan selalu gigih dalam mencari ilmu.

            Selain kapal impian, kegiatan lain selama liburan sekolah yang diselenggarakan oleh relawan SGI yang ditempatkan di Desa Fitako ini antara lain istana anak, kelas kreatif, kelas motivasi, kelas bermain, kelas rekreasi, kelas membaca dan kegiatan pesantren ramadhan. Selama bertugas di daerah penempatan selama 1 tahun, relawan SGI tidak hanya bertugas sebagai guru di sekolah dasar, tapi juga akan mengadakan kegiatan lain seperti training guru, training motivasi siswa, pelatihan-pelatihan dan kegiatan pengabdian masyarakat berbasis sekolah. Karena sebagai guru SGI dituntut untuk bisa menjadi guru transformatif. Karena SGI, bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam Indonesia