Sudah lama sebenarnya
pengin nulis tentang topik mengenai “Titip
absen vs Ngabsenin”. Tapi baru
sempat untuk menulisnya. Setelah ketemu dengan dosen PA-ku (22/5/13) ketika aku
sedang mengobrol dengan beliau, tiba-tiba ada mahasiswa datang meminta maaf
karena dia titip kartu semhas (seminar hasil) padahal dia tidak datang pada
semhas tersebut. Beliau memang sosok yang tegas, disiplin, dan sangat menjunjung
tinggi kejujuran. Tidak hadir semhas ya jangan titip absen (titip tanda tangan
buat di kartu seminar). Setiap kali beliau menjadi moderator dalam semhas
beliau selalu teliti dan jeli, jika ada kartu semhas tapi yang bersangkutan
tidak hadir, beliau tidak akan menandatangani kartu tersebut dan menanyakannya
siapa yang membawa kartu itu dan yang bersangkutan (yang nitip kartu seminar)
disuruh menghadap kepada beliau. Ini semata-mata dilakukan untuk menegakkan “kejujuran”
dalam segala hal. Begitu yang saya tangkap nasihat-nasihat super yang sering
beliau utarakan kepadaku tentang pentingnya “jujur” di manapun berada. Berawal dari
inilah aku terinspirasi untuk menulis tentang masalah ini.
Pikiranku
langsung menerawang flash back ke memoriku yang dulu saat masih duduk di
semester pertama. “Titip absen”
apakah sudah membudaya di kalangan mahasiswa? “Kuliah itu ga masuk tidak apa-apa, kan masih bisa titip absen”, “eh, ntar gue absenin yach”, atau “bro, tolong absenin yah, NIM gue….. bla-bla”,
dan beberapa slentingan lainnya tentang trik dan tips tindakan titip absen yang
dikirim lewat sms ataupun ngomong langsung. Semoga saja itu hanya dilakukan
oleh oknum semata. Tapi, lama kelamaan kok hal tersebut jadi sesuatu yang
biasa. Semakin banyak yang aku temui tentang fenomena tersebut. Masa masih
mahasiswa baru sudah berani titip absen? Pikirku waktu itu. Kalau sejak awal
kuliah sudah berani-berani titip absen, gimana selanjutnya? Sepertinya hal
tersebut sudah menjadi “salah kaprah,
bener ora lumrah”. Semoga sedikit tulisan ini bisa menyadarkan dan meluruskan
niat kita masing-masing.
Sampai pada akhirnya aku pun menjadi korban akan hal
tersebut. Ada seorang teman yang sms kepadaku, intinya dia minta kepadaku untuk
megabsenkannya karena dia terlambat masuk kuliah. “Maaf bro, saya tidak menerima titip absen”, atau “Mohon maaf, saya tidak bisa mengabsenkan
kamu, ini prinsipku”, begitu kurang lebih balasan smsku kepada teman yang
beberapa kali meminta nitip absen. Terkadang aku sampaikan langsung selepas
kuliah kepada yang bersangkutan. Hingga akhirnya teman-teman pun tahu tentang
prinsipku ini. Tidak akan mengabsenkan orang lain, walaupun itu teman dekat. Tidak
berangkat, yah katakan tidak berangkat, bisa izin jika berhalangan hadir baik
karena sakit atau ada hal penting, atau kepepet sekali pun tidak sempat bikin
surat izin, mending alfa sekalian toh masih ada jatah 25% yang bisa kita
gunakan untuk tidak hadir. Intinya jangan “nitip absen”. Iya, itu prinsipku dan
aku pegang hingga saat ini. Hingga teman-teman pun tidak ada yang berani lagi
nitip absen kepadaku.
Alhamdulillah, selama kuliah aku tidak pernah “mengabsenkan”
orang lain (karena aku selalu menolak jika ada teman yang minta nitip absen),
dan aku juga tidak pernah “nitip absen” ketika aku tidak masuk karena alasan
apapun. Pernah waktu itu aku tidak masuk kuliah dan ternyata ada teman yang
baik hati mengabsenkan tanda tanganku. Dia tidak bilang dan tidak klarifikasi
kepadaku kalau namaku diabsenin oleh dia. Pada waktu kuliah selanjutnya aku
kaget, kemarin aku kan ga masuk kok ada tanda tangannya? Seketika itu pula
langsung aku hapus pakai tip-x dan aku beri tanda silang. Ya, karena aku memang
kemarin tidak masuk dan tidak ada surat izin juga, jadi aku beri tanda silang. Meski
maksud temanku itu baik, tapi bagiku itu adalah tindakan yang kurang bijak (salah kaprah menurutku). Tidak masuk ya katakan
tidak masuk.
Prinsipku ini tidak hanya aku lakukan di kuliah saja,
tapi aku terapkan pada aktivitas lainnya juga. Pernah waktu itu ada upacara
hardiknas di pusat dan bagi para penerima beasiswa diwajibkan untuk ikut karena
ada absennya juga. Katanya jika tidak hadir akan jadi bahan pertimbangan bagi beasiswa
selanjutnya. Kebetulan waktu itu aku yang aktif ikut dalam kegiatan upacara
tersebut, baik sebagai petugas pengibar bendera atau aku sebagai undangan dari
anggota Racana Soedirman. Ada teman yang sms minta tolong untuk diabsenin. Kalau
mau absen yah silahkan ikut upacara dulu, baru setelah itu absen. Sama seperti
waktu kuliah, aku balas sms tersebut dengan ”mohon maaf, saya tidak bisa
mengabsenkan orang lain”. Waktu itu aku dibilang sok-sokan, pelit, tidak
setiakawan, dan bahasa-bahasa lainnya. Tapi, aku tak menghiraukannya selagi aku
berada pada jalur yang benar. Karena sekali lagi kalau mau absen yah silahkan
ikut upacara dulu, jangan jadikan teman yang berangkat sebagai korban untuk
dititipi absen. “Katakanlah yang
sebenarnya (hak) meski itu pahit”, iya ini prinsipku.
Begitu juga saat seminar hasil (semhas). Setiap mahasiswa
harus mengikuti minimal 10 kali seminar hasil jika ingin mendapatkan tanda
tangan kartu seminar hasil yang nantinya bakalan digunakan sebagai persyaratan
untuk mendaftar semhas buat dirinya juga. Keuntungan ikut semhas selain
mendapat ilmu, juga bisa menggali trik dan trip presentasi, mensiasati
pertanyaan dosen, strategi semhas, dan sebuah proses pendewasaan diri untuk
bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Masa cuma 10 kali saja harus
nitip absen (nitip kartu semhas)? Emang sibuk banget yah, sampai kita tidak
sempat menghadiri semhas. Kan 10 kali itu bisa dicicil, sejak semester 5,
semester 6 atau satu semester sebelum kita tugas akhir. Jadwal teman-teman kita
yang semhas juga banyak, apalagi sebulan menjelang yudisium berderet antrian
jadwal semhas di papan ruang komisi. Jadi tidak ada alasan buat datang ke
semhas, dan jangan titip absen (titip kartu semhas) jika kita tidak
menghadirinya sendiri. Mari kita
budayakan hidup “JUJUR” mulai dari hal yang terkecil dan mulai dari diri kita.
Sekali lagi Titip Absen NO, Ngabsenin
juga NO: Jujur YES!
Purwokerto,
23 Mei 2013
Dini
hari pukul 01.25 WIB
0 comments:
Post a Comment