Saturday, 18 May 2013

Sang Pendidik “Tombo Ati” Kampung Dayak, Purwokerto


Mendidik karena panggilan hati. Bukan mengejar materi. Tidak mengharap gaji. Bukan pula mencari popularitas yang tinggi. Padahal di zaman modern ini orang beramai-ramai mengkomersialkan profesinya demi mengejar rupiah yang kelak tak dibawa mati. Memang ada manusia seperti itu? Iya, ada. Niatnya benar-benar tulus ikhlas dari lubuk hati. Bukan hanya mendidik, tapi juga mengajar, membimbing, mengabdi, dan menjadi insan yang bermanfaat bagi masyarakat dan umat di kampung yang ingin ia benahi. Sosok yang luar biasa itu bernama Pak Musafa. Namanya hanya terdiri satu kata. Tiada gelar yang melekat pada dirinya, karena saat kuliah di semester 8 beliau memutuskan untuk meninggalkan pendidikan formalnya dan memilih untuk menjadi pendidik nonformal di kampung yang sangat kumuh. Kesuksesan pendidik dilihat bukan karena jabatan semata, tapi seberapa besar kebermanfaatannya bagi orang-orang di sekitarnya.

Pak Musafa memang sosok pendidik yang langka. Beliau memulai hidup menjadi pendidik di lingkungan yang gelap gulita, keras, dan penuh tantangan. Lantas apa yang membuat beliau meng’azamkan dirinya mengabdi di tempat itu? Jawabannya adalah niat. Niat beliau yang berbeda dari orang kebanyakan. Karena segala perbuatan yang kita lakukan memang tergantung pada niatnya. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW, “Semua amal perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk meraih keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju” (H.R. Bukhari-Muslim). Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan nampak jika terpisah dari jasad, demikian penjelasan menurut Al-Baidhawi tentang ‘niat’ dalam buku “Al-Wafi Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah: Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah”.

Niat menjadi starting point dalam garis terdepan ketika hendak melangkah, membulatkan tekad, dan memutuskan suatu perbuatan yang akan kita lakukan. Niatlah yang menjadi medan magnet ketika ada panggilan hati yang mengetuk seorang mahasiswa semester 1 Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto bernama Musafa ini. “Saya harus mengabdikan diri untuk komunitas ini dan harus tinggal disini” papar Musafa ketika pertama kali menginjakkan kakinya pada tahun 2001 di sebuah kampung bernama Kampung Sri Rahayu atau yang dikenal dengan Kampung Dayak, Purwokerto Selatan. Inilah niat awal Pak Musafa yang memiliki ruh sangat kuat. Pada awalnya beliau bergabung dengan organisasi LSM yang melakukan pembinaan di kampung tersebut. Namun, akhirnya beliau keluar dari LSM tersebut karena banyak hal yang bertolak belakang dengan nuraninya. Beliau memilih melanjutkan pengabdiannya sendiri di kampung tersebut mulai dari nol. Dengan tekad yang membara, akhirnya pria kelahiran Cilacap, 7 Maret 1978 ini memutuskan untuk tinggal (nge-kos) di daerah tersebut tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ayah dan ibunya baru mengetahui kalau Musafa tinggal di kampung Dayak ini setelah 5 tahun beliau tinggal di kampung tersebut.

Kampung Sri Rahayu atau “Kampung Dayak” merupakan sebuah kampung yang terletak di Kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Kampung yang memiliki luas sekitar 2 hektar ini terletak di tengah keramaian kota Purwokerto. Tepatnya di belakang taman kota “Andhang Pangrenan” Purwokerto (dahulu digunakan sebagai terminal lama Purwokerto). Sebelah utaranya berbatasan persis dengan DAMRI Purwokerto dan sebelah baratnya adalah kompleks perumahan Karangklesem. Sungguh miris melihatnya, kampung yang terdiri atas gubuk-gubuk ini berdiri di antara bangunan yang menjulang. Secara fisik, lingkungan kampung ini terlihat kumuh dan kurang teratur, hal ini bisa diamati dari kondisi MCK yang kurang layak, serta kurangnya sarana dan prasarana yang memadai.

Mayoritas penduduk kampung ini adalah kelompok masyarakat marginal penyandang masalah kesejahteraan sosial yang sangat kompleks dengan ekonomi lemah dan tingkat pendidikan yang rendah. Secara sosial-ekonomi, masyarakatnya berada di garis perekonomian lemah dan tergolong masyarakat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti pengamen, anak jalanan, pengemis, PSK, waria, dan pengangguran. Hal inilah yang menjadikan kampung ini dijuluki juga dengan “Kampung Dayak” yang menjadi tempat persinggahan bagi para komunitas masyarakat PMKS tersebut. Sebagian besar dari mereka merupakan pendatang dari luar kota. Warga asli Purwokerto sendiri banyak yang tidak mengetahui tentang kondisi sosial dan problematika yang ada di kampung ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang paham secara detail tentang kondisi masyarakat kampung ini. Padahal, pada tahun 1999, kampung ini pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh nasional seperti Gubernur Jawa Tengah, pejabat-pejabat dari Jakarta dan tokoh internasional dari UNICEF. Sayangnya, permasalahan yang ada belum juga terpecahkan dan terselesaikan.

            Bermula dari latar belakang itulah, Musafa memutuskan untuk menetap dan tinggal di kampung tersebut sembari menjalani aktivitasnya sebagai mahasiswa tingkat pertama. Beliau mengontrak sebuah bangunan gubuk dan tinggal bersama beberapa anak jalanan. Pada awalnya, beliau harus beradaptasi dan mengikuti budaya dari kehidupan di kampung tersebut agar kehadirannya bisa diterima oleh masyarakat setempat. Bahkan, Musafa ikut mengamen dengan anak-anak jalanan selama 4 bulan dan di malamnya ikut tidur bersama mereka. Awal mulanya, beliau sembunyi-sembunyi ketika hendak melaksanakan sholat. Seiring berjalannya waktu dan sudah adanya kedekatan dengan mereka, akhirnya beliau mengatakan secara terang-terangan. “Saya orang yang sholat dan saya mahasiswa” papar beliau kepada mereka. Beliau pun mulai mengajarkan anak-anak jalanan tersebut tentang mengamen yang sopan, beretika, dan mengajarkan nilai-nilai Islam kepada mereka. Anak-anak jalanan tersebut menjadi didikannya karena selama ini orangtua mereka tidak begitu memperhatikan pendidikan bagi anaknya. Orangtua mereka beranggapan pendidikan itu tidak penting dan yang terpenting adalah mencari uang dengan jalan mengamen atau meminta-minta. Kalau hal ini dibiarkan terus menerus maka akan menjadi mata rantai masalah yang tak kunjung selesai.

Sedikit demi sedikit beliau juga mulai mengenalkan dan mengajarkan huruf hijaiyah, juz ‘amma sampai Al-Qur’an kepada anak-anak jalanan yang tinggal bersamanya. Beliau juga memberikan pembinaan moral dan akhlak kepada mereka. Gubuknya yang kecil itu selain digunakan sebagai tempat tinggal, difungsikan juga sebagai tempat mengaji dan sholat. Hal ini dikarenakan di kampung tersebut belum ada tempat ibadah, baik mushola maupun masjid. Beliau juga ikut terlibat dan membantu dalam kegiatan yang ada di masyarakat. Lama kelamaan, keberadaannya mudah diterima oleh warga masyarakat. Selain mengajari anak-anak jalanan tentang mengaji Al-Qur’an dan pendidikan moral, beliau juga membantu warga dalam urusan pembuatan KTP, mengantar warga yang sakit ke puskesmas atau rumah sakit (karena waktu itu belum ada Jamkesmas atau Jamkesda), serta pengurusan jenazah ketika ada orang yang meninggal (karena sebagian besar warga tersebut adalah pendatang dari luar kota Purwokerto dan tidak diketahui keberadaan keluarganya).

Pada tahun 2004 Pak Musafa berhasil mengadakan acara Khotmil Juz ‘Amma Anak Jalanan yang dihadiri oleh Wakil Bupati Banyumas. Sebanyak 24 anak jalanan yang telah dididiknya menjadi peserta dalam acara yang digelar di gubuk sederhananya itu. Kemudian pada tahun 2007 beliau juga kembali mengadakan kegiatan, yaitu Safari Ramadhan yang dihadiri juga oleh Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid dan mendapat bantuan dana sebesar 10 juta rupiah. Bermula dari dana inilah, beliau menginisiasi untuk membangun Pesantren, TPQ,  dan Mushola sebagai sarana untuk mendidik anak jalanan dan warga sekitar. Berbagai cara beliau lakukan untuk mendapatkan dana, seperti mengajukan permohonan dana ke Pemerintah Daerah Banyumas, swasta dan para donatur. Hingga akhirnya, berkat kegigihan, kerja keras, dan kesabarannya itu, pada tahun 2008 dibangunlah Pesantren “Tombo Ati” bagi anak-anak jalanan. Kegiatan keagamaan di pesantren ini berupa madrasah diniyah dan Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) serta dimanfaatkan juga sebagai mushola karena pembangunannya dilakukan secara bertahap.

Pesantren “Tombo Ati” inilah yang menjadi saksi sejarah bagi Pak Musafa dalam mendidik anak jalanan. Mayoritas santri yang belajar di pesantren tersebut adalah anak-anak jalanan, anak terlantar, dan marginal. Pembinaan agama dan pendidikan moral yang dilakukan di pesantren ini sebelumnya sudah dimulai dan dirintis semenjak tahun 2001 saat beliau masih menetap di gubuk kecilnya (tempat kosan beliau yang dulu). Hasil kerja keras beliau dalam mendidik anak-anak jalanan pun menghasilkan berbagai prestasi, antara lain: anak didiknya mendapat juara 2 Lomba Baca Al-Qur’an dalam Lomba TPQ se-Banyumas (tahun 2007), juara 2 dalam Lomba Cerdas Cermat TPQ se-Purwokerto Utara (tahun 2012), mendaftarkan beberapa anak jalanan untuk sekolah ke jenjang Sekolah Dasar (SD), dan membekali mereka dengan berbagai keterampilan dasar dalam berwirausaha.

Pada tanggal 28 November 2008 Pak Musafa memutuskan untuk menikah dan membangun rumah kecil persis di depan Pesantren “Tombo Ati”. Bersama dengan istrinya, Pak Musafa terus mendidik anak-anak jalanan melalui kegiatan TPQ, hadroh (rebana), dan pembinaan moral mereka. Selain itu, beliau juga mengadakan kegiatan pengajian majlis taklim bagi bapak-bapak (tiap malam Jum’at) dan bagi ibu-ibu (tiap malam Minggu) bertempat di mushola Pesantren “Tombo Ati”. Pak Musafa juga melakukan pembinaan usaha dan keterampilan kepada warga masyarakat, seperti yang sudah dilakukannya antara lain pelatihan keterampilan menjahit dan membuat kain rajut bagi ibu-ibu, beternak ayam dan bebek hingga pengolahan telur asin bagi remaja, budidaya ikan bagi bapak-bapak, dan bimbingan belajar hingga pembinaan pendidikan bagi anak jalanan dan remaja yang putus sekolah. Pak Musafa benar-benar telah menjadi pendidik yang hebat, menjadi ustadz yang disegani, dan menjadi tokoh yang dipercaya oleh masyarakat Kampung Dayak dalam segala urusan. Pada tahun 2010, beliau dipercaya menjadi wakil ketua RT selama satu tahun. Pada tahun tersebut juga beliau sukses mengadakan kegiatan Nikah Masal yang diikuti oleh sepuluh pasang mempelai dari keluarga tidak mampu dan berbagai latar belakang yang berbeda. Pada tahun 2011, beliau berhasil mendirikan Yayasan Sri Rahayu dengan nomor Akte Notaris: Agus Pandoman SH.Mkn Nomor 15 Tanggal 11 Maret 2011 NPWP. 31.296.090.9-521.000 dan beliau menjadi Pembina dari yayasan tersebut.

Senyumnya tulus ikhlas. Ketika beliau membawa seorang anak kecil ke sebuah rumah sakit terkenal di Purwokerto. Ribetnya birokrasi untuk anak miskin seperti sedang bermain sepak bola, karena beliau harus  melewati berbagai ruang dan menemui beberapa orang sebelum bisa melakukan perawatan bagi anak tersebut. Lapar dan lelahnya ditahan dalam penuh kebingungan karena tiada uang sepeser pun untuk biaya anak itu. Padahal, istri dan anaknya yang di rumah juga menanti kehadiran beliau. Akan tetapi, beliau tetap mengurusi anak kecil yang berusia 4 tahun itu agar bisa dirawat di rumah sakit. Segala cara dilakukan. Padahal, anak tersebut bukanlah anak kandungnya. Ya, anak tersebut adalah anak didiknya yang menjadi korban kekerasan pada bagian kemaluannya akibat ulah teman sebayanya karena sabetan benda tumpul. Anak tersebut hanya tinggal dengan neneknya saja, orangtuanya entah pergi kemana. Karena kebanyakan orang tua di kampung tersebut rata-rata hanya sebagai orangtua biologis saja, akan tetapi tidak mendidiknya secara psikis. Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan, akhirnya anak tersebut bisa juga masuk ke rumah sakit. Beliau mengantarkan anak tersebut di dua rumah sakit yang berbeda, hingga 9 kali berobat di dua rumah sakit tersebut.  Begitulah sosok Pak Musafa, sang pendidik anak jalanan yang penuh perjuangan. Bahagianya, ketika beliau dapat bermanfaat buat orang di sekitarnya. Bukan hanya mendidik, tapi juga memperjuangkan kesejahteraannya. Itulah pendidik sejati.

Masalah tersebut hanyalah satu contoh dari sekian banyak masalah yang  sering ditangani beliau sebagai pendidik di kampung tersebut. Mendidik bukan hanya untuk mencerdaskan, akan tetapi mendidik untuk menegakkan yang hak dan meluruskan yang batil. Beberapa masalah yang pernah beliau atasi diantaranya adalah masalah warga ketika rebutan lahan parkir di Taman Kota Andhang Pangrenan, nikah siri bagi anak hamil di luar nikah, mengurusi identitas bagi warga yang bermasalah, mengantar dan mengurusi orang sakit, pengurusan jenazah ketika ada warga yang meninggal, hingga berurusan dengan polisi ketika ada warga masyarakatnya yang terlibat tindakan kriminal.  Beliau memang bukan hanya pendidik bagi anak jalanan di Pesantren “Tombo Ati” saja, akan tetapi pendidik bagi masyarakat warga Kampung Dayak ini. Di usianya yang menginjak 35 tahun ini, pak Musafa sudah dikarunia 2 orang anak, dan pada tahun 2013 ini beliau dipercaya oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas untuk menjadi ketua Lembaga Pelaksana ASKESOS (Asuransi Kesejahteraan Sosial) Banyumas, sebuah asuransi untuk kecelakaan dan kematian.

Alasan menominasikan Pak Musafa sebagai pendidik muslim terbaik adalah karena Pak Musafa adalah sosok pendidik yang mendidik dengan hati, dari hati, dan untuk mendapat ketenangan hati. Beliau telah berhasil mencerdaskan akhlak anak-anak jalanan dan masyarakat Kampung Dayak, Purwokerto Selatan. Beliau tidak mengejar materi, gaji, atau gelar yang tinggi. Sangat jarang sosok pendidik seperti beliau. Semuanya dilakukan karena adanya panggilan hati dan mengharap ridho Illahi. Prinsipnya adalah jika mau menolong agama Allah maka Allah pun akan menolong kita. Intanshurullaha yanshurkum wayutsabbit aqdaamakum, begitu janji Allah SWT dalam Q.S. Muhammad ayat 7. Pengorbanan dan dedikasinya beliau sangat tinggi dalam mendidik secara totalitas dan penuh keikhlasan. Tekad dan semangatnya tak pernah padam, walau menghadapi berbagai macam kendala dan rintangan. Beliau sekokoh karang, tak pernah goyah hingga jiwa dan raganya pun rela dipertaruhkannya. Beliau bisa dijadikan role model dan contoh teladan yang baik dalam penanganan dan pembinaan pendidikan bagi anak jalanan di kota-kota lain yang ada di Indonesia.

#Keterangan: Tulisan ini merupakan essay yang lagi diikutsertakan dalam ajang pemilihan pendidik muslim terbaik “Indonesia Islamic Educator Awards Tahun 2013” yang diadakan oleh LDK SALIM UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Nantinya, akan dipilih 7 nominator yang akan dianugerahi sebagai pendidik muslim terbaik (kategori formal dan non formal). Semoga Pak Musafa bisa terpilih, sebagai hadiah dan anugerah atas dedikasi dan kerja keras beliau selama ini. Aamiin Ya Robbal’alamin. Tulian ini juga semoga bisa menjadi motivasi penambah semangat untuk bisa istiqomah dalam mengajar mereka (khusunya bagi para pengajar TPQ Tombo Ati yang dikelola oleh Syiar UKKI Unsoed dan pengajar lainnya pada umumnya).

0 comments: