Mendidik karena
panggilan hati. Bukan mengejar materi. Tidak mengharap gaji. Bukan pula mencari
popularitas yang tinggi. Padahal di zaman modern ini orang beramai-ramai mengkomersialkan profesinya demi mengejar rupiah yang
kelak tak dibawa mati. Memang ada manusia seperti itu? Iya,
ada. Niatnya benar-benar tulus ikhlas dari lubuk hati. Bukan hanya mendidik,
tapi juga mengajar, membimbing, mengabdi, dan menjadi insan yang bermanfaat
bagi masyarakat dan umat di kampung yang ingin ia benahi. Sosok yang luar biasa
itu bernama Pak Musafa. Namanya hanya terdiri satu kata. Tiada gelar yang
melekat pada dirinya, karena saat kuliah di semester 8 beliau memutuskan untuk meninggalkan
pendidikan formalnya dan memilih untuk menjadi pendidik nonformal di kampung
yang sangat kumuh. Kesuksesan pendidik dilihat bukan karena jabatan semata,
tapi seberapa besar kebermanfaatannya bagi orang-orang di sekitarnya.
Pak Musafa memang sosok
pendidik yang langka. Beliau memulai hidup menjadi pendidik di lingkungan yang
gelap gulita, keras, dan penuh tantangan. Lantas apa yang membuat beliau meng’azamkan dirinya mengabdi di tempat itu?
Jawabannya adalah niat. Niat beliau yang berbeda dari orang kebanyakan. Karena
segala perbuatan yang kita lakukan memang tergantung pada niatnya. Sebagaimana
hadits Rasulullah SAW, “Semua amal
perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa
yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk meraih keridhaan
Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia
nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju” (H.R. Bukhari-Muslim).
Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi
jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan nampak jika terpisah dari jasad, demikian
penjelasan menurut Al-Baidhawi tentang ‘niat’ dalam buku “Al-Wafi Syarah Kitab
Arba’in An-Nawawiyah: Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah”.
Niat menjadi starting point dalam garis terdepan
ketika hendak melangkah, membulatkan tekad, dan memutuskan suatu perbuatan yang
akan kita lakukan. Niatlah yang menjadi medan magnet ketika ada panggilan hati
yang mengetuk seorang mahasiswa semester 1 Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto
bernama Musafa ini. “Saya harus
mengabdikan diri untuk komunitas ini dan harus tinggal disini” papar Musafa
ketika pertama kali menginjakkan kakinya pada tahun 2001 di sebuah kampung
bernama Kampung Sri Rahayu atau yang dikenal dengan Kampung Dayak, Purwokerto
Selatan. Inilah niat awal Pak Musafa yang memiliki ruh sangat kuat. Pada
awalnya beliau bergabung dengan organisasi LSM yang melakukan pembinaan di
kampung tersebut. Namun, akhirnya beliau keluar dari LSM tersebut karena banyak
hal yang bertolak belakang dengan nuraninya. Beliau memilih melanjutkan
pengabdiannya sendiri di kampung tersebut mulai dari nol. Dengan tekad yang
membara, akhirnya pria kelahiran
Cilacap, 7 Maret 1978 ini memutuskan untuk tinggal (nge-kos) di daerah tersebut tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ayah
dan ibunya baru mengetahui kalau Musafa tinggal di kampung Dayak ini setelah 5
tahun beliau tinggal di kampung tersebut.
Kampung Sri Rahayu atau
“Kampung Dayak” merupakan sebuah kampung yang terletak di Kelurahan
Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Kampung yang
memiliki luas sekitar 2 hektar ini terletak di tengah keramaian kota Purwokerto.
Tepatnya di belakang taman kota “Andhang Pangrenan” Purwokerto (dahulu
digunakan sebagai terminal lama Purwokerto). Sebelah utaranya berbatasan persis
dengan DAMRI Purwokerto dan sebelah baratnya adalah kompleks perumahan
Karangklesem. Sungguh miris melihatnya, kampung yang terdiri atas gubuk-gubuk
ini berdiri di antara bangunan yang menjulang. Secara fisik, lingkungan kampung ini terlihat kumuh dan kurang teratur,
hal ini bisa diamati dari kondisi MCK yang kurang layak, serta kurangnya sarana
dan prasarana yang memadai.
Mayoritas penduduk
kampung ini adalah kelompok masyarakat marginal penyandang masalah kesejahteraan
sosial yang sangat kompleks dengan ekonomi lemah dan tingkat pendidikan yang
rendah. Secara sosial-ekonomi, masyarakatnya
berada di garis perekonomian lemah dan tergolong masyarakat Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti pengamen, anak jalanan, pengemis, PSK,
waria, dan pengangguran. Hal inilah yang menjadikan kampung ini dijuluki juga
dengan “Kampung Dayak” yang menjadi tempat persinggahan bagi para komunitas
masyarakat PMKS tersebut. Sebagian besar dari mereka merupakan pendatang dari luar
kota. Warga asli Purwokerto sendiri banyak yang tidak mengetahui tentang kondisi
sosial dan problematika yang ada di kampung ini. Hanya orang-orang tertentu
saja yang paham secara detail tentang kondisi masyarakat kampung ini. Padahal,
pada tahun 1999, kampung ini pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh nasional seperti
Gubernur Jawa Tengah, pejabat-pejabat dari Jakarta dan tokoh internasional dari
UNICEF. Sayangnya, permasalahan yang ada belum juga terpecahkan dan
terselesaikan.
Bermula dari latar belakang itulah, Musafa
memutuskan untuk menetap dan tinggal di kampung tersebut sembari menjalani
aktivitasnya sebagai mahasiswa tingkat pertama. Beliau mengontrak sebuah
bangunan gubuk dan tinggal bersama beberapa anak jalanan. Pada awalnya, beliau harus
beradaptasi dan mengikuti budaya dari kehidupan di kampung tersebut agar
kehadirannya bisa diterima oleh masyarakat setempat. Bahkan, Musafa ikut
mengamen dengan anak-anak jalanan selama 4 bulan dan di malamnya ikut tidur
bersama mereka. Awal mulanya, beliau sembunyi-sembunyi ketika hendak
melaksanakan sholat. Seiring berjalannya waktu dan sudah adanya kedekatan dengan
mereka, akhirnya beliau mengatakan secara terang-terangan. “Saya orang yang sholat
dan saya mahasiswa” papar beliau kepada mereka. Beliau pun mulai mengajarkan
anak-anak jalanan tersebut tentang mengamen yang sopan, beretika, dan
mengajarkan nilai-nilai Islam kepada mereka. Anak-anak jalanan tersebut menjadi
didikannya karena selama ini orangtua mereka tidak begitu memperhatikan
pendidikan bagi anaknya. Orangtua
mereka beranggapan pendidikan itu tidak penting dan yang terpenting adalah
mencari uang dengan jalan mengamen atau meminta-minta. Kalau hal ini dibiarkan
terus menerus maka akan menjadi mata rantai masalah yang tak kunjung selesai.
Sedikit demi sedikit beliau juga mulai mengenalkan dan mengajarkan
huruf hijaiyah, juz ‘amma sampai Al-Qur’an kepada anak-anak jalanan yang
tinggal bersamanya. Beliau juga memberikan pembinaan moral dan akhlak kepada
mereka. Gubuknya yang kecil itu selain digunakan sebagai tempat tinggal, difungsikan
juga sebagai tempat mengaji dan sholat. Hal ini dikarenakan di kampung tersebut
belum ada tempat ibadah, baik mushola maupun masjid. Beliau juga ikut terlibat
dan membantu dalam kegiatan yang ada di masyarakat. Lama kelamaan,
keberadaannya mudah diterima oleh warga masyarakat. Selain mengajari anak-anak
jalanan tentang mengaji Al-Qur’an dan pendidikan moral, beliau juga membantu
warga dalam urusan pembuatan KTP, mengantar warga yang sakit ke puskesmas atau
rumah sakit (karena waktu itu belum ada Jamkesmas atau Jamkesda), serta
pengurusan jenazah ketika ada orang yang meninggal (karena sebagian besar warga
tersebut adalah pendatang dari luar kota Purwokerto dan tidak diketahui
keberadaan keluarganya).
Pada tahun 2004 Pak Musafa berhasil mengadakan acara Khotmil Juz ‘Amma Anak
Jalanan yang dihadiri oleh Wakil Bupati Banyumas. Sebanyak 24 anak jalanan yang
telah dididiknya menjadi peserta dalam acara yang digelar di gubuk sederhananya
itu. Kemudian pada tahun 2007 beliau juga kembali mengadakan kegiatan, yaitu
Safari Ramadhan yang dihadiri juga oleh Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid dan
mendapat bantuan dana sebesar 10 juta rupiah. Bermula dari dana inilah, beliau
menginisiasi untuk membangun Pesantren, TPQ, dan Mushola sebagai sarana untuk mendidik anak
jalanan dan warga sekitar. Berbagai cara beliau lakukan untuk mendapatkan dana,
seperti mengajukan permohonan dana ke Pemerintah Daerah Banyumas, swasta dan
para donatur. Hingga akhirnya, berkat kegigihan, kerja keras, dan kesabarannya
itu, pada tahun 2008 dibangunlah Pesantren “Tombo Ati” bagi anak-anak jalanan.
Kegiatan keagamaan di pesantren ini berupa madrasah diniyah dan Taman Pendidikan
Qur’an (TPQ) serta dimanfaatkan juga sebagai mushola karena pembangunannya
dilakukan secara bertahap.
Pesantren “Tombo Ati”
inilah yang menjadi saksi sejarah bagi Pak Musafa dalam mendidik anak jalanan.
Mayoritas santri yang belajar di pesantren tersebut adalah anak-anak jalanan,
anak terlantar,
dan marginal. Pembinaan agama dan pendidikan moral yang dilakukan di pesantren
ini sebelumnya sudah dimulai dan dirintis semenjak tahun 2001 saat beliau masih
menetap di gubuk kecilnya (tempat kosan beliau yang dulu). Hasil kerja keras
beliau dalam mendidik anak-anak jalanan pun menghasilkan berbagai prestasi,
antara lain: anak didiknya mendapat juara 2 Lomba Baca Al-Qur’an dalam Lomba
TPQ se-Banyumas (tahun 2007), juara 2 dalam Lomba Cerdas Cermat TPQ se-Purwokerto
Utara (tahun 2012), mendaftarkan
beberapa anak jalanan untuk sekolah ke jenjang Sekolah Dasar (SD), dan membekali
mereka dengan berbagai keterampilan dasar dalam berwirausaha.
Pada tanggal 28 November 2008 Pak Musafa memutuskan untuk menikah dan
membangun rumah kecil persis di depan Pesantren “Tombo Ati”. Bersama dengan
istrinya, Pak Musafa terus mendidik anak-anak jalanan melalui kegiatan TPQ,
hadroh (rebana), dan pembinaan moral
mereka. Selain itu, beliau juga mengadakan kegiatan pengajian majlis taklim
bagi bapak-bapak (tiap malam Jum’at) dan bagi ibu-ibu (tiap malam Minggu)
bertempat di mushola Pesantren “Tombo Ati”. Pak Musafa juga melakukan pembinaan
usaha dan keterampilan kepada warga masyarakat, seperti yang sudah dilakukannya
antara lain pelatihan keterampilan menjahit dan membuat kain rajut bagi
ibu-ibu, beternak ayam dan bebek hingga pengolahan telur asin bagi remaja, budidaya
ikan bagi bapak-bapak, dan bimbingan belajar hingga pembinaan pendidikan bagi
anak jalanan dan remaja yang putus sekolah. Pak Musafa benar-benar telah
menjadi pendidik yang hebat, menjadi ustadz yang disegani, dan menjadi tokoh
yang dipercaya oleh masyarakat Kampung Dayak dalam segala urusan. Pada tahun
2010, beliau dipercaya menjadi wakil ketua RT selama satu tahun. Pada tahun tersebut juga beliau sukses mengadakan
kegiatan Nikah Masal yang diikuti oleh sepuluh pasang mempelai dari keluarga
tidak mampu dan berbagai latar belakang yang berbeda. Pada tahun 2011, beliau berhasil
mendirikan Yayasan Sri Rahayu dengan nomor Akte Notaris: Agus
Pandoman SH.Mkn Nomor 15 Tanggal 11 Maret 2011 NPWP. 31.296.090.9-521.000 dan
beliau menjadi Pembina dari yayasan tersebut.
Senyumnya tulus ikhlas.
Ketika beliau membawa seorang anak kecil ke sebuah rumah sakit terkenal di
Purwokerto. Ribetnya birokrasi untuk anak miskin seperti sedang bermain sepak bola,
karena beliau harus melewati berbagai
ruang dan menemui beberapa orang sebelum bisa melakukan perawatan bagi anak
tersebut. Lapar dan lelahnya ditahan dalam penuh kebingungan karena tiada uang sepeser pun untuk biaya
anak itu. Padahal,
istri dan anaknya yang di rumah juga menanti kehadiran beliau. Akan tetapi, beliau tetap mengurusi anak kecil yang
berusia 4 tahun itu agar bisa dirawat di rumah sakit. Segala cara dilakukan. Padahal, anak tersebut bukanlah anak kandungnya.
Ya, anak tersebut adalah anak didiknya yang menjadi korban kekerasan pada
bagian kemaluannya akibat ulah teman sebayanya karena sabetan benda tumpul.
Anak tersebut hanya tinggal dengan neneknya saja, orangtuanya entah pergi
kemana. Karena kebanyakan orang tua di kampung tersebut rata-rata hanya sebagai
orangtua biologis saja, akan tetapi tidak mendidiknya secara psikis. Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan, akhirnya anak tersebut bisa juga masuk ke
rumah sakit. Beliau mengantarkan anak tersebut di dua rumah sakit yang berbeda,
hingga 9 kali berobat di dua rumah sakit tersebut. Begitulah sosok Pak Musafa, sang pendidik
anak jalanan yang penuh perjuangan. Bahagianya, ketika beliau dapat bermanfaat buat orang di
sekitarnya. Bukan hanya mendidik, tapi juga memperjuangkan kesejahteraannya.
Itulah pendidik sejati.
Masalah tersebut
hanyalah satu contoh dari sekian banyak masalah yang sering ditangani beliau sebagai pendidik di
kampung tersebut. Mendidik bukan hanya untuk mencerdaskan, akan tetapi mendidik
untuk menegakkan yang hak dan meluruskan yang batil. Beberapa masalah yang
pernah beliau atasi diantaranya adalah masalah warga ketika rebutan lahan parkir
di Taman Kota Andhang Pangrenan, nikah siri bagi anak hamil di luar nikah,
mengurusi identitas bagi warga yang bermasalah, mengantar dan mengurusi orang
sakit, pengurusan jenazah ketika ada warga yang meninggal, hingga berurusan
dengan polisi ketika ada warga masyarakatnya yang terlibat tindakan kriminal. Beliau memang bukan hanya pendidik bagi anak
jalanan di Pesantren “Tombo Ati” saja, akan tetapi pendidik bagi masyarakat
warga Kampung Dayak ini. Di usianya yang menginjak 35 tahun ini, pak Musafa
sudah dikarunia 2 orang anak, dan pada tahun 2013 ini beliau dipercaya oleh
Pemerintah Kabupaten Banyumas untuk menjadi ketua Lembaga Pelaksana ASKESOS
(Asuransi Kesejahteraan Sosial) Banyumas, sebuah asuransi untuk kecelakaan dan
kematian.
Alasan menominasikan
Pak Musafa sebagai pendidik muslim terbaik adalah karena Pak Musafa adalah sosok
pendidik yang mendidik dengan hati, dari hati, dan untuk mendapat ketenangan hati.
Beliau telah berhasil mencerdaskan akhlak anak-anak jalanan dan masyarakat Kampung
Dayak, Purwokerto Selatan. Beliau tidak mengejar materi, gaji, atau gelar yang
tinggi. Sangat jarang sosok pendidik seperti beliau. Semuanya dilakukan karena
adanya panggilan hati dan mengharap ridho Illahi. Prinsipnya adalah jika mau
menolong agama Allah maka Allah pun akan menolong kita. Intanshurullaha yanshurkum wayutsabbit aqdaamakum, begitu janji
Allah SWT dalam Q.S. Muhammad ayat 7. Pengorbanan dan dedikasinya beliau sangat
tinggi dalam mendidik secara totalitas dan penuh keikhlasan. Tekad dan semangatnya tak pernah padam, walau menghadapi berbagai macam kendala dan rintangan. Beliau sekokoh karang, tak pernah goyah hingga jiwa dan raganya pun rela dipertaruhkannya. Beliau bisa dijadikan role model dan contoh teladan yang baik dalam penanganan dan
pembinaan pendidikan bagi anak jalanan di kota-kota lain yang ada di Indonesia.
#Keterangan: Tulisan ini merupakan essay
yang lagi diikutsertakan dalam ajang pemilihan pendidik muslim terbaik “Indonesia Islamic Educator Awards Tahun
2013” yang diadakan oleh LDK SALIM UNJ (Universitas Negeri Jakarta).
Nantinya, akan dipilih 7 nominator yang akan dianugerahi sebagai pendidik
muslim terbaik (kategori formal dan non formal). Semoga Pak Musafa bisa
terpilih, sebagai hadiah dan anugerah atas dedikasi dan kerja keras beliau
selama ini. Aamiin Ya Robbal’alamin. Tulian ini juga semoga bisa menjadi
motivasi penambah semangat untuk bisa istiqomah dalam mengajar mereka (khusunya
bagi para pengajar TPQ Tombo Ati yang dikelola oleh Syiar UKKI Unsoed dan
pengajar lainnya pada umumnya).