Menungsa ta angel
(manusia itu sulit), begitu kata kakek setiap kali ganti topik pembicaraan. Kata
‘angel’ yang aku tangkap disini bisa diartikan payah, sulit, dan lemah. Yah,
memang betul kata kakekku. Karena hanya Allah-lah yang memiliki sifat Al-Qowiyyu,
Yang Maha Kuat. Sepiring pisang goreng yang sudah dihidangkan oleh ibu dan
segelas teh anget menemani perbincanganku dengan kakek di pagi yang sejuk ini. Ditambah
lagi sesisir pisang susu yang baru saja dikasih bibi. (Yah, inilah enaknya hidup di desa. Begitu harmoni, saling memberi, dan
saling peduli satu sama lain terutama ukhuwah yang indah dalam bingkai keluarga
besarku ini). Luas, visioner, dan
kompleks, begitulah penjelasan yang disampaikan kakek. Kakekku memang orang
yang ingatannya tajam, berpendirian teguh, pekerja keras, dan mempunyai etos
kerja yang tinggi. Semangatnya membara. Masalah sosial-masyarakat, pendidikan,
ekonomi, pertanian, dan sejarah, itulah topik-topik yang dibahas pagi itu
(Senin, 6 Mei 2013). Mulai dari perjuangan saat pertempuran dengan Belanda
(zaman penjajahan), ternyata desaku juga merupakan salah satu desa yang menjadi
agresi militer oleh penjajah yang kejam itu. Hingga pembahasan mengenai
problematika umat yang terjadi sekarang ini, kakek begitu detail
menceritakannya. Aku lebih sering menjadi pendengar setia menampung semua
cerita dan nasihat supernya beliau.
Tidak
cukup jika diceritakan semua disini. Karena kalau bincang-bincang dengan kakek
pasti bisa memakan waktu 2-3 jam, bahkan lebih. Selalu ada yang baru yang
beliau sampaikan buat cucunya ini. Bicara pendidikan dan akhlak generasi muda
kerap kali didengungkan oleh beliau. Sekali lagi kalau diceritain cukup panjang
dan detail. Penggunaan traktor untuk membajak sawah menuai masalah. Karena hasil
panen yang didapat ternyata lebih baik dengan menggunakan bajak pakai hewan,
kata kakek. Akankah petani harus kembali dengan metode tradisional? Whyn’t?
kalau itu hasilnya lebih baik, tanahnya menjadi bagus untuk menanam dan lebih
ekonomis walau butuh waktu lama. “Kalau pun tidak, maka perlu modifikasi traktor
biar hasilnya seperti cara tradisional” pikirku. Masalah perkebunan, banyak
pohon pisang yang kerap kali mati dan gagal tumbuh. Sepertinya sih karena virus
atau faktor tanahnya (ini dugaanku). Dan masih banyak lagi perbincangan menarik
lainnya yang tak bisa aku ceritakan disini.
Setiap
kali pulang ke rumah selalu dapat spirit dan motivasi baru dari orang-orang
terdekat. Ibu, ayah, kakek, nenek, paman, bibi, adik, ponakan, anak-anak kecil
dan semua keluarga besarku, serta masyarakat yang penuh ramah dengan senyum
yang khas. Antara pilihan, ketetapan, dan rencana jangka panjangku. Masalah-masalah
pendidikan (terutama kaitannya dengan masalah akhlak, informasi beasiswa,
pendidikan karakter, dll) dan masalah kesehatan (penyediaan sarana, prasarana,
serta seputar informasi yang mudah, akses dan biaya yang murah tentang
kesehatan, dll), inilah yang sudah menjadi draft dalam daftar mimpiku yang baru
(saat ini sudah ada 21 mimpi untuk pasca lulus sarjana nanti). Ya, harus
dipersiapkan. Rasanya belum memberikan balasan apa-apa kepada orang-orang
terdekatku. Lebih sering merepotkan. Belum berkiprah banyak untuk masyarakat. Terkadang
dilema itu datang. Antara harus berbaur di masyarakat atau merantau? Ya, pasti
ada waktunya.
Saat
ini aku memang masih belajar. Belajar mengilmui kehidupan. Belajar dimanapun
berada. Sepanjang masa. Belajar bersama dan dengan masyarakat dimana aku
menapakkan kaki. Belajar terhadap semua proses yang aku lalui. Karena kata kata
Ust. Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul Baarakallaahu Laka: Bahagianya
Merayakan Cinta, “Hidup seorang mukmin
adalah pembelajaran yang tak kenal henti. Nilai dirinya bukan pada harta yang
ia kumpulkan, tetapi pembelajaran kehidupan yang ia dapat dari amalan”. Iya,
pembelajaran tak kenal henti dan tentunya harus senantiasa berproses
memperbaiki diri dengan meningkatkan amalan-amalan dalam rangka mendekatkan
diri dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Yang Maha Cerdas (Ar-Rosyid) yaitu
Allah SWT.
Ingat,
masyarakat menantimu! Sejauh apapun kamu merantau (entah mencari ilmu atau
mencari nafkah) pasti akan kembali ke kampung halamanmu. Sudahkah kau
menyiapkan semua itu? Sudah berapa banyakkah bekal yang kau miliki? Jadi jangan
dilema, antara pergi merantau (lagi) atau menetap bersama dengan masyarakat dan
mendharmabaktikan ilmu yang telah engkau miliki. Sekali lagi ingat, masyarakat
menantimu! Selagi masih muda, selagi ada kesempatan dan peluang, manfaatkanlah
dengan sebaik-baiknya. Jangan bermalas-malasan! Selagi masih diberi jutaan
oksigen yang gratis, maka bersyukurlah atas semua nikmat-Nya. Teruslah menimba
ilmu, karena masyarakat menanti, kiprahmu! Berikut ini ada sepotong syair yang
penuh makna. Ambil positifnya dari syair di bawah ini:
Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus
meneruslah berbuat baik, ketika di
kampung dan di rantau
Jauhilah
perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar,
di
perut bumi dan di atas bumi
Bersabarlah
menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir
Sungguh
di dalam sabar ada pintu sukses dan impian
kan tercapai
Jangan
cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh
kemuliaan itu ada dalam perantauan di
usia muda
Singsingkan
lengan baju dan bersungguh-sungguhlah
menggapai impian
Karena
kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan
bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan
Karena
debat kusir adalah pangkal keburukan
(Syair Sayyid Ahmad Hasyimi, dalam novel Ranah 3 Warna.
Syair ini diajarkan pada tahun ke-4 di Pondok Modern
Gontor, Ponorogo)
0 comments:
Post a Comment